Sabtu, 04 Februari 2012

ANATOMI KEMISKINAN


ANATOMI KEMISKINAN
(Memahami Akar Penyebab Kemiskinan dan Model Pendekatan Penanggulangan
Dalam Kerangka Millennium Development Goal’s )

Oleh :
Max Maswekan
                                                                 
Dosen FISIP UKIM - Ambon

Abstract
       
      Poverty where is somebody or person group can not fulfil standard alive minimum,  or a standard that assumed proper. On that account poverty makes person or person group over a barrel and live in suffering very humiliate dignity.
       Has many dimensions or multi dimension, good social dimension, culture, economy, policies,  and access. Poverty cause root not only one aspect but many aspects, good structural aspect, cultural, natural, social system,  and as it. Efforts has overcominged poverty by government has been done to pass various wisdom and program, as commitment of state taking part in declaration MDG's, but up to now poverty not yet can be removed completely, although realized poor citizen total experiences depreciation from year to year. This matter is caused because the complex itself poverty problem.
      There many approach towards poverty cause root, but only proposed several as a means of analysis either through partial also holistik, that is: approach wisdom and government program, approach human invesment, approach structure,  and approach culture.
      Despitefully approach in poverty tackling stills a lot not yet correct and nudge troubleshoot root, because approached with partially. On that account poverty handling must with approach holistik and integration.

    Key words : Poverty, anatomy, multi dimension, many aspects, cultural, natural, social system, many approach,  wisdom and government program, approach, approach human invesment, approach structure, approach culture, holistik, integration, millennium development goal’s.




Pendahuluan
        Banyak studi tentang kemiskinan dan akar penyebab dari kemiskinan, yang kemudian me-lahirkan berbagai definisi, konsep dan persepsi serta metode penanganan kemiskinan. Ada yang melihat kemiskinan secara holistik atau komprehensif, ada pula yang melihat secara parsial atau dikaji dari aspek tertentu saja. Hal ini disebabkan karena kemiskinan itu sendiri memiliki dimensi yang sangat luas dan kom-pleks sehingga tidak mungkin dalam waktu yang bersamaan semua dimensi dikaji secara kom-prehensif. Kemiskinan itu sendiri memiliki sifat yang kompleks sehingga sulit pula diatasi secara tuntas dalam waktu yang singkat secara instan, akan tetapi membutuhkan waktu dan proses dalam penanganannya dengan metode tertentu yang tepat. Dimensi kemiskinan meli-puti, demensi sosial,  budaya, politik, ekonomi, hukum, serta akses.
       Masalah kemiskinan bukan saja persoalan satu negara, hampir semua negara termasuk negara-negara kaya atau super power dalam perencanaan pembangunan masih memberikan perhatian yang besar terhadap masalah kemis-kinan yang dialami rakatnya. Apalagi negara-negara dunia ketiga yang memiliki jumlah penduduknya sebagian besar berada di bawah garis kemiskinan. Negara-negara ini dikatego-rikan sebagai negara miskin. Dan negara-negara yang miskin ini memiliki jumlah yang lebih banyak dari negara-negara yang makmur atau telah mencapai tingkat kesejahteraan di atas standar minimum. Dan berdasarkan statis-tik, lebih dari separoh penduduk dunia berada di bawah garis kemiskinan. Berdasarkan itu maka pada tahun 2000 sejumlah negara termasuk Indonesia bergabung dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa menandatangani Deklarasi Milenium Perserikatan Bangsa-Bangsa atau dikenal dengan Millinium Development Goal’s (MDG’s). Tujuan MDG’S adalah : mengentaskan kemiskinan, memperbaiki kualitas kesehatan dan pendidikan,  meningkatkan perdamaian dan hak asasi manusia, kesetaraan gender dan kesinambungan lingkungan hidup.
       MDG’s muncul dari deklarasi tersebut dan meletakkan target terukur yang harus dicapai oleh masyarakat global di tahun 2015, dengan sasaran capaian meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara global yang diukur dengan Human Development Index (HDI) atau Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Secara detil, tujuan dan target MGD’s adalah sebagai berikut:  
1)       Tujuan ke-1, yaitu: menanggulangi kemiski-nan dan kelaparan. Dengan target terukur 1: menurunkan proporsi penduduk yang ting-kat pendapatannya di bawah USD 1/hari menjadi setengahnya antara tahun 1990 – 2015. Target terukur 2, menurunkan pro-porsi penduduk yang menderita kelaparan menjadi setengah antara tahun 1990 – 2015;
2)       Tujuan ke-2, yaitu : mencapai pendidikan dasar untuk semua, dengan target terukur 3, menjamin bahwa sampai dengan tahun 2015, semua anak, laki-laki dan perempuan, dapat menyelesaikan sekolah dasar (pri-mary schooling);
3)   Tujuan ke-3, yaitu: mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, de-ngan target terukur 4,  menghilangkan ketim-pangan gender di tingkat pendidikan dasar dan lanjutan pada tahun 2005 dan di semua jenjang pen-didikan tidak lebih dari tahun 2015;
4)   Tujuan ke-4, yaitu: menurunkan angka kema-tian anak, dengan target terukur 5, menurun-kan angka kematian Balita sebesar duaper-tiganya, antara tahun 1990 – 2015;
5)   Tujuan ke-5, yaitu meningkatkan kesehatan ibu, dengan target terukur 6, menurunkan angka kematian ibu antara tahun 1990 – 2015 sebesar tigaperempatnya;
6)   Tujuan ke-6, yaitu: memerangi HIV/AIDS, penyakit malaria, dan penyakit menular lain-nya, dengan target terukur 7, mengendalikan penyebaran HIV/AIDS dan mulai menurunnya jumlah kasus baru pada tahun 2015, me-ngendalikan penyakit malaria dan mulai menurunnya jumlah kasus malaria dan pe-nyakit lainnya pada tahun 2015;
7)   Tujuan ke-7, yaitu: memastikan kelestarian lingkungan hidup, dengan target terukur 9, memadukan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dengan kebijakan dan program nasional serta mengembalikan sumber daya yang hilang, target terukur 10, penurunan sebesar separuh, proporsi penduduk tanpa akses terhadap sumber air minum yang aman dan berkelanjutan serta fasilitas sanitasi dasar pada 2015, target terukur 11, mencapai perbaikan yang dalam kehidupan penduduk miskin di pemukiman kumuh pada tahun 2010.
       Indonesia termasuk dalam program MDG’s tersebut, dimana pada bulan September 2000 di Indonesia bersama 188 negara terlibat mendek-larasikan Program MDG’s itu. Pendeklarasian tersebut menunjukkan komitmen negara Indo-nesia dalam mewujudkan kesejahteraan masya-rakat secara global.
       Salah satu target utama dan pertama dari program MDG’s adalah menanggulangi kemis-kinan dan kelaparan, dengan dua target terukur, yakni : (1)  menurunkan proporsi penduduk yang tingkat pendapatannya di bawah USD 1/hari menjadi setengahnya antara tahun 1990–2015; (2) menurunkan proporsi penduduk yang menderita kela-paran menjadi setengah antara tahun 1990–2015.
         Dengan dua indikator target terukur ter-sebut memberikan isyarat imperatif untuk Indo-nesia sebagai bagian dari negara yang mendek-larasikan program MDG’s ini mesti berupaya mewujudkannya melalui berbagai kebijakan dan program pembangunan. Sudah banyak kebijak-an dan program pembangunan dilakukan peme-rintah untuk menanggulangi kemiskinan, baik di masa Orde Baru maupun Orde Reformasi ini, dan patut diakui keberhasilan yang telah dica-pai untuk mengurangi penduduk miskin, misal-nya program IMNES, IDT, KUBE, Program Pe-ngembangan Kecamatan (PPK), Program Pena-nggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP), Pro-gram masyarakat Mandiri, dll.
        Namun patut diakui pula bahwa banyak pula kegagalan, karena Indonesia masih dikate-gorikan dalam kelompok negara miskin ter-bawah bersama beberapa negara lain, yaitu Bangladesh, Laos, Mongolia, Miyamar, Pakis-tan, Papua Nugini, dan Filipina. Sampai tahun 2006, angka kemiskinan di Indonesia masih sebesar 17,75 % atau 39,05 juta jiwa dari total jumlah penduduk Indonesia. Dari segi penca-paian IPM misalnya, nilai IPM Indonesia pada tahun 2005 masih masuk dalam urutan ke-lompok  terbawah, yakni rangking 108 dari 177 negara. Untuk Provinsi di Indonesia, Maluku berada pada nilai sekitar 68 %, masih termasuk kategori rendah bersama beberapa provinsi lain.        
      Disamping keberhasilannya, kegagalan pe-merintah menanggulangi kemiskinan tentu dise-babkan karena berbagai faktor. Karena kemis-kinan memiliki banyak dimensi, maka penanga-nan atau penanggulangan kemiskian tidak hanya didekati dari satu aspek dan secara parsial, namun mesti dilihat dan didekati secara terintegrasi dan holistik.
Definisi Kemiskinan
       Bappenas,mendefinisikan kemiskinan seba-gai suatu kondisi atau situasi yang dialami seseorang atau sekelompok orang yang tidak mampu menjalani hidupnya sampai pada suatu taraf  yang dianggap tidak layak atau manusi-awi.
       Bebepara ahli mendefinisikan kemiskinan dari sudut pandang atau perspektif yang ber-beda.Sayogyo, misalnya, mendefinisikan kemis-kinan sebagai ciri dan akibat ketidaksamaan dalam masyarakat yang menjadikan sebagian golongan tak mampu mencapai tingkat hidup layak, sesuai harapan dan cita-cita yang hidup dalam masyarakat, berdasar upaya swadaya golongan itu. 
       BPS, mendefinikan kemiskinan adalah kon-disi di mana seseorang hanya dapat memenuhi kebutuhan  makannya kurang dari 2.100 kalori per kapita per hari.
       BKKBN, mendefinisikan kemiskinan, adalah keluarga miskin pra-sejahtera yang tidak dapat melaksanakan ibadah menurut agamanya, tidak mampu makan 2 kali sehari, tidak memiliki pakaian berbeda untuk di rumah, bekerja, dan bepergian, bagian terluas rumah berlantai tanah, tidak mampu membawa anggota keluarga ke sarana kesehatan.
        Menurut Bank Dunia, kemiskinan adalah tidak tercapainya kehidupan yang layak dengan penghasilan US $ 1 per hari.
       Kemiskinan dikategorikan ke dalam dua aspek, yakni kemiskinan relatif dan kemiskinan absolut. Kemiskinan relatif adalah kemiskinan yang dilihat berdasarkan perbandingan antara suatu tingkat pendapatan dengan tingkat pendapatan lainnya. Seseorang yang tergolong kaya dalam suatu mas-yarakat tertentu, bisa jadi merupakan orang miskin dalam masyarakat lain. Sedangkan kemiskinan absolut adalah suatu keadaan kemiskinan yang ditentukan dengan terlebih dahulu menetapkan garis tingkat pen-dapatan minimum. Orang-orang yang berpen-dapatan di atas tingkat pendapatan minimum tersebut dikategorikan sebagai bukan orang miskin. Sedangkan orang-orang yang penda-patannya kurang dari itu disebut sebagai orang miskin.
        Menurut Amartya Sen, kemiskinan bukan-lah sekedar masalah lebih miskin dari orang lain dalam suatu masyarakat, melainkan masalah tidak memilikinya kemampuan untuk memenuhi kebutuhan material secara layak – kegagalan untuk mencapai tingkat kelayakan minimum tertentu. (Revrisond Baswir,  1997 : 18-19).



Dimensi Kemiskinan
       Kemiskinan tidak hanya memiliki satu dimensi, tetapi memiliki banyak dimensi. Atau dengan kata lain kemiskinan memiliki dimensi ganda atau multi dimensi, antar dimensi, dan kontekstual. Kemiskinan mencakup dimensi sosial budaya, ekonomi, politik, dan akses.
       Dimensi sosial budaya, ditandai dengan tidak terintegrasinya masyarakat miskin ke dalam institusi sosial formal dan terinternali-sasikannya budaya miskin. Sebagai akibatnya, terjadi segregasi sosial yang menimbulkan ber-bagai kerawanan sosial, masyarakat miskin ter-paksa harus menciptakan mekanisme jaminan sosialnya sendiri untuk bertahan hidup, lahirnya budaya miskin yang merusak kualitas manusia dan  tata nilai serta norma dalam masyarakat, munculnya gejala psikologis, seperti rendah diri, merasa tidak berdaya, pasrah pada nasib, ber-pandangan takdir atau fatalisme.
      Dimensi ekonomi, yakni rendahnya peng-hasilan sehingga tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Akibatnya, buruknya kesehatan dan gizi anak-anak, pendidikan yang rendah, rumah yang tidak layak huni, sandang yang tidak cukup, serta berbagai kebutuhan hidup primer lain yang tidak dapat dipenuhi.
        Dimensi politik, yaitu tidak dimilikinya akses dan sarana yang memungkinkan orang miskin terlibat dalam proses pengambilan keputusan yang strategis menyangkut nasib mereka. Akibatnya,tersumbat segala aspirasi dan usaha- usaha orang miskin untuk mendapatkan per-hatian dan keadilan dalam kebijakan-kebijakan pembangunan.Kebijakan-kebijakan pembangun-an tidak pro rakyat miskin (non pro-poor). Orang miskin selalu termarjinalisasi dan terpinggirkan dalam institusi-instiusi resmi maupun institusi-institusi politik dan demokrasi, dan sering tidak diakui upaya-upaya mereka serta sering  diang-gap sebagai warga negara kelas dua dan tidak bertanggung jawab.Singkatnya, hak-hak mereka sebagai warga negara sering diabaikan.
        Dimensi akses, yaitu rendahnya kepemilik-an orang miskin terhadap berbagai  hal yang mampu menjadi modal hidup mereka. Indikator ketidakpemilikan akses ini adalah, tidak dimili-kinya aset sosial atau pelayanan publik, seperti kesehatan, pendidikan, jaminan sosial hari tua, penerangan, air bersih, dll; aset fisik, misalnya tidak memiliki rumah yang layak, harta benda, serta sarana produksi, sumberdaya alam, yaitu tanah atau lahan garapan; sumber daya manu-sia, rendahnya kualitas SDM, karena pendidikan yang rendah, tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan, dan finansial, yaitu tidak memikili jaminan perkreditan atau modal usaha, maupun tabungan.


Rujukan Teori

Akar Penyebab Kemiskinan dan Beberapa Pan-dangan Tentang Kemiskinan

       Kemiskinan dilihat oleh para ahli terutama ahli ilmu sosial diakibatkan oleh berbagai sebab. Ada yang melihat kemiskinan berkaitan erat dengan budaya dari suatu masyarakat. Kemis-kinan menurut pandangan ini melihat kemis-kinan disebabkan karena masyarakat hidup malas, kurang ada motivasi untuk bekerja keras merubah hidup mereka. Etos kerja pada masyarakat sangat rendah, walaupun sumber daya alam tersedia. Motivasi dan etos kerja yang rendah ini terkait erat juga dengan pandangan hidup atau world view masyarakat, yang menganggap kerja untuk hidup masa depan yang lebih baik  tidak terlalu penting. Pandangan ini membuat masyarakat tidak mau bekerja keras dan menata hidup mereka dengan baik. Sikap hemat dan menabung bagi mereka tidak ada guna, membuat mereka hidup boros dan konsumtif. Pada akhirnya masyarakat ini tetap hidup dalam keadaan miskin, tidak berubah dan lamban terhadap kema-juan.
        Ahli lain melihat kemiskinan suatu masya-rakat disebabkan karena ketidakadilan. Ketidak-adilan disebabkan karena struktur yang mencip-takan ketidakseimbangan dalam kepemilikan faktor-faktor produksi. Misalnya kepemilikan tanah yang tidak merata, dimana sekelompok orang menguasai sebagian besar tanah, seda-ngkan sebagian besar orang tidak menguasai tanah, dan yang tidak menguasai tanah ini mereka menjadi buruh tani. Yang menguasai tanah ini sudah tentu mereka memiliki kemu-dahan akses untuk mendapatkan modal dari lembaga modal resmi serta berbagai kemudah-an lain. Sementara yang tidak memiliki tanah mereka tetap bekerja sebagai buruh tani atau penggarap yang diberi upah oleh pemilik tanah atau tuan tanah. Struktur kepemilikan ini  men-ciptakan ketidakseimbangan dalam mayara-kat yang membuat masyarakat yang tidak memiliki tanah dan modal tidak berdaya dan terus ber-gantung hidup mereka kepada tuan tanah atau pemilik modal. Ketergantungan para buruh tani atau penggarap ini yang kemudian mengakibat-kan terciptanya struktur kemiskinan yang me-lembaga dalam masyarakat.
       Hal yang sama terjadi pula dalam masya-rakat industri dimana para pemilik kapital besar menguasai sebagian besar perusahaan-perusa-haan produksi yang penting. Mereka menguasai sektor ekonomi pasar atau ekonomi moderen, yang akhirnya membuat sektor ekonomi tradi-sional tidak dapat berkembang karena tidak mampu bersaing dengan sektor ekonomi mo-deren.  Berkembangnya sektor ekonomi mode-ren didukung pula oleh kebijakan politik peme-rintah karena dianggap sektor ini menunjang pertumbuhan ekonomi negara. Oleh sebab itu sektor ini pun lebih banyak mendapat kemu-dahan dari pemerintah. Sebaliknya lambannya perkembangan sektor ekonomi tradisional dise-babkan karena kurang mendapat dukungan politik pemerintah sehingga mereka kurang mendapat kemudahan fasilitas untuk mengem-bangkan usahanya. Mereka seringkali diabaikan dalam kebijakan-kebijakan pembangunan.Pada-hal sektor ekonomi tradisional ini digeluti oleh sebagian besar masyarakat baik di perdesaan maupun perkotaan. Kondisi ini pada akhirnya menciptakan ketidakseimbangan struktur eko-nomi antara sektor ekonomi moderen dan sektor ekonomi tradisional. Ketidakseimbangan struktur ini pada gilirannya melahirkan ketidakberdaya-an kelompok lemah dan mengakibatkan kemis-kinan yang luas dalam masyarakat.
       Dalam kaitan itu kemiskinan dibedakan ke-dalam tiga aspek, yakni kemiskinan natural, kul-tural, dan struktural. Kemiskinan natural adalah kemiskinan yang disebabkan karena faktor-faktor alamiah seperti, karena cacat, sakit, lanjut usia, atau karena bencana alam. Kemiskinan kultural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh faktor budaya seperti, malas, tidak disiplin, boros, dan sebagainya. Sedangkan kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh faktor-faktor  manusia seperti distribusi aset produktif yang tidak mereta, kebijakan ekonomi yang tidak adil, korupsi dan kolusi, serta tatanan perekonomian dunia yang cenderung meng-untungkan kelompok masyarakat tertentu. (Revrisond Barwir, 1997 : 20-21).
       Sejalan dengan pandangan di atas, pan-dangan konservatif, melihat kemiskinan dise-babkan karena orang miskin sendiri. Menurut pandangan ini orang miskin dinilainya bodah, malas, tidak punya motivasi berprestasi yang tinggi, serta tidak memiliki keterampilan. Semua itu berkaitan dengan mentalitas dari orang miskin sendiri, atau dengan kata lain kultur orang miskin itu sendiri dianggap faktor utama penyebab kemiskinan mereka. Oleh karena itu orang miskin karena kulturnya itu membuat mereka tidak dapat menyesuikan diri atau beradaptasi dengan proses-proses sosial yang ada.
       Sedangkan menurut pandangan liberal, kemiskinan terjadi karena struktur sosial kurang memberikan kesempatan kepada orang miskin untuk berusaha. Mereka melihat ketidakadilan dan diskriminasi membuat orang miskin tidak dapat mengembangkan potensi yang mereka miliki. Struktur sosial yang tidak adil ini menutup pelayanan dan fasilitas publik bagi orang miskin, membuat mereka tidak berdaya karena tidak punya kesempatan untuk berusaha. Pada akhir-nya mereka tetap hidup dalam ketidakberdaya-an dan kemiskinan mereka.
       Menurut Marx, timbulnya kemiskinan dise-babkan oleh adanya perbedaan kekuasaan, po-sisi dan legitimasi dalam sistem sosial. Keter-belakangan suatu masyarakat tidak terlepas dari masyarakat jajahan yang mengeksploitasinya (Tjahya Supriatna, 2000 : 180).
        Berbeda dengan pandangan makro yang dikemukakan di atas, Robert Chambers meng-identifikasi kemiskinan disebabkan karena lima faktor utama yang saling terkait secara mikro, yang dinamakannya sebagai ”ketidakberuntu-ngan” atau ”disadvantages”, yakni (1) Kemis-kinan, kemiskinan ini ditandai dengan rumah yang reot dan dibuat dari bahan bangunan yang bermutu rendah, perlengkapan yang sangat minim, dan tidak memiliki MCK sendiri, ekonomi keluarga ditandai dengan ekonomi gali lubang tutup lubang. Pendapatan mereka tidak mementu dalam jumlah  yang sangat tidak memadai; (2) Kelemahan fisik, fisik yang lemah dapat menyebabkan orang miskin memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi antara ang-gota keluarga tersebut dengan anggota keluarga dewasa yang sehat dalam mencari nafkah. Fisik yang lemah ini disebabkan karena kurang gizi, sehingga mereka tidak mampu mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga; (3) Keterasingan, keterasingan keluarga miskin karena tempat tinggal mereka yang terisolasi secara geografis, yang menyebabkan mereka tidak memiliki akses terhadap sumber-sumber informasi membuat mereka tidak mampu men-gadaptasikan diri dengan berbagai perkem-bangan serta minimnya pengetahuan dan keterampilan; (4) Kerentanan,  keluarga miskin biasanya tidak memiliki cadangan baik berupa uang atau makanan untuk mengahdapi keadaan darurat. Apabila terjadi keadaan darurat seperti ada keluarga yang tiba-tiba sakit mereka tidak mampu membiayai sehingga biasanya mereka menjual barang milik mereka yang ada, atau mereka berhutang kepada tetangga untuk membiayai perawatan. Keluarga miskin ini bia-sanya mereka makan satu hari hanya satu kali dengan kadar gizi yang sangat tidak memadai, membuat mereka sangat rentan terhadap penyakit menular, atau mudah terserang wabah penyakit; (5) Ketidakberdayaan, karena ketidak-berdayaan orang miskin seringkali  tidak berda-ya menghadapi rentenir atau berbagai bentuk eksploitasi, yang memuat mereka tetap terkung-kung dalam lilitan kemiskinan. Karena ketidak-berdayaan itu pula seringkali orang miskin  ditipu serta diperlakukan tidak adil dalam urusan-urusan administrasi pemerintahan atau urusan-urusan perkara, mereka tidak kuasa me-nghadapi aparat pemerintah yang sering mena-kutnakuti. (Loekman Soestrisno, 1997 : 16-21).
        Emil Salim (Tjahya Supriatna, 2000 : 124-125), mengemukakan lima karakteristik kemis-kinan, sebagai beriku :
a)       Penduduk miskin pada umumnya tidak memiliki faktor produksi sendiri;
b)       Tidak mempunyai kemungkinan untuk memperoleh aset produksi dengan kekuat-an sendiri;
c)       Tingkat pendidikan pada umumnya rendah;
d)       Banyak di antara mereka tidak mempunyai fasilitas;
e)       Di antara mereka berusaha relatif muda dan tidak mempunyai keterampilan atau pendidiakan yang memadai.

Kecuali yang dikemukakan Emil Salim di atas, garis kemiskinan ditetapkan juga berdasarkan tingkat pendapatan per bulan perkapita per tahun atau per kapita per bulan. Bank Dunia menetapkan tingkat pendapatan per kapita per  tahun serendah US $ 75 untuk daerah perkotaan dan $ 50 untuk daerah pedesaan sebagai garis kemiskinan. Sedangkan Biro Pusat Statistik (BPS) menggunakan kriteria tingkat penge-luaran per kapita per bulan untuk meme-nuhi kebutuhan minimum makanan dan bukan makanan sebagai garis kemiskinan. Kebutuhan minimum makanan digunakan patokan 2.100 kalori per orang per hari, sedangkan  pengeluaran bukan makanan terdiri dari kebutuhan minimum untuk peru-mahan, bahan bakan, sandang, pendidikan, kesehatan dan transpor, dan garis kemis-kinan berdasarkan pengeluaran ini berbeda pada setiap daerah atau provinsi.
        Selain itu, Sajogyo menggunakan kriteria tingkat pengeluaran sebagai proksi terhadap pendapatan setara beras sebagai dasar penetapan garis kemiskinan, yakni untuk kategori miskin pada daerah perko-taan 480 Kg, daerah pedesaan 320 Kg, miskin sekali daerah perkotaan 360 Kg, daerah pedesaan 240 Kg, sedangkan penduduk paling miskin 270 Kg untuk daerah perkotaan dan 180 Kg untuk daerah pedesaan. Dalam kaitan ini Sajogyo me-nyebut kemiskinan sebagai ciri dan akibat ketidaksamaan dalam masyarakat yang menjadikan sebagian golongan tak mampu mencapai tingkat hidup layak, sesuai harapan dan cita-cita yang hidup dalam masyarakat, berdasar upaya swadaya golo-ngan itu.(Metodologi Indentifikasi Golongan dan Daerah Miskin: Suatu Tinjauan dan Alternatif, 1995).   



Strategi Penanggulangan Kemiskinan  Dengan Berbagai Pendekatan

       Salah satu tujuan mendasar negara adalah mengupayakan kesejahteraan bagi masyarakat. Amanat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yakni ”...melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa...”    
      Amanat Konstitusional tersebut merupakan hakekat dari pembangunan bangsa, dan oleh sebab itu maka tidak ada alasan untuk kemis-kinan tidak diberantas. Sebagai konsekuensinya maka pemerintah berkomitmen  pada tahun 2000 bersama sejumlah negara bergabung dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa menanda-tangani Deklarasi Milenium Persatuan Bangsa- Bangsa atau dikenal dengan Millenium Deve-lopmens Goal’s (MDG’s) sebagaimana telah dikemukakan di atas. Salah satu tujuan  MDG’S adalah mengentaskan kemiskinan.  Berdasar-kan itu maka pemerintah menyusun berbagai strategi untuk menanggulangi kemiskinan.
      Di bawah ini akan dikemukakan beberapa strategi penanggulangan kemiskinan melalui kebijakan pemerintah, serta berbagai alternatif pendekatan penanggulangan kemiskinan secara akademis.



Strategi dan Model Pendekatan

     Suatu pendekatan akan efektif apabila dipa-hami secara tepat latar belakang masalah yang menjadi akar penyebab dari kemiskinan. Telah dikemukakan bahwa kemiskinan memiliki ba-nyak dimensi atau multi dimensi.  Atau dengan kata lain dengan menggunakan istilah medis, suatu treatment hanya akan dapat menolong menyembuhkan suatu penyakit jika diagnosis-nya tepat sesuai penyakit yang diderita sese-orang. Kemiskinan sebagai penyakit sosial sangat kompleks, oleh sebab itu model pende-katan dalam menanggulangi kemiskinan tidak tunggal, atau hanya dilihat dan didekati dari satu aspek atau model saja.

     
 a. Model  Program Pembangunan

       Penanggulangan kemiskinan sebenarnya telah dilakukan pemerintah sejak masa Orde Lama. Tahun 1960-an telah dilaksanakan pro-gram penanggulangan kemiskinan melalui strategi pemenuhan kebutuhan pokok. Pada masa Orde Baru, yakni pada  1970-an peme-rintah menggulirkan kembali program penang-gulangan kemiskinan yang ditempuh secara reguler melalui program sektoral dan regional. Pada tahun 1980-an, program penanggulangan kemiskinan dengan strategi khusus menun-taskan masalah kesenjangan sosial ekonomi masyarakat, baik di kota maupun di pedesaan. Tahun 1990-an, dilakukan peningkatan program penanggulangan kemiskinan melalui program-program seperti, Proyek Peningkatan Penda-patan Petani dan Nalayan Kecil (P4K),  Kelom-pok Usaha Bersama (KUBE), Inpres Desa Tertinggal (IDT). Ketika krisis ekonomi dan moneter di tahun 1997 sampai 1999 pemerintah membuat program Jaring Pengaman Sosial (JPS) sebagai program emergensi dalam rangka mengamankan (katup pengaman) masyarakat miskin dari kerawanan sosial yang lebih parah.         Dengan dilaksanakannya program-program tersebut, diakui bahwa angka kemiskinan dapat diturunkan, namun tidak menuntaskan akar ke-miskinan secara mendasar. Hal ini disebabkan karena kebanyakan orientasi program-program tersebut cenderung bersifat politis, di samping tumpang tindih, serta karikatif. Kecuali itu juga, mekanisme perencanaan sampai kepada pelak-sanaan dan evaluasi masih bersifat top down approach atau sentralize policy. Pendekatan ini menjadikan masyarakat terutama masyarakat kecil dan miskin hanya sebagai obyek, mereka tidak dilibatkan secara aktif. Sebagai akibatnya kebanyakan dalam pelaksanaannya tidak men-capai sasaran, serta masyarakat tidak diber-dayakan, dan masyarakat dibentuk dalam pola ketergantungan. Pada gilirannya masyarakat lebih banyak pasif, kurang berinisiatif, dan me-miliki motivasi yang rendah, serta lambannya inovasi.
       Setelah reformasi tahun 1998 yang meru-bah tatanan pemerintahan dan politik dari cen-tralize policy atau sentralisasi kebijakan pem-bangunan kepada decentralize policy. Para-digma pembangunan mengalami perubahan pendekatan dari top down approach kepada bottom up approach, masyarakat dijadikan subyek serta inti dalam proses pembangunan mulai dari perencanaan sampai kepada eva-luasi.             
      Berkaitan dengan itu, tahun 2000-an hingga kini pemerintah mencanangkan rogram-program pembangunan yang lebih bersifat partisipatif (melibatkan stakeholders) seperti, Program Pe-ngembangan Kecamatan (PPK),Program Pena-nggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP), Program masyarakat Mandiri, dll,  dan beberapa program lanjutan serta pengembangan dan reorientasi dari program-program tahun 1990-an dengan menempatkan semua program tersebut di bawah program payung, yakni Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM). Di samping berbagai program penanggulangan kemiskinan yang dilakukan pemerintah tersebut, juga dilakukan oleh BUMN-BUMN, Swasta, dan LSM, melalui pemberian modal usaha, maupun berbagai program pemberdayaan dan penguat-an  kapasitas masyarakat.

                                                                                       
b.  Model  Human Investment (Investasi SDM)

      Telah dikemukakan bahwa kemiskinan dise-babkan karena berbagai faktor, ada yang pe-ngaruhnya dominan atau utama ada yang hanya sebagai faktor penunjang atau sekunder.  Jika kemiskinan lebih disebabkan karena faktor manusia sebagai individu atau faktor fungsional,  maka strategi pendekatan yang  digunakan adalah mengubah aspek manusia sebagai individu atau warga masyarakat, dalam hal ini manusia yang menjadi sasaran untuk diber-dayakan melalui peningkatan kapasitas agar mereka mampu melakukan peningkatan pro-duksi melalui pengelolaan sumber daya (sosial, ekonomi, politik) yang ada (Soetomo, 2008: 327).
       Peningkatan kapasitas ini berkaitan dengan peningkatan kualitas manusia melalui pendi-dikan dalam arti luas, baik pendidikan formal maupun non formal. Pendidikan formal  lebih ditujukan kepada anak-anak usia sekolah dari keluarga miskin melalui bantuan fasilitas pen-didikan dan diberikan kemudahan-kemudahan agar anak-anak keluarga miskin ini dapat ber-sekolah dengan baik dan menamatkan pendi-dikan mereka pada jenjang tertentu, minimal  dapat menyelesaikan studi mereka pada jenjang SMA/SMU/SMK atau sederajat. Pendidikan non-formal ditujukan kepada individu maupun kelom-pok orang miskin melalui kursus-kursus dan keterampilan (life skill) agar mereka berdaya dan mampu bekerja secara mandiri untuk memenuhi kebutuhan serta kelangsungan hidup mereka.

       
c. Model Pendekatan Struktur

       Jika kemiskinan dipandang  disebabkan karena struktur, maka struktur yang menjadi sasaran perubahan. Perubahan struktur dimak-sudkan agar memungkinkan masyarakat miskin mendapat peluang dan kesempatan memper-oleh akses untuk berusaha meningkatkan taraf hidup mereka. Struktur yang dimaksud baik sosial, ekonomi maupun politik. Perubahan struktur sosial dimaksudkan agar masyarakat miskin dapat berinteraksi dengan sesama serta memperoleh kepercayaan diri dalam mem-bangun kerjasama (networking) serta memak-simalkan sistem sumber yang ada  sebagai modal sosial. Perubahan struktur ekonomi di-maksudkan agar masyarakat miskin memper-oleh akses sumberdaya ekonomi untuk mening-katkan produktivitas mereka. Perubahan struktur juga dimaksudkan untuk merubah kelembagaan ekonomi yang menjadi menghalang agar ada keseimbangan dalam produksi dan distribusi, serta menguasaan aset-aset ekonomi yang lebih adil.
         Dalam kaitan dengan perubahan struktur ini, Long, seperti dikutip Soetomo (Soetomo, ibid : 328), menawarkan dua pendekatan utama, yakni improvement approach dan transformation approach, yang lebih diarahkan kepada mas-yarakat desa yang merupakan bagian terbesar dari masyarakat miskin. Menurut Long, impro-vement approach adalah perubahan struktur yang lebih efektif dan moderat, adalah mem-perbaiki cara pertanian yang lebih baik melalui keterampilan teknis yang memadai agar para petani dan nelayan miskin mampu peningkatan produksi mereka tanpa mengganggu dan me-rusak sistem sosial tradisonal yang sudah ada.  Dengan cara ini masyarakat miskin desa memi-liki kapasitas dan ketahanan baik secara sosial-ekonomi maupun psikologis untuk memperta-hankan eksistensi mereka, meningkatkan kese-jahteraan, serta menaikkan status sosial dan martabat mereka. Sedangkan transformation approach, dimaksudkan perubahan yang funda-mental dalam sistem pemilikan faktor-faktor produksi atau resurces terutama tanah yang dikuasai oleh tuan tanah dan kaum borjuis desa, termasuk kelembagaan yang mendukungnya.      
d. Model Pendekatan Kultural

 Kemiskinan yang disebabkan karena faktor budaya atau yang sering disebut kemiskinan kultural, adalah kemiskinan yang bersumber dari latar belakang budaya masyarakat yang bersa-ngkutan. Latar belakang tersebut dapat berupa pandangan hudup (world view), sikap, serta nilai-nilai yang dianut. Seperti misalnya, yang berkaitan dengan pandangan hidup, masyarakat yang bersangkutan menganggap bahwa hidup ini tidak perlu mengejar kekayaan yang ber-lebihan karena pada akhirnya lenyap juga, oleh karena itu tidak perlu bersusah payah bekerja keras untuk memperoleh kekayaan untuk kese-jeteraan hidup. Pandangan seperti ini membuat masyarakat bersangkutan berusaha secukupnya demi menyambung kebutuhan hidup mereka setiap hari.
 Pandangan lain menganggap kemiskinan atau hidup miskin itu sudah takdir, oleh sebab itu tidak perlu bersusah payah karena sudah nasib. Sehingga kalau pun berusaha dengan sekuat tenaga, hidup akan tetap saja miskin. Pandangan seperti ini membuat orang atau masyarakat yang bersangkutan selalu pasrah terhadap keadaan. Pandang ini lebih dikenal dengan sikap fatalisitik, yang membuat masya-rakat bersangkutan apatis, tidak memiliki sema-ngat kerja, tidak memiliki pengharapan ke depan, tidak ada kemauan untuk merubah dera-jad kehidupan mereka.
 Ada juga pandangan dalam masyarakat ter-tentu bahwa hidup miskin atau kemiskinan itu sesuatu yang baik, sebagai nilai kebajikan. Pan-dangan ini cenderung menekankan kesucian, kesederhaan atau kebersahajaan, sebagai ben-tuk kesalehan hidup yang harus dipertahankan sebagai sesuatu yang utama dan penting. Hidup kaya dan berkecukupan atau sejahtera diang-gap sebagai ketidaksucian, ketidaksalehan, dan ketidak-bajikan. Pandangan ini yang membuat orang atau masyarakat yang bersangkutan tidak mau merubah status kehidupan mereka yang tetap miskin, malah dengan dipertahankan sta-tus itu membuat mereka semakin bangga dan mengaggap  hidup mereka semakin mulia.  Pan-dangan tersebut telah terbentuk sebagai suatu sistem nilai yang melembaga sehingga sulit untuk merubahnya. Jika sistem budaya demi-kian yang membuat masyarakat yang bersa-ngkutan tetap miskin, maka yang harus dirubah lebih awal adalah pandangan mereka yang telah tertanam sebagai sistem nilai. Untuk merubah pandangan itu maka salah satu sarana yang paling efektif adalah pendidikan sebagai strategi kebuda-yaan.
 Memang untuk merubah pandangan yang telah tertanam sebagai sistem membutuhkan waktu, namun melalui pendidikan yang teren-cana dengan baik maka nilai-nilai yang meru-pakan penghambat dalam pandangan tersebut yang membuat orang atau masyarakat tidak dapat keluar dari kemiskinan mereka, akan dirubah dengan pandangan tentang nilai-nilai kemajuan dan prestasi yang perlu diusahakan melalui kerja dan perencanaan hidup yang terarah.

           
Penutup
        Beberapa pendekatan yang dikemukakan di atas tidak berasumsi bahwa kemiskinan tidak hanya disebabkan karena satu aspek, tetapi kemiskinan disebabkan juga karena berbagai aspek, serta memiliki  banyak dimensi yang ber-kaitan dan saling mempengaruhi. Oleh karena itu pendekatan dalam  menanggulangi kemis-kinan tidak hanya bisa dilakukan dari satu aspek secara parsial tetapi mesti dilakukan secara holistik dan terintegrasi. Walaupun begitu kemis-kinan memang dapat juga disebabkan karena salah satu aspek yang dominan dari aspek lainnya, sehingga pendekatan pun dapat dilaku-kan terfokus pada satu aspek saja, namun aspek lain pun tidak mesti diabaikan sama sekali di dalam analisis secara anatomis mau-pun dalam upaya penanggulangannya. Kemam-puan dan ketepatan menganatomi kemiskinan akan sangat membantu menentukan pendeka-tan yang tepat dalam menanggulangi akar pe-nyebab kemiskinan.
        Di samping itu komitmen yang kuat dari pe-nentu kebijakan melalui keputusan-keputusan politik dan penganggaran (budgeting) yang ber-pihak kepada orang miskin (budgeting pro-poor), serta regulasi yang adil baik dalam bidang eko-nomi, politik, sosial, hukum, dan budaya, pene-gakan hukum secara konsisten (low inforce-ment) terhadap korupsi dan kolusi,  akan meng-eleminir kesenjangan dan ketidakseimbangan struktur yang menyebabkan kemiskinan. Maka komitmen negara untuk memberantas kemis-kinan melalui keikutsertaan dalam deklarasi Millenium Development Goal’s  akan terwujud, yang juga adalah amanat Konstitusi (Undang-Undang Dasar  1945).
          

                                



                                                                 Referensi




Arief, Sritua dan Adi Sasono, Ketergantungan dan   Keterbelakangan, Sinar Harapan kerjasama dengan Lembaga Studi Pembangunan, (edisi ke-2),  Jakarta, 1984.
  Baswir, Revrisond, Agenda Ekonomi Kerakyatan, Pustaka Pelajar kerjasama dengan IDEA, Yogyakarta, 1997.
Combs, Philip H. &  Manzoor Ahmed, Memerangi Kemiskinan di Pedesaan Melalui Pendidikan Formal, Publikasi Bank Dunia–CV Rajawali, (cet.ke-2),  Jakarta, 1985.
Fakih, Mansour, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, INSIST PRESS kerjasama dengan Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002.
Mubyarto, Reformasi Sistem Ekonomi: Dari Kapita-lisme menuju Ekonomi Kerakyatan, Aditya Media, Yogyakarta, (edisi.ke-2),1999.
Rusli, Said dkk, Metodologi Identifikasi Golongan dan Daerah Miskin, Suatu Tinjauan dan Alternatif, IPB – Bogor kerjasama dengan PT Grasindo, Jakarta, 1995.
Remi, Soemitro & Prijino Tjiptoherijanto, Kemis-kinan dan Ketidakmerataan di Indonesia, (edisi Indonesia – Inggris), Rineka Cipta, Jakarta, 2002.
Sumardi, Mulyanto & Hans-Dieter Evers  (ed.), Kemiskinan dan Kebutuhan Pokok,  Raja-wali, (cet.ke-2) Jakarta, 1985.
Soetrisno, Loekman, Kemiskinan, Perempuan, dan Pemberdayaan, Kanisius, Yogyakarta, 1997.
_______________________, Membangun Pereko-nomian Rakyat, Pustaka Pelajar kerjasama dengan IDEA, 1998.
Supriatna, Tjahya, Strategi Pembangunan dan Kemiskinan, Rineka Cipta, Jakarta, 2000.
Saefuddin, Asep, dkk (Tim Crescent), Menuju Mas-yarakat Mandiri, Pengembangan Model Sistem Keterjaminan Sosial,  Gramedia Pus-taka utama, Jakarta, 2003.
Sumawinata, Sarbini, Politik Ekonomi Kerakyatan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2004.
Soetomo, Masalah Sosial dan Upaya Pemecahan-nya, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2008.
Sumodiningrat, Gunawan,  Mewujudkan Kesejah-teraan Bangsa, PT Alex Media Komputindo, Jakarta, 2009.
Yustika, Ahmad Ereni, Negara vs Kaum Miskin, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003.





      


























































































































TEOLOGI KESEJAHTERAAN SOSIAL


TEOLOGI KESEJAHTERAAN SOSIAL
(Gagasan awal membangun teologi fungsional)


Oleh :
Max Maswekan
Dosen FISIP UKIM - Ambon





Pengantar

      Berteologi adalah upaya memahami teks Firman Allah dan mengimplementasikannya ke dalam konteks kehidupan nyata. Kehidupan nyata adalah realitas sosial yang di dalamnya manusia hidup, saling berinteraksi dan bergumul dengan kehidupannya. Masalah kelaparan,  pengangguran, gelandangan, pengungsian, dan ketidakberdayaan menyebabkan kemiskinan,  adalah realitas kehidupan nyata orang-orang yang tidak berdaya karena tidak memiliki akses baik sosial, budaya, ekonomi, politik, dan hukum serta struktur sosial dan kekuasaan yang membelunggu. Mereka itu tidak menikmati kesejahteraan secara layak, dan martabat mereka sering diinjak-injak. Karena itu berteologi harus memberi perhatian dan  mengutamakan mereka yang menderita tersebut serta berupaya mengangkat mereka dari penderitaannya. Itu adalah teologi yang hidup, berakar, dan fungsional.
       Tulisan sederhana ini mencoba menggagas pencarian wajah baru dalam berteologi dengan memberi fokus kepada kesejahteraan sosial sebagai lokus berteologi. Kemiskinan yang membuat orang menderita adalah masalah utama kesejahteraan sosial. Kemiskinan dalam perspektif iman Kristen adalah dosa, dan dosa dibenci oleh Allah, oleh karena itu harus dilawan. Gereja dan kekristenan memiliki tugas dan tanggung jawab untuk berjuang  melawan dosa kemiskinan tersebut, dengan mengupayakan tindakan-tindakan penyelamatan melalui aksi – refleksi – aksi sebagai praksis kesejahteraan sosial. Karena untuk itulah gereja diutus di tengah-tengah dunia ini. Itu adalah gereja yang autentik, yakni gereja yang selalu berpihak dan berjuang melawan penderitaan akibat kemiskinan serta struktur yang menyebabkan kemiskinan dan penderitaan manusia.
       Gereja harus berjuang sungguh-sungguh membebaskan kaum miskin dari penderitaan mereka. Gereja diutus di tengah-tengah dunia tidak sekedar memberitakan Firman melalui kegiatan-kegiatan formal ritual, tetapi gereja juga harus turut bertindak mengupayakan pem-berdayaan  bagi  orang miskin melalui pendekatan-pendekatan usaha-usaha kesejahteraan sosial (metodologi pekerjaan sosial), agar mereka mampu melakukan fungsi-fungsi sosialnya secara normal dan mendayagunakan potensi yang dimiliki (modal sosial) serta memanfaatkan secara efektif dan efisien demi meningkatkan kehidupan mereka menjadi layak dan sejahtera serta bermartabat. Kemiskinan mengakibatkan penderitaan sebagai realitas sosial adalah lahan berteologi. Firman Allah dengan puncak karya penyelamatan Yesus Kristus menjadi sumber inspirasi dan landasan pijak bagi bangunan teologi kesejahteraan sosial.  
Sejarah Singkat Lahirnya Sistem Usaha Kesejahteraan Sosial

  ”Di Inggris pada abad pertengahan, bantuan kepada fakir miskin merupakan bagian kegiatan gerejani. Pemberian sedekah kepada fakir miskin, buta, cacat, adalah kewajiban keagamaan dan memiliki makna pembebasan hukuman dosa sesudah kematian. Undang-Undang Tentang Kemiskinan  (Poor Low) pertama kali muncul sebagai akibat adanya bencana nasional... Selanjtnya, tahun 1531 Hendri  VIII mengeluarkan peraturan yang merupakan usaha pertama kali untuk memperbaiki cara bantuan kepada fakir miskin. Orang-orang jompo (lansia) dan fakir miskin yang tidak mampu bekerja ditempatkan di rumah penampungan. Pengemis-pengemis didaftar dan diizinkan tinggal di suatu daerah tertentu. Peraturan tersebut adalah awal dari pengakuan tanggungjawab masyarakat terhadap fakir miskin. Kemudian disusul ”Statute of 1536” yang merupakan perencanaan pertama kali  bantuan masyarakat di bawah pengawasan  pemerintah. Selanjutnya dikeluarkan berbagai Undang-Undang Tentang Kemiskinan pada tahun 1601...”                 (T. Sumarnonugroho, 1991 : 125-140).

       Catatan di atas memberi informasi bahwa perhatian terhadap masalah-masalah kesejahteraan sosial pada tahun sebelum dan sampai 1531 dan sesudahnya mulai diupayakan pemerintah dan masyarkat di Eropa (Inggris). Dapatlah dikatakan bahwa saat itu secara formal benih-benih usaha kesejahteraan sosial mulai disemai, kemudian dalam perjalanan sejarah ia tumbuh dan berkembang di Eropa dan menjalar ke luar Eropa, kemudian ke berbagai negara termasuk di Indonesia pada abad ke-19. Di Indonesia, usaha-usaha kesejahteraan sosial mulai mendapat perhatian pertamakali dari pihak lembaga swasta dan diusahakan secara melembaga oleh seorang Pendeta dari Inggris, yakni Rev. W.H. Medhurt. Ia mendirikan sebuah ”Panti Asuhan Parappatan” di Jakarta tahun 1832. Kemudian diikuti oleh berbagai lembaga yang memberi perhatian terhadap masalah-masalah kesejahteraan sosial  baik lembaga keagamaan maupun non-keagamaan, secara khusus perhatian diberikan kepada para jompo (lansia) dengan mendirikan sebuah Rumah Orang Jompo Pniel pada tahun 1866. Namun pelayanannya masih terbatas kepada para janda yang mempunyai pertalian darah atau hubungan perkawinan antara orang Indonesia dengan orang Belanda. Beberapa tahun kemudian lahir berbagai lembaga swasta di beberapa tempat, seperti di Salatiga 1902 didirikan sebuah Panti oleh organisasi Bala Keselamatan, yang bernama ”Witte Kruis” untuk menampung orang-orang terlantar. Tahun 1908  didirikan pula sebuah Panti  di Semarang (Ibid : 159-160).
       Sesudah kemerdekaan, perhatian dari pemerintah Indonesia terhadap usaha-usaha kesejahteraan sosial secara formal dimulai  pada tahun 1945, dengan terbentuknya Kementerian Sosial pada tanggal 19 Agustus dua hari sesudah kemerdekaan Indonesia. Pada tahun 1948 tanggal 20 Desember dijadikan Hari Kebaktian Sosial sebagai respon terhadap kesadaran masyarakat dan pemerintah Indonesia terhadap aksi militer Belanda kedua di Yogyakarta. Hari kebaktian sosial ini merupakan wujud dari rasa solidaritas sosial masyarakat dan pemerintah terhadap orang-orang terlantar, anak yatim piatu dan cacat sebagai akibat dari perang kemerdekaan tersebut. Sesudah tahun 1950-an pemerintah Indonesia memberi perhatian yang besar dalam bidang kesejahteraan sosial dengan mengusahakan kegiatan-kegiatan sosial yang lebih luas jangkauannya, antara lain, berupa bimbingan dan penyuluhan, transmigrasi, korban bencana alam, dan sebagainya, dengan penyediaan dana baik dari pemerintah maupun swasta.
      Penanganan bidang kesejahteraan sosial ini kemudian ditangani secara terencana dan  terintegrasi oleh berbagai kementerian dalam kebinet pembangunan, yakni Kabinet Perburuhan dan Sosial tahun 1947. Pada tahun 1960-an usaha-usaha kesejahteraan sosial diperluas jangkauannya lagi pada masyarakat suku-suku terasing dengan usaha pemukiman menetap dengan penyediaan berbagai prasarana dan sarana sosial ekonomi disertai pola pembinaan dan pelayanan secara terencana dan berkesinambungan. Penanganan kesejahteraan sosial ini kemudian dituangkan dalam Pembangunan Nasional Semesta Berencana dalam Ketetapan MPRS RI No. I dan II/MPRS/1960.
        Pada tahun 1965 lahirlah Undang-Undang No.4 Tentang Pemberian Bantuan Penghidupan Orang Jompo sebagai landasan hukum formal. Mulai dari situ usaha-usaha kesejahteraan sosial berkembang dan ditangani baik oleh pemerintah maupun swasta atau masyarakat secara melembaga dan tersistem, dengan didirikan berbagai wadah pelayanan dengan berbagai program pelayanan secara terencana dan berkesinambungan. Dalam perkembangan ini pula  sistem pelayanan sosial mulai menggunakan prinsip-prinsip dan metode pekerjaan sosial yang terarah dan sistematis. Perkembangan ini mulai terencana dengan baik setelah tahun 1970-an saat masyarakat dan bangsa Indonesia mulai menghadapi perubahan sosial yang pesat melalui perencanaan pembangunan berencana yang dikenal dengan Pelita (Pembangunan Lima Tahun).
       Melalui pembangunan bertahap (Pelita) ini, usaha-usaha kesejahteraan sosial semakin mendapat tempat baik secara formal oleh pemerintah maupun perhatian yang besar dan luas dari masyarakat. Hal ini semakin jelas dengan dihasilkannya Undang-Undang RI No.6 Tahun 1974 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial. Beberapa tahun kemudian lahirlah Undang-Undang RI No.4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak sebagai landasan hukum formal dengan landasan pokok pembangunan kesejahteraan sosial secara idiil, adalah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusional, kemudian dirumuskan serta dijabarkan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara sebagai landasan operasional dari pelita ke pelita yang selalu ditinjau dan dikembangkan. Secara singkat, dalam perkembangan selanjutnya, usaha-usaha kesejahteraan sosial ini ditingkatkan dan dikembangkan baik secara kuantitas maupun kualitas melalui riset-riset yang dilakukan oleh lembaga-lembaga pemerintah, swasta maupun perguruan tinggi bersamaan dengan didirikannya berbagai perguruan tinggi negeri maupun swasta dengan kurikulum yang khusus menyiapkan pekerja dan perencana di bidang sosial maupun  ilmuan dengan disiplin kesejahteraan sosial (Ibid : 161- 171).
      Perkembangan ini terasa semakin pesat seirama dengan  kemajuan pembangunan yang melahirkan masalah-masalah sosial yang semakin kompleks, pengaruh globalisasi,  serta perubahan paradigma pembangunan dan perubahan tata pemerintahan yang kemudian  melahirkan undang-undang khususnya di bidang kesejahteraan sosial, yakni Undang-Undang  Nomor  11 Tahun 2009 yang menggantikan Undang-Undang Nomor  6  Tahun 1974 yang tidak lagi relevan dengan perkembangan, serta sejumlah undang-undang yang berhubungan dengan usaha-usaha penanganan masalah kesejahteraan sosial.




Sumber Inspirasi Lahirnya Sistem Usaha Kesejahteraan Sosial

       Dari gambaran singkat sejarah lahirnya sistem usaha kesejahteraan sosial yang dikemukan di atas, maka dapatlah dipastikan bahwa sistem usaha kesejahteraan sosial  ini lahir, dipelopori oleh lembaga-lembaga yang berlatar belakang keagamaan. Di Indonesia misalnya, seperti telah dikemukakan, yaitu Panti Asuhan Parappatan di Jakarta (1832) yang didirikan oleh Pendeta dari Inggris, yakni Rev.H.W.Menhurst. Kemudian pada tahun 1866 didirikan Rumah Orang Jompo Pniel (sebuah yayasan gereja), serta Panti Witte Kruis di Salatiga oleh organisasi gereja Bala Keselamatan.
       Lahirnya panti-panti tersebut tentu didorong oleh misi dan motivasi yang paling tidak dilandasi oleh nilai-nilai doktrin agama yang dimiliki. Oleh karena panti-panti itu berlatar-belakang agama Kristen, maka jelas, seperti pada agama-agama lain, di dalam agama Kristen dorongan untuk menolong orang lain yang menderita bersumber dari ajaran kasih dari Kristus, yakni ”Kasihilah sesamamu seperti engkau mengasihi dirimu sendiri” (hukum kasih yang kedua, Injil Mat.22:39, Mark.12:31, Luk.10:27).
      Dorongan yang sama misalnya, di samping pelopor-pelopor yang lain, adalah seorang  suster, yakni suster Teresa yang memberi dirinya melayani orang-orang menderita karena sistem serta struktur masyarakat yang menindas di Kalkuta India saat itu, yang menyebabkan banyak orang menderita sakit, mati kelaparan, terlantar karena tidak memiliki rumah (tuna wisma), tidak memiliki pekerjaan (tuna karya), dan pelacuran (tuna susila), dsb, seperti diungkapkan oleh Christian Fiedmann mengutip kata-kata suster Teresa saat ia “berkotbah” di Universitas Oslo, sebagai berikut : 

 “Kalau anda membelakangi kaum miskin berarti anda membelakangi Kristus sendiri. Kristus  telah membuat diri-Nya lapar, telanjang, dan tak beratap, supaya kita sempat mengasihi Dia (Kristus) dalam diri kaum miskin” (Christian Feldmann, 1990 : 72).

 Suster Teresa bukan seorang filosof atau teolog, namun pemikiran, pandangan-pandangan serta perkataannya melalui pernyataan di depan forum-forum mengandung nilai-nilai filosofis dan teologis yang dalam, yang turut memberi sumbangan penting terhadap bangunan teologi kesejahteraan sosial, seperti diungkapkan Christian Feldmann sebagai berikut :
   
      ”Ibu Teresa memandang Allah sebagaimana seorang anak memandang ayahnya. Ia tidak menemukan Allah dalam pandangan filsafat atau pengalaman mistik, melainkan secara mesra dalam setiap orang yang dijumpainya. Itulah rahasianya. Kasihnya yang berapi-api kepada kaum miskin, yang tidak berdaya, yang hancur karena situasi, adalah jawaban atas kasih yang dirasakan dan dihayati sendiri...” (Ibid : 72-73).

 Suster Teresa juga bukan seorang pekerja sosial (Social Worker) yang menginjakkan kakinya di perguruan tinggi kesejahteraan sosial atau sejenisnya, ia juga bukan seorang perawat kesehatan, atau seorang yang pernah mendapat pendidikan guru, namun ia adalah pekerja sosial yang tangguh dan profesional. Kemampuannya mengorganisir kegiatan untuk melayani orang miskin sangat teruji dan mengagumkan. Kunci keberhasilannya adalah bukan pada uang atau biaya serta prasarana dan sarana yang utama. Walaupun bagi suster Teresa semua itu penting, namun yang lebih penting dan utama baginya adalah kepercayaan, kesungguhan dan ketulusan untuk melayani. Kepercayaan, kesungguhan dan ketulusan suster Teresa itu dibangun atas dasar kasih Kristus yang selalu terpancar dalam seluruh karya kemanusiaannya. Hal ini terungkap dari suratnya kepada sesama rekan susternya, sebagai berikut :

”Kita adalah misionaris pembawa kasih Allah kepada dunia masa kini. Yesus mengutus kita. Ia tidak dapat menipu kita. Sabda-Nya tegas: ”Kalian berbuat itu untuk-Ku, Aku lapar dan kalian memberikan Aku makan”. Kita bukan karyawati sosial, bukan perawat, bukan guru. Kita adalah kumunitas  religius. Apabila kita melayani orang miskin, kita melayani Yesus. Saya melayani Yesus selama 24 jam setiap hari. Apa saja yang saya buat adalah bagi Dia. Dialah yang menopang saya. Saya mengasihi Dia kalau saya  mengasihi kaum miskin. Lewat Dialah saya mengasihi mereka” (Ibid : 73).  

        Gambaran singkat di atas, jelas bahwa lahirnya sistem usaha kesejahteraan sosial yang dipelopori baik oleh perorangan maupun organisasi tersebut adalah terinspirasi dan bersumber dari nilai-nilai ajaran agama yang dianut, yakni ajaran cinta kasih yang bersumber dari ajaran-ajaran  dan karya Yesus.



Pengertian Berteologi

       Berteologi adalah upaya untuk menjabarkan dan mengkomunikasikan teks dalam konteks. Berteologi oleh karenanya harus selalu memperhatikan konteks. Teologi selalu harus kontekstual, tumbuh dari dalam konteks untuk menjawab pergumulan konteks. Menurut Schoof (1970), yang dikutip Wahono Nitiprawiro, ”teologi adalah refleksi sistematis metodis tentang realitas iman, yang adalah integrasi ilmiah dari sabda Tuhan sebagaimana itu ditujukan kepada kita. Oleh karenanya teologi yang merupakan kegiatan penalaran tentang ajaran iman tersebut memperbaharui dirinya lewat tiga saluran. Pertama, adalah saluran interpretasi kembali ajaran iman sedemikian rupa sehingga mendekati sumbernya, mendekati Kitab Suci dan tradisi. Proses ini juga disebut sebagai ”kembali kepada sumber” atau resurcement. Kedua, adalah saluran kontak dengan macam hal yang terjadi dalam komunitas kristiani dan dunia masa kini. Ketiga, adalah saluran ransangan dari apa-apa yang dipikirkan oleh para teolog...” (Wahono Nitiprawiro, 1987 : 20). Jadi teologi bukan sekedar kegiatan memberikan perwajahan baru terhadap ajaran baku, tetapi refleksi iman  secara baru sebagaimana itu dihayati oleh umat dan masyarakat yang berjuang untuk pembebasan” (ibid, hal:24).
         Berteologi yang fungsional adalah teologi yang kontekstual. Teologi yang asing dari konteksnya tidak akan mampu berfungsi. Inilah teologi yang hidup. Teologi yang hidup adalah teologi yang menghidupkan (a living theology is a theology of life). Itu berarti bahwa ketika konteks kehidupan berubah, maka diperlukan pula suatu teologi yang baru. Sebab teologi yang benar-benar kontekstual senantiasa dinamis dan kreatif, peka dan cepat tanggap terhadap konteksnya (Eka Dharmaputera: 1991 : 8).
        Pada hakekatnya, teologi tidak lain dan tidak bukan adalah upaya untuk mempertahankan secara dialektis, kreatif serta eksistensial antara ”teks” dengan  ”konteks”, antara ”kerygma” yang universal dengan kenyataan hidup yang kotekstual. Dapatlah dikatakan bahwa teologi adalah upaya untuk merumuskan penghayatan kristiani pada konteks ruang dan waktu tertentu (ibid : 9). Teologi selalu bertitik tolak dari sebuah asumsi dasar, yaitu : bahwa Allah yang kita percayai adalah Allah yang berfirman, Allah yang menyatakan kehendak-Nya di sepanjang masa bagi seluruh umat manusia di mana saja. Firman dan kehendak-Nya itu adalah mengenai kebenaran dan keselamatan, serta kesejahteraan manusia bahkan seluruh ciptaan. Firman dan kehendak-Nya itu berlaku bagi siapa saja di mana saja, dan kapan saja. Dan oleh karena itu siapapun yang mendambahkan kebenaran, keselamatan dan kesejahteraan, tidak dapat tidak, harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan dan memberlakukan firman serta kehendak Allah itu. Teologi bertolak dari keinginan itu, dan berfungsi untuk mencari serta merumuskan kehendak Allah  yang menyelamatkan, mensejahterakan, serta merupakan norma kebenaran itu. Teologi yang benar harus mulai dari situ (ibid :10). Kesimpulannya adalah, teologi kontekstual harus dibangun bersama-sama secara interdisipliner. Tegasnya, bila aspek ”konteks”-nya hendak ditekankan, maka jelaslah bahwa  ilmu teologi juga membutuhkan uluran tangan dari disiplin ilmu lain, seperti sosiologi, politik, ekonomi, teknologi, dsb (ibid :15).  Teologi yang tidak mem-perhitungkan konteks budaya (maupun sosial ekonomi suatu masyarakat), akan merupakan teologi yang tidak berakar, teologi yang asing dari alam pemikiran dan sistem nilai yang ada. Ia tidak akan fungsional (ibid :17).
        Dalam berteologi, gereja harus berdiri pada garis sejarah yang memperjuangkan kemanusiaan manusia dalam arti yang sepenuh-penuhnya. Berteologi pun harus dilakukan dalam ke-berasa-an dengan semua orang. Berteologi adalah praksis yang dilakukan oleh dan untuk semua orang. Oleh sebab itu gereja bertugas mengajak semua orang memberlakukan apa yang dilakukan Allah dalam konteks kenyataan masa kini, yaitu mengangkat manusia pada kemanusiaannya (Th. Sumartana : 1993 : 18-19).
     Teologi fungsional  menunjuk pada suatu usaha  berteologi yang secara eksplisit berpangkal pada pengalaman manusiawi dan pengalaman iman (pengalaman kontekstual) dan ingin membantu penghayatan iman di situ (Eka Dharmaputera, ibid : 51). Teologi (gereja) yang fungsional (kontekstual), yaitu teologi yang dibangun  dalam kerangka ”Kerajaan Allah”. Ada empat aspek yang harus diperhatikan dalam mewujudkan teologi (gereja) yang fungsional (kontekstual), yakni :
1)      Aspek Teologis. Pemaklumat Yesus mengenai Kerajaan Allah, Kristus mewayuhkan secara baru siapakah Allah itu. Yesus menyebut Allah sebagai Abba, Bapa Pencipta. Kebangkitan Yesus meneguhkan ”tuntutanya”-Nya sebagai Anak Allah. Para murid Yesus diajari Doa Bapa Kami. Partisipasi dalam kehidupan Anak itu sesudah kebangkitan-Nya dimengerti sebagai buah daya ’Roh Kudus’, Roh yang datang dari Allah melalui Yesus;
2)      Aspek Kristologis. Dalam Injil, pemaklumat kerajaan Allah sangat erat berhubungan dengan pribadi Yesus sendiri. Kerajaan Allah simbol yang dipersonifikasikan tersebut, dalam pemakluman  Yesus diradikalisir serta diubah, diberi arti dan wujud baru secara luar biasa dan penuh resiko;
3)      Aspek Eskatologis. Kerajaan Allah merupakan tindakan Allah yang mempunyai ciri ”eskatologis-transenden”;
4)      Aspek Soteriologis. Dalam kerajaan Allah, keselamatan dan manusianya yang diper-hatikan. Keselamatan bukanlah hanya menyangkut rohaninya semata, tetapi juga menyangkut dimensi jasmaniah dan sosial.
Dengan demikian, gereja dalam kerangka mewujudkan Kerajaan Allah itu, maka iman dan harapan gereja akan kerajaan Allah mesti terwujud dalam keprihatinan dan keterlibatan menangani dunia ini, termasuk usaha-usaha mensejahterakan masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan dan tidak berdaya atau tercecer. Berdasarkan tugas pengutusan injili sebagaimana nampak dalam hidup dan karya Yesus, gereja terpanggil untuk selalu berdiri pada pihak kaum miskin (preferensial obtion for the poor)  untuk mewujudkan tuntutan keadilan mereka dalam rangka kesejahteraan bersama. Untuk menjalani hidup semacam itu, gereja harus meletakkan dan membangun landasan teologi sebagai landasan yang fungsional, yang kuat    (Th. Sumartana, ibid : 48-50).



Pengertian Kesejahteraan Sosial

         Ada berbagai pengertian atau definisi kesejahteraan sosial menurut beberapa ahli dan organisasi, yakni :
1). Arthur Dunham; merumuskan kesejahteraan sosial sebagai kegiatan-kegiatan yang terorganisasi dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan dari segi sosial melalui pemberian bantuan kepada orang untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan di dalam beberapa bidang seperti kebutuhan keluarga dan anak, penyesuaian sosial, waktu senggang, standar-standar kehidupan dan hubungan-hubungan sosial. Pelayanan kesejahteraan sosial memberikan perhatian utama terhadap individu-individu, kelompok, komunitas-kumunitas, dan kesatuan penduduk yang lebih luas; pelayanan ini mencakup pemeliharaan atau perawatan, penyembuhan dan pencegahan.
2).  Harold L.Wilensky dan Charles N. Lebeaux; mendefinisikan kesejahteraan sosial se-bagai suatu sistem yang terorganisasi daripada usaha-usaha pelayanan sosial dan lembaga-lembaga sosial, untuk membantu individu-individu dan kelompok-kelompok dalam mencapai tingkat hidup serta kesehatan  yang memuaskan. Maksudnya agar supaya individu dan relasi-relasi sosialnya memperoleh kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengembangkan kemampuan-kemampuannya serta meningkatkan  atau menyempurnakan kesejahteraannya sebagai manusia sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
3).  Walter A. Friendlander; mendefinisikan kesejahteraan sosial sebagai suatu sistem yang terorganisasi daripada pelayanan-pelayanan sosial yang melembaga, yang bermaksud untuk membantu individu-individu dan kelompok agar mencapai standar-standar kehidupan dan kesehatan yang memuaskan, serta hubungan-hubungan perorangan dan sosial yang memungkinkan mereka memperkembangkan segenap kemampuan dan peningkatan kesejahteraan mereka selaras dengan kebutuhan-kebutuhan keluarga dengan masyarakat.
4). Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB); mendefinisikan kesejahteraan sosial sebagai suatu fungsi terorganisasi, adalah kumpulan kegiatan yang bermaksud  yang memungkinkan individu, keluarga-keluarga, kelompok-kelompok dan komunitas-komunitas meng-gumuli masalah-masalah sosial yang diakibatkan oleh perubahan kondisi-kondisi. Tetapi di samping itu, secara luas, kecuali bertanggungjawab terhadap pelayanan-pelayanan khusus, kesejahteraan sosial mempunyai fungsi lebih lanjut ke bidang yang lebih luas  di dalam pembangunan sosial suatu negara. Pada pengertian yang lebih luas, kesejahteraan sosial dapat memainkan peranan dalam memberikan sumbangan untuk secara efektif menggali dan menggerakan sumber-sumber daya manusia (SDM) serta sumber daya material (SDA) yang ada di suatu negara agar dapat berhasil menggumuli kebutuhan-kebutuhan sosial yang ditimbulkan oleh perubahan, dengan demikian berperan serta dalam pembinaan bangsa (T. Sumarnonugroho, 1991 : 27-36).
5). Undang-Undang No.11 Tahun 2009; merumuskan kesejahteraan sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosial-nya.



Tujuan Kesejahteraan Sosial

             Kesejahteraan sosial sebagai sistem mempunyai tujuan dan fungsi, yakni :

             Tujuan
a.       Untuk mencapai kehidupan yang sejahtera dalam arti mencapai standar kehidupan pokok, sandang, perumahan, pangan, kesehatan, dan relasi-relasi sosial yang baik dalam lingkungannya;
b.      Untuk mencapai penyesuain diri yang baik, apakah itu kepada masyarakat di lingkungannya, misalnya menggali sumber-sumber daya, meningkatkan dan mengembangkan taraf hidup yang memuaskan.

              Leonard Schneiderman, menguraikan tujuan-tujuan sistem kesejahteraan sosial, sbb:
a.       Maintenance system (sistem pemeliharaan); yaitu kesejahateraan sosial mencakup pemeliharaan dan menjaga keseimbangan atau kelangsungan keberadaan serta nilai-nilai sosial. Hal ini berhubungan dengan :
      ● Pengertian dasar tentang arti dan tujuan kehidupan;
      ● Motivasi untuk mempertahankan kelangsungan hidup individu dan kelompok masyarakat;
      ● Norma-norma untuk menampilkan peranan berdasarkan umur dan jenis kelamin;
                     ● Norma-norma yang berhubungan dengan produksi dan distribusi barang serta pelayanan;
        Norma-norma tentang pemecahan  konflik dan semacamnya.

b.      Control system (sistem pengawasan); tujuannya adalah mengadangan pengawasan secara efektif terhadap perilaku yang tidak sesuai atau penyimpang dari nilai-nilai sosial yang ada. Tujuan ini dapat dicapai dengan melakukan kegiatan-kegiatan :
      ● Identifikasi fungsi-fungsi pemeliharaan, berupa kompensasi, resosialisasi, dan penyadaran terhadap kelompok-kelompok penduduk yang berperilaku menyim-pang agar supaya dapat mengembangkan pengawasan diri;
      ● Menggunakan prosedur-prosedur hukum dan peraturan-peraturan untuk meningkatkan pengawasan eksternal dari perilaku yang menyimpang; misalnya kerusakan dan kemunduran mental, kelalaian dan kekejaman orang tua, pencegahan tindakan bunuh diri, kriminal, dan sejenisnya.
     c. Change system (Sistem Perubahan); Tujuannya adalah mengadakan perubahan ke arah berkembangnya suatu sistem yang lebih efektif bagi anggota masyarakat. Dalam hal ini usaha sistem kesejahteraan sosial merupakan suatu alat untuk menghilangkan hambatan-hambatan terhadap terwujudnya :
 ● Partisipasi dalam pengambilan keputusan secara penuh dan lebih adil;
 ● Distribusi sumber-sumber yang lebih adil dan merata;
 ● Penggunaan kemungkinan-kemungkinan yang ada dalam struktur sistem secara lebih banyak dan lebih adil. (T. Sumarnonugroho, 1991 : 37-40).




Fungsi-Fungsi Kesejahteraan Sosial

        Pada dasarnya fungsi-fungsi kesejahteraan sosial bertujuan untuk menghilangkan atau mengurangi tekanan-tekanan yang diakibatkan perubahan-perubahan sosial-ekonomi, menghindarkan terjadinya konsekuensi-konsekuensi sosial yang negatif terhadap pembangunan  serta menciptakan kondisi-kondisi yang mampu mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat. Ada empat fungsi kesejahteraan sosial, yakni :

1).  Fungsi Penyembuhan (Curative)
      Kesejahteraan sosial melaksanakan fungsi penyembuhan bila di dalamnya tercakup sekumpulan kegiatan yang ditujukan untuk menghilangkan kondisi-kondisi, ketidak- mampuan fisik, emosional dan sosial agar orang yang mengalami masalah tersebut dapat berfungsi secara normal kembali di dalam masyarakat. Contoh pelaksanaan fungsi penyembuhan ini, antara lain, masalah keluarga, kelompok, kesatuan masyarakat untuk berperan secara memadai, misalnya :
·     anak terlantar
·     keluarga miskin
·     penderita cacat
·     lanjut usia (lansia)
·     dsb.

          2).  Fungsi Pencegahan (Preventive)
Fungsi pencegahan dalam kesejahteraan sosial bertujuan untuk memperkuat keluarga, kelompok-kelompok, dan kesatuan-kesatuan masyarakat agar jangan sampai timbul masalah-masalah sosial yang baru. Di samping itu juga diusahakan pencegahan tingkah laku perorangan yang abnormal.
Di dalam masyarakat yang mengalami perubahan cepat, upaya pencegahan ditekankan pada kegiatan-kegiatan untuk membantu penciptaan pola-pola baru hubungan sosial serta lembaga-lembaga sosial baru. Upaya pencegahan ini tergantung kepada bagaimana tingkat kehidupan suatu negara dengan melihat sumber-sumber yang tersedia.

3). Fungsi Pengembangan (Development)
Kegiatan kesejahteraan sosial yang bersifat pengembangan, tujuan-tujuan dan orientasinya untuk memberikan sumbangan langsung bagi proses pembangunan. Dalam hal ini kesejahteraan sosial bertindak sebagai suatu unsur pelaksana perubahan (change agent), yaitu membantu peningkatan proses perubahan berencana. Perubahan ini dapat mempengaruhi struktur dan fungsi keluarga serta masyarakat, sehingga anggotanya perlu disiapkan untuk memperoleh dan melaksanakan peranan-peranan serta tanggungjawab yang baru.
Kegiatan-kegiatan yang dilaksankan mencakup cara-cara untuk memperbaiki situasi-situasi melalui pelibatan orang-orang di lingkungan sosialnya dan untuk memecahkan masalahnya.

4).  Fungsi Penunjang (Supportive)
      Fungsi penunjang dalam kesejahteraan sosial  ini mencakup kegiatan untuk membantu mencapai tujuan-tujuan sektor lain. Misalnya dalam membantu men-capai tujuan kebijaksanaan pemerintah dalam menunjang program kependudukan dan keluarga berencana dengan jalan mempengaruhi sikap-sikap atau memotivasi masyarakat untuk ikut serta menyukseskan program KB, maupun program-program pemberdayaan masyarakat, dsb.




Landasan Teologi Kesejahteraan Sosial
      
             ”...Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini kamu telah melakukannya untuk Aku” (Matius: 25:40).

                    Bagian Alkitab ini sebetulnya mau menegaskan iman yang hidup dari orang percaya (Kristen), di mana dalam percakapan dengan Yesus, para (murid) bingung dan kesulitan memahami bagaimana mengasihi Allah yang abstrak itu, walaupun sudah sekian lama mereka hidup bersama Yesus dan menyaksikan apa yang telah dikatakan dan dilakukan-Nya. Nampaknya para murid belum yakin betul apa yang telah Yesus katakan tentang ”Kerajaan Allah” atau ”Kerajaan Sorga”. Para murid sangat terikat dengan pandangan mereka sendiri mengenai kerajaan Sorga yang abstrak, dan oleh sebab itu bagi mereka yang lebih penting adalah aspek iman yang ”imanen” bukan iman yang ”transenden”. Iman yang imanen lebih cenderung menekankan sikap ”askestis”, yakni sikap yang menjauhkan diri dari realitas sosial yang nyata, dunia termasuk manusia, dianggap penuh cobaan dan dosa, oleh sebab itu tidak boleh didekati.
                          Dengan cara berpikir seperti itu para murid lebih cenderung mengarahkan pandangan dan sikap mereka kepada dunia akhirat dan mengabaikan realitas kehidupan sosial yang dihadapi. Hal itu sangat jelas terlihat dalam argumentasi mereka ketika Yesus berkata tentang kewajiban para murid (orang percaya)  untuk melayani orang-orang yang sedang berada dalam penderitaan karena lapar, haus,  orang asing, sakit, dan orang-orang yang ada dalam penjara, dimana Yesus mengidentifikasikan diri-Nya dengan orang-orang tersebut. Para murid menyangka bahwa Yesus lah yang mesti mereka layani ketika Yesus berada dalam penderitaan, karena selama itu mereka belum pernah menyaksikan Yesus mengalami penderitaan seperti itu untuk mereka melayani-Nya. Padahal yang Yesus maksudkan adalah mereka harus melayani orang-orang yang mereka jumpai berada dalam penderitaan, dan melakukan kepada mereka sama seperti melakukannya kepada Yesus, karena orang-orang seperti itulah menjadi misi kedatangan Yesus ke dunia.
                          Teks ini pula sangat jelas berbicara tentang penghukuman kepada mereka yang tidak melakukan pelayanan kepada orang yang berada dalam penderitaan sebagai melakukan perbuatan baik. Mereka yang melakukan perbuatan baik akan dipisahkan sebagai domba dan yang tidak melakukan perbuatan baik dipisahkan sebagai kambing. Domba yang akan memiliki tempat dalam kehidupan yang kekal atau Kerajaan Sorga sedangkan kambing tempatnya siksaan yang kekal atau neraka pada saat penghakiman terakhir.
                         Yang dimaksudkan Yesus dengan saudara-Ku yang paling hina itu adalah semua orang dari semua bangsa, tanpa mengenal latarbelakang suku,  ras, golongan agama, bahasa, warna kulit, tua muda, kecil besar, laki-laki dan perempuan. Dan orang yang paling hina adalah  setiap orang atau kelompok orang yang dikategorikan menderita dan hidup tidak layak, karena tidak memiliki akses baik sosial, ekonomi, politik, hukum, budaya, yang membuat mereka tidak berdaya baik disebabkan karena struktur sosial ekonomi maupun sebab-sebab fungsional yang membuat seseorang atau kelompok orang tidak dapat melakukan fungsi sosialnya dengan baik. Yesus mengidentikan diri-Nya sendiri dengan orang-orang yang menderita tersebut sebagai orang yang paling hina yang harus mendapat perhatian dan mengutamakan mereka untuk dilayani dan diselamatkan melalui tindakan-tindakan nyata yang membebaskan mereka dari penderitaan dan kehinaannya. Hal ini memang sudah dinubuatkan oleh nabi Yesaya tentang kedatangan Yesus dan misi-Nya jauh sebelum kedatangan Yesus, yakni ”...Ia dihina dan dihindari orang, seorang yang penuh kesengsaraan dan yang biasa menderita kesakitan; ia sangat dihina, sehingga orang menutup mukanya terhadap dia dan bagi kita pun dia tidak masuk hitungan. Tetapi sesungguhnya, penyakit kitalah yang ditanggungnya, dan kesengsaraan kita yang dipikulnya...” (Yes.52:3-4).
                           Dengan penjelasan Yesus yang sangat gamblang dalam percakapan dengan murid-murid seperti dikemukakan di atas, walaupun ceritanya tidak berlanjut mengenai bagaimana tanggapan para murid terhadap pernyataan Yesus tersebut, namun sebetulnya percakapan yang mengandung wejangan eskatologis tersebut sangat kuat menekankan aspek soteriologis-transenden dari iman orang percaya (Kristen) sebagai kewajiban iman yang asasi, yang pada hekekatnya semua itu merupakan inti dari hukum kasih yang kedua, yang tidak boleh diabaikan, dan mesti dilaksanakan sejajar dengan hukum kasih yang pertama. Mengabaikan yang satu dan mengutamakan yang lain berarti iman yang tidak sempurna, iman yang setengah-setengah, iman yang imitasi atau palsu, ibarat kubur yang kosong berlabur putih kelihatannya indah pada luarnya namun di dalamnya tulang belulang. Artinya ibadah yang sejati bukan pada aspek formalnya yang ditekankan tetapi seluruh perilaku hidup dalam interaksi dengan sesama serta dengan lingkungan. Dengan kata lain ibadah yang sejati adalah ibadah yang berpijak kepada kehidupan nyata manusia, realitas sosial adalah basis ibadah dimana iman orang percaya dilempar dan dipertaruhkan di situ. Inilah sebetulnya inti iman yang hidup dari orang percaya (Kristen), bukan melakukan perbuatan baik untuk memperoleh  keselamatan, tetapi karena sudah diselamatkan maka orang percaya (Kristen) harus melakukan perbuatan baik  kepada sesama yang menderita demi mengangkat mereka dari penderitaannya, adalah  tindakan iman yang membalas kebaikan Allah melalui karya penyelamatan oleh Yesus.
                          Dengan begitu menjadi jelas bahwa yang dimaksudkan dengan ”Kerajaan Allah” atau ”Kerajaan Sorga”  itu ada di dalam realitas kehidupan manusia sehari-hari di mana manusia bergumul dengan kehidupannya, dan tindakan untuk membebaskan manusia dari pergumulan dan penderitaannya itu menunjukkan tanda-tanda dari Kerajaan Allah atau Kerajaan Sorga tersebut. Hal ini menjadi semakin jelas ketika dalam percakapan dengan orang Farisi tentang kuasa yang dipakai Yesus mengusir setan, Yesus mengatakan, ”Tetapi jika Aku mengusir setan dengan kuasa Roh Allah, maka sesungguhnya Kerajaan Allah sudah datang kepadamu” (Matius: 12:28; Lukas: 11:20).
                          Dapatlah dipahami bahwa perkataan, pernyataan, serta seluruh tindakan Yesus  memberi kesan teologis yang kuat mengenai aspek transenden dari iman yang harus menjadi landasan paradigma dalam bentuk aksi – refleksi – aksi, bagi tindakan-tindakan nyata dalam kerangka pengatasi masalah-masalah sosial dan kemanusiaan. Kehadiran Yesus sendiri di dunia sesungguhnya menunjukkan kehadiran Kerajaan Allah di dunia  ini. Itu berarti Yesus ingin menegaskan bahwa pandangan dan pola pemikiran para murid dan orang percaya (Kristen) jangan menyusahkan atau menyesatkan mereka sendiri, karena Kerajaan Allah itu sesungguhnya ada dalam kehidupan manusia sehari-hari yang setiap saat dijumpai oleh para murid dan orang percaya, seperti orang yang lapar, haus, sakit, orang asing atau pengungsi, gelandangan, orang yang kekurangan sandang, serta orang yang ada dalam penjara. Paradigma ini mengisyaratkan setiap tindakan dan aksi sosial bagi pembebasan atau penyelamatan manusia diberi landasan teologis, dan melalui tindakan atau aksi sosial – refleksi – dan aksi itu (praksis), diperoleh pengalaman iman yang nyata dan baru secara terus-menerus sebagai bahan refleksi yang menghubungkan teks Firman Allah dengan konteks realitas sosial.
                   Dengan begitu maka kesejahteraan sosial dapat diupayakan dan dibangun dengan kerangka paradigmatik (metodologis) yang jelas dan pijakan teologis yang kuat, yang selalu dapat dianalisis dan dievaluasi secara kritis  dan dikembangkan sesuai dinamika konteks realitas  sebagai lahan bagi upaya-upaya pemberdayaan sosial untuk mewujudkan kesejahteraan sosial dan pembebasan  bagi manusia secara adil dan berkeadaban,  dapat terus dilakukan secara bermakna baik kuantitatif maupun kualitatif.

Penutup

        Usaha-usaha kesejahteraan sosial memiliki tugas dan fungsi serta kedudukan  yang sama penting dengan upaya untuk menyelamatkan jiwa manusia. Upaya menyelamatkan jiwa manusia tanpa mengusahakan kesejahteraannya sama halnya dengan  manusia yang hidup dengan roh tanpa tubuh, ibarat jiwanya di bumi sedangkan tubuhnya melayang-layang di awan-awan, sebaliknya mengusahakan kesejahteraan manusia tanpa menyelamatkan jiwanya sama halnya dengan manusia yang sementara hidup dengan tubuh tetapi jiwanya telah mati. Oleh karena itu baik jiwa (rohaniah)  maupun tubuh  (jasmaniah) harus dipandang dan ditempatkan dalam perspektif keutuhan atau totalitas ciptaan yang tidak terpisahkan, yang harus diselamatkan secara holistik melalui pendekatan-pendekatan (metodologi) usaha-usaha kesejahteraan sosial yang dilandasi dengan nilai-nilai iman (teologi) yang mendasari usaha-usaha kesejahteraan sosial tersebut.
        Upaya untuk meletakkan dan mengembangkan teologi kesejahteraan sosial harus dimulai dari sekarang dan terus dilakukan secara bersama sebagai upaya membangun teologi fungsional, teologi yang efektif mengupayakan pemberdayaan dan pemandirian bagi mereka yang lemah dan tidak berdaya, miskin karena tidak memiliki  akses baik sosial, ekonomi, budaya, politik, hukum, serta struktur sosial dan kekuasaan yang membelenggu. Itu adalah teologi yang hidup dan berakar. Teologi yang hidup dan berakar adalah teologi yang menghidupkan,   teologi yang melakukan tindakan-tindakan pembebasan dan penyelamatan melalui upaya-upaya pemberdayaan baik komunitas maupun individu  untuk dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara normal dan optimal dengan potensi yang ada (modal sosial) serta memaksimalkan sistem sumber secara efektif dan efisien demi menopang proses-proses pemberdayaan yang mampu mengeluarkan mereka dari kesulitan-kesulitan dan penderitaan, agar hidup layak, sejahtera dan bermartabat.
        Perkataan, tindakan dan seluruh karya penyelamatan (pembebasan) Yesus memberi inspirasi dan keteladanan bagi peletakan dasar bangunan Teologi  Kesejahteraan Sosial yang kuat, berakar dan fungsional.
          















Referensi


      Banawiratma, J.B (ed), Kemiskinan dan Pembebasan, Pustaka Teologi, Kanisius, 1990.

      Banawiratna, J.B & Miller, J, Bertelogi Sosial Lintas Ilmu, Kanisius,  Yogyakarta, 1993

      Darmaputera, Eka (Penyunting),  Konteks Beteologi Di Indonesia, BPK, Jakarta, 1991.

      Feldmann, Christian, Pejuang Keadilan dan Perdamaian, BPK & Kanisius, Jakarta, 1990.

      Holland, Joe & Hendriot Peter, Analisis Sosial & Refleksi Teologis, Kaitan Iman dan
 Keadilan,  Kanisius, Yogyakarta, 1986.

      Hendriks, Herman, Keadilan Sosial dalam Kitab Suci, Kanisius, Yogyakarta, 1990.

      Nitiprawiro, Wahono, Teologi Pembebasan, Sinar Harapan, Jakarta, 1987.

     Sumartana, Th (dkk), Terbit Sepucuk Taruk : Teologi Kehidupan, Balitbang PGI,
 Jakarta, 1993.

     Sumarnonugroho, T, Sistem Intervensi Kesejahteraan Sosial, PT. Handinita,
Yogyakarta, 1991.

     Undang-Undang  RI  Nomor 11 Tahun 2009, Tentang Kesejahteraan Sosial.