FISIP UKIM Ambon (Max Maswekan)
Sabtu, 11 Februari 2012
Sabtu, 04 Februari 2012
ANATOMI KEMISKINAN
ANATOMI
KEMISKINAN
(Memahami Akar
Penyebab Kemiskinan dan Model Pendekatan Penanggulangan
Dalam Kerangka Millennium
Development Goal’s )
Oleh :
Max Maswekan
Dosen FISIP UKIM - Ambon
Abstract
Poverty where is somebody or person group can
not fulfil standard alive minimum, or a
standard that assumed proper. On that account poverty makes person or person
group over a barrel and live in suffering very humiliate dignity.
Has many dimensions or multi dimension, good
social dimension, culture, economy, policies,
and access. Poverty cause root not only one aspect but many aspects,
good structural aspect, cultural, natural, social system, and as it. Efforts has overcominged poverty
by government has been done to pass various wisdom and program, as commitment of state taking part in declaration MDG's, but up to now poverty not yet can be removed
completely, although realized poor citizen total experiences depreciation from
year to year. This matter is caused because the complex itself poverty problem.
There many approach towards poverty cause
root, but only proposed several as a means of analysis either through partial
also holistik, that is: approach wisdom and government program, approach human
invesment, approach structure, and
approach culture.
Despitefully approach in poverty tackling
stills a lot not yet correct and nudge troubleshoot root, because approached
with partially. On that account poverty handling must with approach holistik
and integration.
Key words : Poverty, anatomy, multi
dimension, many aspects, cultural, natural, social system, many approach, wisdom and government program, approach,
approach human invesment, approach structure, approach culture, holistik,
integration, millennium development goal’s.
Pendahuluan
Banyak
studi tentang kemiskinan dan akar penyebab dari kemiskinan, yang kemudian me-lahirkan
berbagai definisi, konsep dan persepsi serta metode penanganan kemiskinan. Ada
yang melihat kemiskinan secara holistik atau komprehensif, ada pula yang
melihat secara parsial atau dikaji dari aspek tertentu saja. Hal ini disebabkan
karena kemiskinan itu sendiri memiliki dimensi yang sangat luas dan kom-pleks
sehingga tidak mungkin dalam waktu yang bersamaan semua dimensi dikaji secara
kom-prehensif. Kemiskinan itu sendiri memiliki sifat yang kompleks sehingga
sulit pula diatasi secara tuntas dalam waktu yang singkat secara instan, akan
tetapi membutuhkan waktu dan proses dalam penanganannya dengan metode tertentu yang
tepat. Dimensi kemiskinan meli-puti, demensi sosial, budaya, politik, ekonomi, hukum, serta akses.
Masalah kemiskinan bukan saja persoalan
satu negara, hampir semua negara termasuk negara-negara kaya atau super power
dalam perencanaan pembangunan masih memberikan perhatian yang besar terhadap
masalah kemis-kinan yang dialami rakatnya. Apalagi negara-negara dunia ketiga
yang memiliki jumlah penduduknya sebagian besar berada di bawah garis kemiskinan.
Negara-negara ini dikatego-rikan sebagai negara miskin. Dan negara-negara yang
miskin ini memiliki jumlah yang lebih banyak dari negara-negara yang makmur
atau telah mencapai tingkat kesejahteraan di atas standar minimum. Dan berdasarkan statis-tik, lebih dari separoh penduduk dunia
berada di bawah garis kemiskinan.
Berdasarkan itu maka pada tahun 2000 sejumlah negara termasuk Indonesia
bergabung dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa menandatangani Deklarasi Milenium
Perserikatan Bangsa-Bangsa atau dikenal dengan Millinium Development Goal’s (MDG’s).
Tujuan MDG’S adalah : mengentaskan kemiskinan, memperbaiki kualitas kesehatan
dan pendidikan, meningkatkan perdamaian
dan hak asasi manusia, kesetaraan gender dan kesinambungan lingkungan hidup.
MDG’s muncul dari deklarasi tersebut dan
meletakkan target terukur yang harus dicapai oleh masyarakat global di tahun
2015, dengan sasaran capaian meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara
global yang diukur dengan Human Development Index (HDI) atau Indeks Pembangunan
Manusia (IPM). Secara detil, tujuan dan target MGD’s adalah sebagai berikut:
1)
Tujuan ke-1, yaitu: menanggulangi kemiski-nan dan
kelaparan. Dengan target terukur 1: menurunkan proporsi penduduk yang ting-kat
pendapatannya di bawah USD 1/hari menjadi setengahnya antara tahun 1990 – 2015.
Target terukur 2, menurunkan pro-porsi penduduk yang menderita kelaparan
menjadi setengah antara tahun 1990 – 2015;
2)
Tujuan ke-2, yaitu : mencapai pendidikan dasar untuk
semua, dengan target terukur 3, menjamin bahwa sampai dengan tahun 2015, semua
anak, laki-laki dan perempuan, dapat menyelesaikan sekolah dasar (pri-mary
schooling);
3)
Tujuan ke-3, yaitu: mendorong kesetaraan gender dan
pemberdayaan perempuan, de-ngan target terukur 4, menghilangkan ketim-pangan gender di tingkat
pendidikan dasar dan lanjutan pada tahun 2005 dan di semua jenjang pen-didikan
tidak lebih dari tahun 2015;
4)
Tujuan ke-4, yaitu: menurunkan angka kema-tian anak,
dengan target terukur 5, menurun-kan angka kematian Balita sebesar duaper-tiganya,
antara tahun 1990 – 2015;
5)
Tujuan ke-5, yaitu meningkatkan kesehatan ibu, dengan
target terukur 6, menurunkan angka kematian ibu antara tahun 1990 – 2015
sebesar tigaperempatnya;
6)
Tujuan ke-6, yaitu: memerangi HIV/AIDS, penyakit malaria,
dan penyakit menular lain-nya, dengan target terukur 7, mengendalikan
penyebaran HIV/AIDS dan mulai menurunnya jumlah kasus baru pada tahun 2015, me-ngendalikan
penyakit malaria dan mulai menurunnya jumlah kasus malaria dan pe-nyakit
lainnya pada tahun 2015;
7)
Tujuan ke-7, yaitu: memastikan kelestarian lingkungan
hidup, dengan target terukur 9, memadukan prinsip-prinsip pembangunan
berkelanjutan dengan kebijakan dan program nasional serta mengembalikan sumber
daya yang hilang, target terukur 10, penurunan sebesar separuh, proporsi
penduduk tanpa akses terhadap sumber air minum yang aman dan berkelanjutan
serta fasilitas sanitasi dasar pada 2015, target terukur 11, mencapai perbaikan
yang dalam kehidupan penduduk miskin di pemukiman kumuh pada tahun 2010.
Indonesia termasuk dalam program MDG’s tersebut,
dimana pada bulan September 2000 di Indonesia bersama 188 negara terlibat
mendek-larasikan Program MDG’s itu. Pendeklarasian tersebut menunjukkan komitmen
negara Indo-nesia dalam mewujudkan kesejahteraan masya-rakat secara global.
Salah satu target utama dan pertama dari
program MDG’s adalah menanggulangi kemis-kinan dan kelaparan, dengan dua target
terukur, yakni : (1) menurunkan proporsi
penduduk yang tingkat pendapatannya di bawah USD 1/hari menjadi setengahnya
antara tahun 1990–2015; (2) menurunkan proporsi penduduk yang menderita kela-paran
menjadi setengah antara tahun 1990–2015.
Dengan dua indikator target terukur ter-sebut
memberikan isyarat imperatif untuk Indo-nesia sebagai bagian dari negara yang
mendek-larasikan program MDG’s ini mesti berupaya mewujudkannya melalui
berbagai kebijakan dan program pembangunan. Sudah banyak kebijak-an dan program
pembangunan dilakukan peme-rintah untuk menanggulangi kemiskinan, baik di masa
Orde Baru maupun Orde Reformasi ini, dan patut diakui keberhasilan yang telah
dica-pai untuk mengurangi penduduk miskin, misal-nya program
IMNES, IDT, KUBE, Program Pe-ngembangan Kecamatan (PPK), Program Pena-nggulangan
Kemiskinan Perkotaan (P2KP), Pro-gram masyarakat Mandiri, dll.
Namun patut diakui pula bahwa banyak pula kegagalan, karena Indonesia
masih dikate-gorikan dalam kelompok negara miskin ter-bawah bersama beberapa
negara lain, yaitu Bangladesh, Laos, Mongolia, Miyamar, Pakis-tan, Papua
Nugini, dan Filipina. Sampai tahun 2006, angka kemiskinan di Indonesia masih
sebesar 17,75 % atau 39,05 juta jiwa dari total jumlah penduduk Indonesia. Dari
segi penca-paian IPM misalnya, nilai IPM Indonesia pada tahun 2005 masih masuk dalam
urutan ke-lompok terbawah, yakni
rangking 108 dari 177 negara. Untuk Provinsi di Indonesia, Maluku berada pada nilai
sekitar 68 %, masih termasuk kategori rendah bersama beberapa provinsi lain.
Disamping keberhasilannya, kegagalan pe-merintah
menanggulangi kemiskinan tentu dise-babkan karena berbagai faktor. Karena kemis-kinan
memiliki banyak dimensi, maka penanga-nan atau penanggulangan kemiskian tidak
hanya didekati dari satu aspek dan secara parsial, namun mesti dilihat dan
didekati secara terintegrasi dan holistik.
Definisi
Kemiskinan
Bappenas,mendefinisikan kemiskinan seba-gai
suatu kondisi atau situasi yang dialami seseorang atau sekelompok orang yang
tidak mampu menjalani hidupnya sampai pada suatu taraf yang dianggap tidak layak atau manusi-awi.
Bebepara ahli mendefinisikan kemiskinan dari sudut pandang atau
perspektif yang ber-beda.Sayogyo, misalnya, mendefinisikan kemis-kinan sebagai ciri dan akibat ketidaksamaan dalam masyarakat yang
menjadikan sebagian golongan tak mampu mencapai tingkat hidup layak, sesuai
harapan dan cita-cita yang hidup dalam masyarakat, berdasar upaya swadaya
golongan itu.
BPS, mendefinikan kemiskinan adalah kon-disi di mana seseorang hanya
dapat memenuhi kebutuhan makannya kurang
dari 2.100 kalori per kapita per hari.
BKKBN, mendefinisikan kemiskinan, adalah
keluarga miskin pra-sejahtera yang tidak dapat melaksanakan ibadah menurut
agamanya, tidak mampu makan 2 kali sehari, tidak memiliki pakaian berbeda untuk
di rumah, bekerja, dan bepergian, bagian terluas rumah berlantai tanah, tidak
mampu membawa anggota keluarga ke sarana kesehatan.
Menurut Bank Dunia, kemiskinan adalah
tidak tercapainya kehidupan yang layak dengan penghasilan US $ 1 per hari.
Kemiskinan dikategorikan ke dalam dua
aspek, yakni kemiskinan relatif dan kemiskinan absolut. Kemiskinan relatif
adalah kemiskinan yang dilihat berdasarkan perbandingan antara suatu tingkat
pendapatan dengan tingkat pendapatan lainnya. Seseorang yang tergolong kaya
dalam suatu mas-yarakat tertentu, bisa jadi merupakan orang miskin dalam masyarakat
lain. Sedangkan kemiskinan absolut adalah suatu keadaan kemiskinan yang
ditentukan dengan terlebih dahulu menetapkan garis tingkat pen-dapatan minimum.
Orang-orang yang berpen-dapatan di atas tingkat pendapatan minimum tersebut
dikategorikan sebagai bukan orang miskin. Sedangkan orang-orang yang penda-patannya
kurang dari itu disebut sebagai orang miskin.
Menurut Amartya Sen, kemiskinan bukan-lah
sekedar masalah lebih miskin dari orang lain dalam suatu masyarakat, melainkan
masalah tidak memilikinya kemampuan untuk memenuhi kebutuhan material secara
layak – kegagalan untuk mencapai tingkat kelayakan minimum tertentu. (Revrisond
Baswir, 1997 : 18-19).
Dimensi
Kemiskinan
Kemiskinan
tidak hanya memiliki satu dimensi, tetapi memiliki banyak dimensi. Atau dengan
kata lain kemiskinan memiliki dimensi ganda atau multi dimensi, antar dimensi,
dan kontekstual. Kemiskinan mencakup dimensi sosial budaya, ekonomi, politik,
dan akses.
Dimensi
sosial budaya, ditandai dengan tidak terintegrasinya masyarakat miskin ke dalam
institusi sosial formal dan terinternali-sasikannya budaya miskin. Sebagai
akibatnya, terjadi segregasi sosial yang menimbulkan ber-bagai kerawanan
sosial, masyarakat miskin ter-paksa harus menciptakan mekanisme jaminan sosialnya
sendiri untuk bertahan hidup, lahirnya budaya miskin yang merusak kualitas
manusia dan tata nilai serta norma dalam
masyarakat, munculnya gejala psikologis, seperti rendah diri, merasa tidak
berdaya, pasrah pada nasib, ber-pandangan takdir atau fatalisme.
Dimensi
ekonomi, yakni rendahnya peng-hasilan sehingga tidak cukup untuk memenuhi
kebutuhan hidup keluarga. Akibatnya, buruknya kesehatan dan gizi anak-anak,
pendidikan yang rendah, rumah yang tidak layak huni, sandang yang tidak cukup,
serta berbagai kebutuhan hidup primer lain yang tidak dapat dipenuhi.
Dimensi
politik, yaitu tidak dimilikinya akses dan sarana yang memungkinkan orang
miskin terlibat dalam proses pengambilan keputusan yang strategis menyangkut
nasib mereka. Akibatnya,tersumbat segala aspirasi dan usaha- usaha orang miskin
untuk mendapatkan per-hatian dan keadilan dalam kebijakan-kebijakan pembangunan.Kebijakan-kebijakan pembangun-an
tidak pro rakyat miskin (non pro-poor). Orang miskin selalu termarjinalisasi
dan terpinggirkan dalam institusi-instiusi resmi maupun institusi-institusi
politik dan demokrasi, dan sering tidak diakui upaya-upaya mereka serta
sering diang-gap sebagai warga negara
kelas dua dan tidak bertanggung jawab.Singkatnya, hak-hak mereka
sebagai warga negara sering diabaikan.
Dimensi akses, yaitu rendahnya kepemilik-an
orang miskin terhadap berbagai hal yang
mampu menjadi modal hidup mereka. Indikator ketidakpemilikan akses ini adalah,
tidak dimili-kinya aset sosial atau pelayanan publik, seperti kesehatan,
pendidikan, jaminan sosial hari tua, penerangan, air bersih, dll; aset fisik, misalnya
tidak memiliki rumah yang layak, harta benda, serta sarana produksi, sumberdaya
alam, yaitu tanah atau lahan garapan; sumber daya manu-sia, rendahnya kualitas
SDM, karena pendidikan yang rendah, tidak memiliki pengetahuan dan
keterampilan, dan finansial, yaitu tidak memikili jaminan perkreditan atau
modal usaha, maupun tabungan.
Rujukan
Teori
Akar Penyebab Kemiskinan dan Beberapa Pan-dangan Tentang
Kemiskinan
Kemiskinan
dilihat oleh para ahli terutama ahli ilmu sosial diakibatkan oleh berbagai
sebab. Ada yang melihat kemiskinan berkaitan erat dengan budaya dari suatu
masyarakat. Kemis-kinan menurut pandangan ini melihat kemis-kinan disebabkan karena
masyarakat hidup malas, kurang ada motivasi untuk bekerja keras merubah hidup
mereka. Etos kerja pada masyarakat sangat rendah, walaupun sumber daya alam
tersedia. Motivasi dan etos kerja yang rendah ini terkait erat juga dengan
pandangan hidup atau world view masyarakat, yang menganggap kerja untuk hidup
masa depan yang lebih baik tidak terlalu
penting. Pandangan ini membuat masyarakat tidak mau bekerja keras dan menata
hidup mereka dengan baik. Sikap hemat dan menabung bagi mereka tidak ada guna,
membuat mereka hidup boros dan konsumtif. Pada akhirnya masyarakat ini tetap
hidup dalam keadaan miskin, tidak berubah dan lamban terhadap kema-juan.
Ahli
lain melihat kemiskinan suatu masya-rakat disebabkan karena ketidakadilan. Ketidak-adilan
disebabkan karena struktur yang mencip-takan ketidakseimbangan dalam kepemilikan
faktor-faktor produksi. Misalnya kepemilikan tanah yang tidak merata, dimana sekelompok
orang menguasai sebagian besar tanah, seda-ngkan sebagian besar orang tidak
menguasai tanah, dan yang tidak menguasai tanah ini mereka menjadi buruh tani.
Yang menguasai tanah ini sudah tentu mereka memiliki kemu-dahan akses untuk
mendapatkan modal dari lembaga modal resmi serta berbagai kemudah-an lain.
Sementara yang tidak memiliki tanah mereka tetap bekerja sebagai buruh tani
atau penggarap yang diberi upah oleh pemilik tanah atau tuan tanah. Struktur
kepemilikan ini men-ciptakan
ketidakseimbangan dalam mayara-kat yang membuat masyarakat yang tidak memiliki
tanah dan modal tidak berdaya dan terus ber-gantung hidup mereka kepada tuan
tanah atau pemilik modal. Ketergantungan para buruh tani atau penggarap ini
yang kemudian mengakibat-kan terciptanya struktur kemiskinan yang me-lembaga
dalam masyarakat.
Hal yang sama terjadi pula dalam masya-rakat
industri dimana para pemilik kapital besar menguasai sebagian besar
perusahaan-perusa-haan produksi yang penting. Mereka menguasai sektor ekonomi
pasar atau ekonomi moderen, yang akhirnya membuat sektor ekonomi tradi-sional
tidak dapat berkembang karena tidak mampu bersaing dengan sektor ekonomi mo-deren.
Berkembangnya sektor ekonomi mode-ren
didukung pula oleh kebijakan politik peme-rintah karena dianggap sektor ini
menunjang pertumbuhan ekonomi negara. Oleh sebab itu sektor ini pun lebih
banyak mendapat kemu-dahan dari pemerintah. Sebaliknya lambannya perkembangan
sektor ekonomi tradisional dise-babkan karena kurang mendapat dukungan politik
pemerintah sehingga mereka kurang mendapat kemudahan fasilitas untuk mengem-bangkan
usahanya. Mereka seringkali diabaikan dalam kebijakan-kebijakan pembangunan.Pada-hal
sektor ekonomi tradisional ini digeluti oleh sebagian besar masyarakat baik di
perdesaan maupun perkotaan. Kondisi ini pada akhirnya menciptakan ketidakseimbangan
struktur eko-nomi antara sektor ekonomi moderen dan sektor ekonomi tradisional.
Ketidakseimbangan struktur ini pada gilirannya melahirkan ketidakberdaya-an kelompok
lemah dan mengakibatkan kemis-kinan yang luas dalam masyarakat.
Dalam kaitan itu kemiskinan dibedakan ke-dalam
tiga aspek, yakni kemiskinan natural, kul-tural, dan struktural. Kemiskinan
natural adalah kemiskinan yang disebabkan karena faktor-faktor alamiah seperti,
karena cacat, sakit, lanjut usia, atau karena bencana alam. Kemiskinan kultural
adalah kemiskinan yang disebabkan oleh faktor budaya seperti, malas, tidak
disiplin, boros, dan sebagainya. Sedangkan kemiskinan struktural adalah
kemiskinan yang disebabkan oleh faktor-faktor
manusia seperti distribusi aset produktif yang tidak mereta, kebijakan
ekonomi yang tidak adil, korupsi dan kolusi, serta tatanan perekonomian dunia
yang cenderung meng-untungkan kelompok masyarakat tertentu. (Revrisond Barwir,
1997 : 20-21).
Sejalan dengan pandangan di atas, pan-dangan
konservatif, melihat kemiskinan dise-babkan karena orang miskin sendiri.
Menurut pandangan ini orang miskin dinilainya bodah, malas, tidak punya
motivasi berprestasi yang tinggi, serta tidak memiliki keterampilan. Semua itu
berkaitan dengan mentalitas dari orang miskin sendiri, atau dengan kata lain kultur
orang miskin itu sendiri dianggap faktor utama penyebab kemiskinan mereka. Oleh
karena itu orang miskin karena kulturnya itu membuat mereka tidak dapat menyesuikan
diri atau beradaptasi dengan proses-proses sosial yang ada.
Sedangkan menurut pandangan liberal, kemiskinan
terjadi karena struktur sosial kurang memberikan kesempatan kepada orang miskin
untuk berusaha. Mereka melihat ketidakadilan dan diskriminasi membuat orang
miskin tidak dapat mengembangkan potensi yang mereka miliki. Struktur sosial
yang tidak adil ini menutup pelayanan dan fasilitas publik bagi orang miskin,
membuat mereka tidak berdaya karena tidak punya kesempatan untuk berusaha. Pada
akhir-nya mereka tetap hidup dalam ketidakberdaya-an dan kemiskinan mereka.
Menurut Marx, timbulnya kemiskinan dise-babkan
oleh adanya perbedaan kekuasaan, po-sisi dan legitimasi dalam sistem sosial.
Keter-belakangan suatu masyarakat tidak terlepas dari masyarakat jajahan yang
mengeksploitasinya (Tjahya Supriatna, 2000 : 180).
Berbeda dengan pandangan makro yang
dikemukakan di atas, Robert Chambers meng-identifikasi kemiskinan disebabkan
karena lima faktor utama yang saling terkait secara mikro, yang dinamakannya
sebagai ”ketidakberuntu-ngan” atau ”disadvantages”, yakni (1) Kemis-kinan,
kemiskinan ini ditandai dengan rumah yang reot dan dibuat dari bahan bangunan
yang bermutu rendah, perlengkapan yang sangat minim, dan tidak memiliki MCK
sendiri, ekonomi keluarga ditandai dengan ekonomi gali lubang tutup lubang.
Pendapatan mereka tidak mementu dalam jumlah
yang sangat tidak memadai; (2) Kelemahan fisik, fisik yang lemah dapat
menyebabkan orang miskin memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi antara ang-gota
keluarga tersebut dengan anggota keluarga dewasa yang sehat dalam mencari nafkah.
Fisik yang lemah ini disebabkan karena kurang gizi, sehingga mereka tidak mampu
mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga; (3) Keterasingan, keterasingan
keluarga miskin karena tempat tinggal mereka yang terisolasi secara geografis,
yang menyebabkan mereka tidak memiliki akses terhadap sumber-sumber informasi membuat
mereka tidak mampu men-gadaptasikan diri dengan berbagai perkem-bangan serta
minimnya pengetahuan dan keterampilan; (4) Kerentanan, keluarga miskin biasanya tidak memiliki
cadangan baik berupa uang atau makanan untuk mengahdapi keadaan darurat.
Apabila terjadi keadaan darurat seperti ada keluarga yang tiba-tiba sakit mereka
tidak mampu membiayai sehingga biasanya mereka menjual barang milik mereka yang
ada, atau mereka berhutang kepada tetangga untuk membiayai perawatan. Keluarga
miskin ini bia-sanya mereka makan satu hari hanya satu kali dengan kadar gizi
yang sangat tidak memadai, membuat mereka sangat rentan terhadap penyakit
menular, atau mudah terserang wabah penyakit; (5) Ketidakberdayaan, karena
ketidak-berdayaan orang miskin seringkali
tidak berda-ya menghadapi rentenir atau berbagai bentuk eksploitasi, yang
memuat mereka tetap terkung-kung dalam lilitan kemiskinan. Karena ketidak-berdayaan
itu pula seringkali orang miskin ditipu
serta diperlakukan tidak adil dalam urusan-urusan administrasi pemerintahan
atau urusan-urusan perkara, mereka tidak kuasa me-nghadapi aparat pemerintah yang
sering mena-kutnakuti. (Loekman Soestrisno, 1997 : 16-21).
Emil Salim (Tjahya Supriatna, 2000 : 124-125),
mengemukakan lima karakteristik kemis-kinan, sebagai beriku :
a)
Penduduk miskin pada umumnya tidak memiliki faktor
produksi sendiri;
b)
Tidak mempunyai kemungkinan untuk memperoleh aset
produksi dengan kekuat-an sendiri;
c)
Tingkat pendidikan pada umumnya rendah;
d)
Banyak di antara mereka tidak mempunyai fasilitas;
e)
Di antara mereka berusaha relatif muda dan tidak
mempunyai keterampilan atau pendidiakan yang memadai.
Kecuali
yang dikemukakan Emil Salim di atas, garis kemiskinan ditetapkan juga berdasarkan
tingkat pendapatan per bulan perkapita per tahun atau per kapita per bulan.
Bank Dunia menetapkan tingkat pendapatan per kapita per tahun serendah US $ 75 untuk daerah perkotaan
dan $ 50 untuk daerah pedesaan sebagai garis kemiskinan. Sedangkan Biro Pusat
Statistik (BPS) menggunakan kriteria tingkat penge-luaran per kapita per bulan
untuk meme-nuhi kebutuhan minimum makanan dan bukan makanan sebagai garis
kemiskinan. Kebutuhan minimum makanan digunakan patokan 2.100 kalori per orang
per hari, sedangkan pengeluaran bukan
makanan terdiri dari kebutuhan minimum untuk peru-mahan, bahan bakan, sandang,
pendidikan, kesehatan dan transpor, dan garis kemis-kinan berdasarkan
pengeluaran ini berbeda pada setiap daerah atau provinsi.
Selain itu, Sajogyo menggunakan
kriteria tingkat pengeluaran sebagai proksi terhadap
pendapatan setara beras sebagai dasar penetapan garis kemiskinan, yakni untuk
kategori miskin pada daerah perko-taan 480 Kg, daerah pedesaan 320 Kg, miskin
sekali daerah perkotaan 360 Kg, daerah pedesaan 240 Kg, sedangkan penduduk
paling miskin 270 Kg untuk daerah perkotaan dan 180 Kg untuk daerah pedesaan.
Dalam kaitan ini Sajogyo me-nyebut kemiskinan sebagai ciri dan akibat
ketidaksamaan dalam masyarakat yang menjadikan sebagian golongan tak mampu
mencapai tingkat hidup layak, sesuai harapan dan cita-cita yang hidup dalam
masyarakat, berdasar upaya swadaya golo-ngan itu.(Metodologi Indentifikasi
Golongan dan Daerah Miskin: Suatu Tinjauan dan Alternatif, 1995).
Strategi Penanggulangan Kemiskinan Dengan Berbagai Pendekatan
Salah
satu tujuan mendasar negara adalah mengupayakan kesejahteraan bagi masyarakat.
Amanat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yakni ”...melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa...”
Amanat Konstitusional tersebut merupakan
hakekat dari pembangunan bangsa, dan oleh sebab itu maka tidak ada alasan untuk
kemis-kinan tidak diberantas. Sebagai konsekuensinya maka pemerintah
berkomitmen pada tahun 2000 bersama sejumlah
negara bergabung dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa menanda-tangani Deklarasi
Milenium Persatuan Bangsa- Bangsa atau dikenal dengan Millenium Deve-lopmens
Goal’s (MDG’s) sebagaimana telah dikemukakan di atas. Salah satu tujuan MDG’S adalah mengentaskan kemiskinan. Berdasar-kan itu maka pemerintah menyusun
berbagai strategi untuk menanggulangi kemiskinan.
Di bawah ini akan dikemukakan beberapa strategi
penanggulangan kemiskinan melalui kebijakan pemerintah, serta berbagai
alternatif pendekatan penanggulangan kemiskinan secara akademis.
Strategi dan Model Pendekatan
Suatu
pendekatan akan efektif apabila dipa-hami secara tepat latar belakang masalah
yang menjadi akar penyebab dari kemiskinan. Telah dikemukakan bahwa kemiskinan
memiliki ba-nyak dimensi atau multi dimensi.
Atau dengan kata lain dengan menggunakan istilah medis, suatu treatment
hanya akan dapat menolong menyembuhkan suatu penyakit jika diagnosis-nya tepat
sesuai penyakit yang diderita sese-orang. Kemiskinan sebagai penyakit sosial sangat
kompleks, oleh sebab itu model pende-katan dalam menanggulangi kemiskinan tidak
tunggal, atau hanya dilihat dan didekati dari satu aspek atau model saja.
a. Model Program Pembangunan
Penanggulangan kemiskinan sebenarnya
telah dilakukan pemerintah sejak masa Orde Lama. Tahun 1960-an telah
dilaksanakan pro-gram penanggulangan kemiskinan melalui strategi pemenuhan
kebutuhan pokok. Pada masa Orde Baru, yakni pada 1970-an peme-rintah menggulirkan kembali
program penang-gulangan kemiskinan yang ditempuh secara reguler melalui program
sektoral dan regional. Pada tahun 1980-an, program penanggulangan kemiskinan
dengan strategi khusus menun-taskan masalah kesenjangan sosial ekonomi
masyarakat, baik di kota maupun di pedesaan. Tahun 1990-an, dilakukan
peningkatan program penanggulangan kemiskinan melalui program-program seperti,
Proyek Peningkatan Penda-patan Petani dan Nalayan Kecil (P4K), Kelom-pok Usaha Bersama (KUBE), Inpres Desa
Tertinggal (IDT). Ketika krisis ekonomi dan moneter di tahun 1997 sampai 1999
pemerintah membuat program Jaring Pengaman Sosial (JPS) sebagai program
emergensi dalam rangka mengamankan (katup pengaman) masyarakat miskin dari
kerawanan sosial yang lebih parah. Dengan dilaksanakannya program-program
tersebut, diakui bahwa angka kemiskinan dapat diturunkan, namun tidak
menuntaskan akar ke-miskinan secara mendasar. Hal ini disebabkan karena
kebanyakan orientasi program-program tersebut cenderung bersifat politis, di
samping tumpang tindih, serta karikatif. Kecuali itu juga, mekanisme
perencanaan sampai kepada pelak-sanaan dan evaluasi masih bersifat top down
approach atau sentralize policy. Pendekatan ini menjadikan masyarakat terutama masyarakat
kecil dan miskin hanya sebagai obyek, mereka tidak dilibatkan secara aktif.
Sebagai akibatnya kebanyakan dalam pelaksanaannya tidak men-capai sasaran, serta
masyarakat tidak diber-dayakan, dan masyarakat dibentuk dalam pola
ketergantungan. Pada gilirannya masyarakat lebih banyak pasif, kurang
berinisiatif, dan me-miliki motivasi yang rendah, serta lambannya inovasi.
Setelah reformasi tahun 1998 yang meru-bah
tatanan pemerintahan dan politik dari cen-tralize policy atau sentralisasi
kebijakan pem-bangunan kepada decentralize policy. Para-digma pembangunan
mengalami perubahan pendekatan dari top down approach kepada bottom up
approach, masyarakat dijadikan subyek serta inti dalam proses pembangunan mulai
dari perencanaan sampai kepada eva-luasi.
Berkaitan dengan itu, tahun 2000-an
hingga kini pemerintah mencanangkan rogram-program pembangunan yang lebih
bersifat partisipatif (melibatkan stakeholders) seperti, Program Pe-ngembangan
Kecamatan (PPK),Program Pena-nggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP), Program masyarakat Mandiri, dll, dan beberapa
program lanjutan serta pengembangan dan reorientasi dari program-program tahun
1990-an dengan menempatkan semua program tersebut di bawah program payung,
yakni Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM). Di samping berbagai
program penanggulangan kemiskinan yang dilakukan pemerintah tersebut, juga
dilakukan oleh BUMN-BUMN, Swasta, dan LSM, melalui pemberian modal usaha,
maupun berbagai program pemberdayaan dan penguat-an kapasitas masyarakat.
b. Model Human Investment (Investasi SDM)
Telah dikemukakan bahwa kemiskinan dise-babkan
karena berbagai faktor, ada yang pe-ngaruhnya dominan atau utama ada yang hanya
sebagai faktor penunjang atau sekunder.
Jika kemiskinan lebih disebabkan karena faktor manusia sebagai individu
atau faktor fungsional, maka strategi
pendekatan yang digunakan adalah
mengubah aspek manusia sebagai individu atau warga masyarakat, dalam hal ini
manusia yang menjadi sasaran untuk diber-dayakan melalui peningkatan kapasitas
agar mereka mampu melakukan peningkatan pro-duksi melalui pengelolaan sumber
daya (sosial, ekonomi, politik) yang ada (Soetomo, 2008: 327).
Peningkatan kapasitas ini berkaitan
dengan peningkatan kualitas manusia melalui pendi-dikan dalam arti luas, baik
pendidikan formal maupun non formal. Pendidikan formal lebih ditujukan kepada anak-anak usia sekolah
dari keluarga miskin melalui bantuan fasilitas pen-didikan dan diberikan
kemudahan-kemudahan agar anak-anak keluarga miskin ini dapat ber-sekolah dengan
baik dan menamatkan pendi-dikan mereka pada jenjang tertentu, minimal dapat menyelesaikan studi mereka pada jenjang
SMA/SMU/SMK atau sederajat. Pendidikan non-formal ditujukan kepada individu
maupun kelom-pok orang miskin melalui kursus-kursus dan keterampilan (life
skill) agar mereka berdaya dan mampu bekerja secara mandiri untuk memenuhi
kebutuhan serta kelangsungan hidup mereka.
c. Model Pendekatan Struktur
Jika kemiskinan dipandang disebabkan karena struktur, maka struktur yang
menjadi sasaran perubahan. Perubahan struktur dimak-sudkan agar memungkinkan
masyarakat miskin mendapat peluang dan kesempatan memper-oleh akses untuk
berusaha meningkatkan taraf hidup mereka. Struktur yang dimaksud baik sosial,
ekonomi maupun politik. Perubahan struktur sosial dimaksudkan agar masyarakat
miskin dapat berinteraksi dengan sesama serta memperoleh kepercayaan diri dalam
mem-bangun kerjasama (networking) serta memak-simalkan sistem sumber yang ada sebagai modal sosial. Perubahan struktur
ekonomi di-maksudkan agar masyarakat miskin memper-oleh akses sumberdaya
ekonomi untuk mening-katkan produktivitas mereka. Perubahan struktur juga
dimaksudkan untuk merubah kelembagaan ekonomi yang menjadi menghalang agar ada
keseimbangan dalam produksi dan distribusi, serta menguasaan aset-aset ekonomi yang
lebih adil.
Dalam kaitan dengan perubahan struktur
ini, Long, seperti dikutip Soetomo (Soetomo, ibid : 328), menawarkan dua
pendekatan utama, yakni improvement approach dan transformation approach, yang
lebih diarahkan kepada mas-yarakat desa yang merupakan bagian terbesar dari
masyarakat miskin. Menurut Long, impro-vement approach adalah perubahan
struktur yang lebih efektif dan moderat, adalah mem-perbaiki cara pertanian
yang lebih baik melalui keterampilan teknis yang memadai agar para petani dan
nelayan miskin mampu peningkatan produksi mereka tanpa mengganggu dan me-rusak
sistem sosial tradisonal yang sudah ada. Dengan cara ini masyarakat miskin desa memi-liki
kapasitas dan ketahanan baik secara sosial-ekonomi maupun psikologis untuk
memperta-hankan eksistensi mereka, meningkatkan kese-jahteraan, serta menaikkan
status sosial dan martabat mereka. Sedangkan transformation approach,
dimaksudkan perubahan yang funda-mental dalam sistem pemilikan faktor-faktor
produksi atau resurces terutama tanah yang dikuasai oleh tuan tanah dan kaum
borjuis desa, termasuk kelembagaan yang mendukungnya.
d. Model Pendekatan Kultural
Kemiskinan yang disebabkan karena faktor
budaya atau yang sering disebut kemiskinan kultural, adalah kemiskinan yang
bersumber dari latar belakang budaya masyarakat yang bersa-ngkutan. Latar
belakang tersebut dapat berupa pandangan hudup (world view), sikap, serta
nilai-nilai yang dianut. Seperti misalnya, yang berkaitan dengan pandangan
hidup, masyarakat yang bersangkutan menganggap bahwa hidup ini tidak perlu
mengejar kekayaan yang ber-lebihan karena pada akhirnya lenyap juga, oleh
karena itu tidak perlu bersusah payah bekerja keras untuk memperoleh kekayaan
untuk kese-jeteraan hidup. Pandangan seperti ini membuat masyarakat
bersangkutan berusaha secukupnya demi menyambung kebutuhan hidup mereka setiap
hari.
Pandangan lain menganggap kemiskinan atau
hidup miskin itu sudah takdir, oleh sebab itu tidak perlu bersusah payah karena
sudah nasib. Sehingga kalau pun berusaha dengan sekuat tenaga, hidup akan tetap
saja miskin. Pandangan seperti ini membuat orang atau masyarakat yang
bersangkutan selalu pasrah terhadap keadaan. Pandang ini lebih dikenal dengan
sikap fatalisitik, yang membuat masya-rakat bersangkutan apatis, tidak memiliki
sema-ngat kerja, tidak memiliki pengharapan ke depan, tidak ada kemauan untuk
merubah dera-jad kehidupan mereka.
Ada juga pandangan dalam masyarakat ter-tentu
bahwa hidup miskin atau kemiskinan itu sesuatu yang baik, sebagai nilai
kebajikan. Pan-dangan ini cenderung menekankan kesucian, kesederhaan atau
kebersahajaan, sebagai ben-tuk kesalehan hidup yang harus dipertahankan sebagai
sesuatu yang utama dan penting. Hidup kaya dan berkecukupan atau sejahtera
diang-gap sebagai ketidaksucian, ketidaksalehan, dan ketidak-bajikan. Pandangan
ini yang membuat orang atau masyarakat yang bersangkutan tidak mau merubah
status kehidupan mereka yang tetap miskin, malah dengan dipertahankan sta-tus
itu membuat mereka semakin bangga dan mengaggap
hidup mereka semakin mulia. Pan-dangan
tersebut telah terbentuk sebagai suatu sistem nilai yang melembaga sehingga
sulit untuk merubahnya. Jika sistem budaya demi-kian yang membuat masyarakat
yang bersa-ngkutan tetap miskin, maka yang harus dirubah lebih awal adalah
pandangan mereka yang telah tertanam sebagai sistem nilai. Untuk merubah
pandangan itu maka salah satu sarana yang paling efektif adalah pendidikan
sebagai strategi kebuda-yaan.
Memang untuk merubah pandangan yang telah
tertanam sebagai sistem membutuhkan waktu, namun melalui pendidikan yang teren-cana
dengan baik maka nilai-nilai yang meru-pakan penghambat dalam pandangan
tersebut yang membuat orang atau masyarakat tidak dapat keluar dari kemiskinan
mereka, akan dirubah dengan pandangan tentang nilai-nilai kemajuan dan prestasi
yang perlu diusahakan melalui kerja dan perencanaan hidup yang terarah.
Penutup
Beberapa pendekatan yang dikemukakan di
atas tidak berasumsi bahwa kemiskinan tidak hanya disebabkan karena satu aspek,
tetapi kemiskinan disebabkan juga karena berbagai aspek, serta memiliki banyak dimensi yang ber-kaitan dan saling
mempengaruhi. Oleh karena itu pendekatan dalam
menanggulangi kemis-kinan tidak hanya bisa dilakukan dari satu aspek
secara parsial tetapi mesti dilakukan secara holistik dan terintegrasi.
Walaupun begitu kemis-kinan memang dapat juga disebabkan karena salah satu
aspek yang dominan dari aspek lainnya, sehingga pendekatan pun dapat dilaku-kan
terfokus pada satu aspek saja, namun aspek lain pun tidak mesti diabaikan sama
sekali di dalam analisis secara anatomis mau-pun dalam upaya penanggulangannya.
Kemam-puan dan ketepatan menganatomi kemiskinan akan sangat membantu menentukan
pendeka-tan yang tepat dalam menanggulangi akar pe-nyebab kemiskinan.
Di samping itu komitmen yang kuat dari pe-nentu
kebijakan melalui keputusan-keputusan politik dan penganggaran (budgeting) yang
ber-pihak kepada orang miskin (budgeting pro-poor), serta regulasi yang adil baik
dalam bidang eko-nomi, politik, sosial, hukum, dan budaya, pene-gakan hukum
secara konsisten (low inforce-ment) terhadap korupsi dan kolusi, akan meng-eleminir kesenjangan dan
ketidakseimbangan struktur yang menyebabkan kemiskinan. Maka komitmen negara
untuk memberantas kemis-kinan melalui keikutsertaan dalam deklarasi Millenium
Development Goal’s akan terwujud, yang
juga adalah amanat Konstitusi (Undang-Undang Dasar 1945).
Referensi
Arief, Sritua dan Adi Sasono, Ketergantungan dan Keterbelakangan,
Sinar Harapan kerjasama dengan Lembaga Studi Pembangunan, (edisi ke-2), Jakarta, 1984.
Baswir,
Revrisond, Agenda Ekonomi Kerakyatan,
Pustaka Pelajar kerjasama dengan IDEA, Yogyakarta, 1997.
Combs, Philip H. &
Manzoor Ahmed, Memerangi
Kemiskinan di Pedesaan Melalui Pendidikan Formal, Publikasi Bank Dunia–CV
Rajawali, (cet.ke-2), Jakarta, 1985.
Fakih, Mansour, Runtuhnya
Teori Pembangunan dan Globalisasi, INSIST PRESS kerjasama dengan Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, 2002.
Mubyarto, Reformasi
Sistem Ekonomi: Dari Kapita-lisme menuju Ekonomi Kerakyatan, Aditya Media,
Yogyakarta, (edisi.ke-2),1999.
Rusli, Said dkk, Metodologi
Identifikasi Golongan dan Daerah Miskin, Suatu Tinjauan dan Alternatif, IPB
– Bogor kerjasama dengan PT Grasindo, Jakarta, 1995.
Remi, Soemitro & Prijino Tjiptoherijanto, Kemis-kinan dan Ketidakmerataan di Indonesia,
(edisi Indonesia – Inggris), Rineka Cipta, Jakarta, 2002.
Sumardi, Mulyanto & Hans-Dieter Evers (ed.), Kemiskinan
dan Kebutuhan Pokok, Raja-wali,
(cet.ke-2) Jakarta, 1985.
Soetrisno, Loekman, Kemiskinan,
Perempuan, dan Pemberdayaan, Kanisius, Yogyakarta, 1997.
_______________________, Membangun Pereko-nomian Rakyat, Pustaka Pelajar kerjasama dengan
IDEA, 1998.
Supriatna, Tjahya, Strategi
Pembangunan dan Kemiskinan, Rineka Cipta, Jakarta, 2000.
Saefuddin, Asep, dkk (Tim Crescent), Menuju Mas-yarakat Mandiri, Pengembangan Model Sistem Keterjaminan
Sosial, Gramedia Pus-taka utama,
Jakarta, 2003.
Sumawinata, Sarbini, Politik
Ekonomi Kerakyatan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2004.
Soetomo, Masalah
Sosial dan Upaya Pemecahan-nya, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2008.
Sumodiningrat, Gunawan, Mewujudkan Kesejah-teraan Bangsa, PT Alex
Media Komputindo, Jakarta, 2009.
Yustika, Ahmad Ereni,
Negara vs Kaum Miskin, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003.
TEOLOGI KESEJAHTERAAN SOSIAL
TEOLOGI KESEJAHTERAAN
SOSIAL
(Gagasan awal
membangun teologi fungsional)
Oleh :
Max Maswekan
Dosen FISIP UKIM - Ambon
Pengantar
Berteologi adalah upaya memahami teks
Firman Allah dan mengimplementasikannya ke dalam konteks kehidupan nyata. Kehidupan
nyata adalah realitas sosial yang di dalamnya manusia hidup, saling
berinteraksi dan bergumul dengan kehidupannya. Masalah kelaparan, pengangguran, gelandangan, pengungsian, dan
ketidakberdayaan menyebabkan kemiskinan,
adalah realitas kehidupan nyata orang-orang yang tidak berdaya karena
tidak memiliki akses baik sosial, budaya, ekonomi, politik, dan hukum serta
struktur sosial dan kekuasaan yang membelunggu. Mereka itu tidak menikmati
kesejahteraan secara layak, dan martabat mereka sering diinjak-injak. Karena
itu berteologi harus memberi perhatian dan
mengutamakan mereka yang menderita tersebut serta berupaya mengangkat
mereka dari penderitaannya. Itu adalah teologi yang hidup, berakar, dan
fungsional.
Tulisan sederhana ini mencoba menggagas
pencarian wajah baru dalam berteologi dengan memberi fokus kepada kesejahteraan
sosial sebagai lokus berteologi. Kemiskinan yang membuat orang menderita adalah
masalah utama kesejahteraan sosial. Kemiskinan dalam perspektif iman Kristen
adalah dosa, dan dosa dibenci oleh Allah, oleh karena itu harus dilawan. Gereja
dan kekristenan memiliki tugas dan tanggung jawab untuk berjuang melawan dosa kemiskinan tersebut, dengan
mengupayakan tindakan-tindakan penyelamatan melalui aksi – refleksi – aksi
sebagai praksis kesejahteraan sosial. Karena untuk itulah gereja diutus di tengah-tengah dunia ini. Itu adalah
gereja yang autentik, yakni gereja yang selalu berpihak dan berjuang melawan
penderitaan akibat kemiskinan serta struktur yang menyebabkan kemiskinan dan
penderitaan manusia.
Gereja harus berjuang
sungguh-sungguh membebaskan kaum miskin dari penderitaan mereka. Gereja diutus di
tengah-tengah dunia tidak sekedar memberitakan Firman melalui kegiatan-kegiatan
formal ritual, tetapi gereja juga harus turut bertindak mengupayakan pem-berdayaan bagi orang miskin melalui pendekatan-pendekatan
usaha-usaha kesejahteraan sosial (metodologi pekerjaan sosial), agar mereka
mampu melakukan fungsi-fungsi sosialnya secara normal dan mendayagunakan
potensi yang dimiliki (modal sosial) serta memanfaatkan secara efektif dan
efisien demi meningkatkan kehidupan mereka menjadi layak dan sejahtera serta bermartabat.
Kemiskinan mengakibatkan penderitaan
sebagai realitas sosial adalah lahan berteologi. Firman Allah dengan puncak
karya penyelamatan Yesus Kristus menjadi sumber inspirasi dan landasan pijak
bagi bangunan teologi kesejahteraan sosial.
Sejarah
Singkat Lahirnya Sistem Usaha Kesejahteraan Sosial
”Di
Inggris pada abad pertengahan, bantuan kepada fakir miskin merupakan bagian
kegiatan gerejani. Pemberian sedekah kepada fakir miskin, buta, cacat, adalah
kewajiban keagamaan dan memiliki makna pembebasan hukuman dosa sesudah
kematian. Undang-Undang Tentang Kemiskinan
(Poor Low) pertama kali muncul sebagai akibat adanya bencana nasional...
Selanjtnya, tahun 1531 Hendri VIII
mengeluarkan peraturan yang merupakan usaha pertama kali untuk memperbaiki cara
bantuan kepada fakir miskin. Orang-orang jompo (lansia) dan fakir miskin yang
tidak mampu bekerja ditempatkan di rumah penampungan. Pengemis-pengemis
didaftar dan diizinkan tinggal di suatu daerah tertentu. Peraturan tersebut
adalah awal dari pengakuan tanggungjawab masyarakat terhadap fakir miskin.
Kemudian disusul ”Statute of 1536” yang merupakan perencanaan pertama kali bantuan masyarakat di bawah pengawasan pemerintah. Selanjutnya dikeluarkan berbagai
Undang-Undang Tentang Kemiskinan pada tahun 1601...” (T. Sumarnonugroho, 1991 : 125-140).
Catatan di atas memberi
informasi bahwa perhatian terhadap masalah-masalah kesejahteraan sosial pada
tahun sebelum dan sampai 1531 dan sesudahnya mulai diupayakan pemerintah dan
masyarkat di Eropa (Inggris). Dapatlah dikatakan bahwa saat itu secara formal
benih-benih usaha kesejahteraan sosial mulai disemai, kemudian dalam perjalanan
sejarah ia tumbuh dan berkembang di Eropa dan menjalar ke luar Eropa, kemudian ke
berbagai negara termasuk di Indonesia pada abad ke-19. Di Indonesia,
usaha-usaha kesejahteraan sosial mulai mendapat perhatian pertamakali dari pihak
lembaga swasta dan diusahakan secara melembaga oleh seorang Pendeta dari
Inggris, yakni Rev. W.H. Medhurt. Ia mendirikan sebuah ”Panti Asuhan
Parappatan” di Jakarta tahun 1832. Kemudian diikuti oleh berbagai lembaga yang
memberi perhatian terhadap masalah-masalah kesejahteraan sosial baik lembaga keagamaan maupun non-keagamaan,
secara khusus perhatian diberikan kepada para jompo (lansia) dengan mendirikan
sebuah Rumah Orang Jompo Pniel pada tahun 1866. Namun pelayanannya masih
terbatas kepada para janda yang mempunyai pertalian darah atau hubungan
perkawinan antara orang Indonesia dengan orang Belanda. Beberapa tahun kemudian
lahir berbagai lembaga swasta di beberapa tempat, seperti di Salatiga 1902
didirikan sebuah Panti oleh organisasi Bala Keselamatan, yang bernama ”Witte
Kruis” untuk menampung orang-orang terlantar. Tahun 1908 didirikan pula sebuah Panti di Semarang (Ibid : 159-160).
Sesudah kemerdekaan, perhatian
dari pemerintah Indonesia terhadap usaha-usaha kesejahteraan sosial secara formal
dimulai pada tahun 1945, dengan
terbentuknya Kementerian Sosial pada tanggal 19 Agustus dua hari sesudah
kemerdekaan Indonesia. Pada tahun 1948 tanggal 20 Desember dijadikan Hari
Kebaktian Sosial sebagai respon terhadap kesadaran masyarakat dan pemerintah
Indonesia terhadap aksi militer Belanda kedua di Yogyakarta. Hari kebaktian
sosial ini merupakan wujud dari rasa solidaritas sosial masyarakat dan
pemerintah terhadap orang-orang terlantar, anak yatim piatu dan cacat sebagai
akibat dari perang kemerdekaan tersebut. Sesudah tahun 1950-an pemerintah
Indonesia memberi perhatian yang besar dalam bidang kesejahteraan sosial dengan
mengusahakan kegiatan-kegiatan sosial yang lebih luas jangkauannya, antara
lain, berupa bimbingan dan penyuluhan, transmigrasi, korban bencana alam, dan
sebagainya, dengan penyediaan dana baik dari pemerintah maupun swasta.
Penanganan bidang kesejahteraan
sosial ini kemudian ditangani secara terencana dan terintegrasi oleh berbagai kementerian dalam
kebinet pembangunan, yakni Kabinet Perburuhan dan Sosial tahun 1947. Pada tahun
1960-an usaha-usaha kesejahteraan sosial diperluas jangkauannya lagi pada
masyarakat suku-suku terasing dengan usaha pemukiman menetap dengan penyediaan
berbagai prasarana dan sarana sosial ekonomi disertai pola pembinaan dan
pelayanan secara terencana dan berkesinambungan. Penanganan kesejahteraan
sosial ini kemudian dituangkan dalam Pembangunan Nasional Semesta Berencana
dalam Ketetapan MPRS RI No. I dan II/MPRS/1960.
Pada tahun 1965 lahirlah
Undang-Undang No.4 Tentang Pemberian Bantuan Penghidupan Orang Jompo sebagai
landasan hukum formal. Mulai dari situ usaha-usaha kesejahteraan sosial
berkembang dan ditangani baik oleh pemerintah maupun swasta atau masyarakat
secara melembaga dan tersistem, dengan didirikan berbagai wadah pelayanan
dengan berbagai program pelayanan secara terencana dan berkesinambungan. Dalam
perkembangan ini pula sistem pelayanan
sosial mulai menggunakan prinsip-prinsip dan metode pekerjaan sosial yang
terarah dan sistematis. Perkembangan ini mulai terencana dengan baik setelah
tahun 1970-an saat masyarakat dan bangsa Indonesia mulai menghadapi perubahan
sosial yang pesat melalui perencanaan pembangunan berencana yang dikenal dengan
Pelita (Pembangunan Lima Tahun).
Melalui pembangunan bertahap (Pelita) ini,
usaha-usaha kesejahteraan sosial semakin mendapat tempat baik secara formal
oleh pemerintah maupun perhatian yang besar dan luas dari masyarakat. Hal ini
semakin jelas dengan dihasilkannya Undang-Undang RI No.6 Tahun 1974 Tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial. Beberapa tahun kemudian
lahirlah Undang-Undang RI No.4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak sebagai
landasan hukum formal dengan landasan pokok pembangunan kesejahteraan sosial
secara idiil, adalah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan
konstitusional, kemudian dirumuskan serta dijabarkan dalam Garis-Garis Besar
Haluan Negara sebagai landasan operasional dari pelita ke pelita yang selalu
ditinjau dan dikembangkan. Secara singkat, dalam perkembangan selanjutnya,
usaha-usaha kesejahteraan sosial ini ditingkatkan dan dikembangkan baik secara
kuantitas maupun kualitas melalui riset-riset yang dilakukan oleh
lembaga-lembaga pemerintah, swasta maupun perguruan tinggi bersamaan dengan
didirikannya berbagai perguruan tinggi negeri maupun swasta dengan kurikulum
yang khusus menyiapkan pekerja dan perencana di bidang sosial maupun ilmuan dengan disiplin kesejahteraan sosial
(Ibid : 161- 171).
Perkembangan ini terasa semakin
pesat seirama dengan kemajuan
pembangunan yang melahirkan masalah-masalah sosial yang semakin kompleks,
pengaruh globalisasi, serta perubahan
paradigma pembangunan dan perubahan tata pemerintahan yang kemudian melahirkan undang-undang khususnya di bidang
kesejahteraan sosial, yakni Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2009 yang
menggantikan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1974 yang tidak lagi relevan dengan
perkembangan, serta sejumlah undang-undang yang berhubungan dengan usaha-usaha
penanganan masalah kesejahteraan sosial.
Sumber
Inspirasi Lahirnya Sistem Usaha Kesejahteraan Sosial
Dari
gambaran singkat sejarah lahirnya sistem usaha kesejahteraan sosial yang
dikemukan di atas, maka dapatlah dipastikan bahwa sistem usaha kesejahteraan
sosial ini lahir, dipelopori oleh
lembaga-lembaga yang berlatar belakang keagamaan. Di Indonesia misalnya,
seperti telah dikemukakan, yaitu Panti Asuhan Parappatan di Jakarta (1832) yang
didirikan oleh Pendeta dari Inggris, yakni Rev.H.W.Menhurst. Kemudian pada
tahun 1866 didirikan Rumah Orang Jompo Pniel (sebuah yayasan gereja), serta
Panti Witte Kruis di Salatiga oleh organisasi gereja Bala Keselamatan.
Lahirnya panti-panti tersebut tentu didorong
oleh misi dan motivasi yang paling tidak dilandasi oleh nilai-nilai doktrin
agama yang dimiliki. Oleh karena panti-panti itu berlatar-belakang agama Kristen,
maka jelas, seperti pada agama-agama lain, di dalam agama Kristen dorongan
untuk menolong orang lain yang menderita bersumber dari ajaran kasih dari
Kristus, yakni ”Kasihilah sesamamu seperti engkau mengasihi dirimu sendiri”
(hukum kasih yang kedua, Injil Mat.22:39, Mark.12:31, Luk.10:27).
Dorongan yang sama misalnya, di
samping pelopor-pelopor yang lain, adalah seorang suster, yakni suster Teresa yang memberi dirinya
melayani orang-orang menderita karena sistem serta struktur masyarakat yang
menindas di Kalkuta India saat itu, yang menyebabkan banyak orang menderita
sakit, mati kelaparan, terlantar karena tidak memiliki rumah (tuna wisma),
tidak memiliki pekerjaan (tuna karya), dan pelacuran (tuna susila), dsb,
seperti diungkapkan oleh Christian Fiedmann mengutip kata-kata suster Teresa
saat ia “berkotbah” di Universitas Oslo, sebagai berikut :
“Kalau anda membelakangi kaum miskin berarti anda membelakangi Kristus
sendiri. Kristus telah membuat diri-Nya
lapar, telanjang, dan tak beratap, supaya kita sempat mengasihi Dia (Kristus)
dalam diri kaum miskin” (Christian Feldmann, 1990 : 72).
Suster
Teresa bukan seorang filosof atau teolog, namun pemikiran, pandangan-pandangan
serta perkataannya melalui pernyataan di depan forum-forum mengandung
nilai-nilai filosofis dan teologis yang dalam, yang turut memberi sumbangan
penting terhadap bangunan teologi kesejahteraan sosial, seperti diungkapkan
Christian Feldmann sebagai berikut :
”Ibu Teresa memandang Allah sebagaimana
seorang anak memandang ayahnya. Ia tidak menemukan Allah dalam pandangan
filsafat atau pengalaman mistik, melainkan secara mesra dalam setiap orang yang
dijumpainya. Itulah rahasianya. Kasihnya yang berapi-api kepada kaum miskin,
yang tidak berdaya, yang hancur karena situasi, adalah jawaban atas kasih yang
dirasakan dan dihayati sendiri...” (Ibid : 72-73).
Suster
Teresa juga bukan seorang pekerja sosial (Social Worker) yang menginjakkan
kakinya di perguruan tinggi kesejahteraan sosial atau sejenisnya, ia juga bukan
seorang perawat kesehatan, atau seorang yang pernah mendapat pendidikan guru,
namun ia adalah pekerja sosial yang tangguh dan profesional. Kemampuannya
mengorganisir kegiatan untuk melayani orang miskin sangat teruji dan
mengagumkan. Kunci
keberhasilannya adalah bukan pada uang atau biaya serta prasarana dan sarana
yang utama. Walaupun bagi suster Teresa semua itu penting, namun yang lebih
penting dan utama baginya adalah kepercayaan, kesungguhan dan ketulusan untuk
melayani. Kepercayaan, kesungguhan dan ketulusan suster Teresa itu dibangun
atas dasar kasih Kristus yang selalu terpancar dalam seluruh karya
kemanusiaannya. Hal ini
terungkap dari suratnya kepada sesama rekan susternya, sebagai berikut :
”Kita adalah misionaris pembawa kasih Allah kepada
dunia masa kini. Yesus mengutus kita. Ia tidak dapat menipu kita. Sabda-Nya
tegas: ”Kalian berbuat itu untuk-Ku, Aku lapar dan kalian memberikan Aku
makan”. Kita bukan karyawati sosial, bukan perawat, bukan guru. Kita adalah
kumunitas religius. Apabila kita
melayani orang miskin, kita melayani Yesus. Saya melayani Yesus selama 24 jam
setiap hari. Apa saja yang saya buat adalah bagi Dia. Dialah yang menopang
saya. Saya mengasihi Dia kalau saya
mengasihi kaum miskin. Lewat Dialah saya mengasihi mereka” (Ibid : 73).
Gambaran singkat di atas,
jelas bahwa lahirnya sistem usaha kesejahteraan sosial yang dipelopori baik
oleh perorangan maupun organisasi tersebut adalah terinspirasi dan bersumber
dari nilai-nilai ajaran agama yang dianut, yakni ajaran cinta kasih yang
bersumber dari ajaran-ajaran dan karya
Yesus.
Pengertian
Berteologi
Berteologi adalah upaya untuk menjabarkan dan
mengkomunikasikan teks dalam konteks. Berteologi oleh karenanya harus selalu
memperhatikan konteks. Teologi selalu harus kontekstual, tumbuh dari dalam
konteks untuk menjawab pergumulan konteks. Menurut Schoof
(1970), yang dikutip Wahono Nitiprawiro, ”teologi adalah refleksi
sistematis metodis tentang realitas iman, yang adalah integrasi ilmiah dari
sabda Tuhan sebagaimana itu ditujukan kepada kita. Oleh karenanya teologi yang
merupakan kegiatan penalaran tentang ajaran iman tersebut memperbaharui dirinya
lewat tiga saluran. Pertama, adalah saluran interpretasi kembali ajaran iman
sedemikian rupa sehingga mendekati sumbernya, mendekati Kitab Suci dan tradisi.
Proses ini juga disebut sebagai ”kembali kepada sumber” atau resurcement.
Kedua, adalah saluran kontak dengan macam hal yang terjadi dalam komunitas
kristiani dan dunia masa kini. Ketiga, adalah saluran ransangan dari apa-apa
yang dipikirkan oleh para teolog...” (Wahono
Nitiprawiro, 1987 : 20). ”Jadi teologi bukan sekedar kegiatan memberikan
perwajahan baru terhadap ajaran baku, tetapi refleksi iman secara baru sebagaimana itu dihayati oleh umat
dan masyarakat yang berjuang untuk pembebasan” (ibid, hal:24).
Berteologi yang fungsional
adalah teologi yang kontekstual. Teologi yang asing dari konteksnya tidak akan
mampu berfungsi. Inilah teologi yang hidup. Teologi yang hidup adalah
teologi yang menghidupkan (a living theology is a theology of life). Itu berarti bahwa ketika konteks kehidupan
berubah, maka diperlukan pula suatu teologi yang baru. Sebab teologi yang
benar-benar kontekstual senantiasa dinamis dan kreatif, peka dan cepat tanggap
terhadap konteksnya (Eka Dharmaputera: 1991 : 8).
Pada hakekatnya, teologi
tidak lain dan tidak bukan adalah upaya untuk mempertahankan secara dialektis,
kreatif serta eksistensial antara ”teks” dengan
”konteks”, antara ”kerygma” yang universal dengan kenyataan hidup yang
kotekstual. Dapatlah dikatakan bahwa teologi adalah upaya untuk merumuskan
penghayatan kristiani pada konteks ruang dan waktu tertentu (ibid : 9). Teologi
selalu bertitik tolak dari sebuah asumsi dasar, yaitu : bahwa Allah yang kita
percayai adalah Allah yang berfirman, Allah yang menyatakan kehendak-Nya di
sepanjang masa bagi seluruh umat manusia di mana saja. Firman dan kehendak-Nya
itu adalah mengenai kebenaran dan keselamatan, serta kesejahteraan manusia
bahkan seluruh ciptaan. Firman dan kehendak-Nya itu berlaku bagi siapa saja di
mana saja, dan kapan saja. Dan oleh karena itu siapapun yang mendambahkan
kebenaran, keselamatan dan kesejahteraan, tidak dapat tidak, harus dengan
sungguh-sungguh memperhatikan dan memberlakukan firman serta kehendak Allah
itu. Teologi bertolak dari keinginan itu, dan berfungsi untuk mencari serta
merumuskan kehendak Allah yang
menyelamatkan, mensejahterakan, serta merupakan norma kebenaran itu. Teologi
yang benar harus mulai dari situ (ibid :10). Kesimpulannya adalah, teologi
kontekstual harus dibangun bersama-sama secara interdisipliner. Tegasnya, bila
aspek ”konteks”-nya hendak ditekankan, maka jelaslah bahwa ilmu teologi juga membutuhkan uluran tangan
dari disiplin ilmu lain, seperti sosiologi, politik, ekonomi, teknologi, dsb
(ibid :15). Teologi yang tidak mem-perhitungkan
konteks budaya (maupun sosial ekonomi suatu masyarakat), akan merupakan teologi
yang tidak berakar, teologi yang asing dari alam pemikiran dan sistem nilai
yang ada. Ia tidak akan fungsional (ibid :17).
Dalam berteologi, gereja
harus berdiri pada garis sejarah yang memperjuangkan kemanusiaan manusia dalam
arti yang sepenuh-penuhnya. Berteologi pun harus dilakukan dalam ke-berasa-an
dengan semua orang. Berteologi adalah praksis yang dilakukan oleh dan untuk
semua orang. Oleh sebab itu gereja bertugas mengajak semua orang memberlakukan
apa yang dilakukan Allah dalam konteks kenyataan masa kini, yaitu mengangkat manusia
pada kemanusiaannya (Th. Sumartana : 1993 : 18-19).
Teologi fungsional menunjuk pada suatu usaha berteologi yang secara eksplisit berpangkal
pada pengalaman manusiawi dan pengalaman iman (pengalaman kontekstual) dan
ingin membantu penghayatan iman di situ (Eka
Dharmaputera, ibid : 51). Teologi (gereja) yang fungsional
(kontekstual), yaitu teologi yang dibangun
dalam kerangka ”Kerajaan Allah”. Ada empat aspek yang harus diperhatikan
dalam mewujudkan teologi (gereja) yang fungsional (kontekstual), yakni :
1) Aspek Teologis. Pemaklumat Yesus mengenai
Kerajaan Allah, Kristus mewayuhkan secara baru siapakah Allah itu. Yesus
menyebut Allah sebagai Abba, Bapa Pencipta. Kebangkitan Yesus meneguhkan
”tuntutanya”-Nya sebagai Anak Allah. Para murid Yesus diajari Doa Bapa Kami.
Partisipasi dalam kehidupan Anak itu sesudah kebangkitan-Nya dimengerti sebagai
buah daya ’Roh Kudus’, Roh yang datang dari Allah melalui Yesus;
2) Aspek Kristologis. Dalam Injil, pemaklumat kerajaan Allah sangat erat berhubungan
dengan pribadi Yesus sendiri. Kerajaan Allah simbol yang dipersonifikasikan
tersebut, dalam pemakluman Yesus diradikalisir serta diubah, diberi arti
dan wujud baru secara luar biasa dan penuh resiko;
3) Aspek Eskatologis. Kerajaan Allah
merupakan tindakan Allah yang mempunyai ciri ”eskatologis-transenden”;
4) Aspek Soteriologis. Dalam kerajaan Allah,
keselamatan dan manusianya yang diper-hatikan. Keselamatan bukanlah hanya
menyangkut rohaninya semata, tetapi juga menyangkut dimensi jasmaniah dan
sosial.
Dengan demikian, gereja dalam kerangka
mewujudkan Kerajaan Allah itu, maka iman dan harapan gereja akan kerajaan Allah
mesti terwujud dalam keprihatinan dan keterlibatan menangani dunia ini,
termasuk usaha-usaha mensejahterakan masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan
dan tidak berdaya atau tercecer. Berdasarkan tugas pengutusan injili
sebagaimana nampak dalam hidup dan karya Yesus, gereja terpanggil untuk selalu
berdiri pada pihak kaum miskin (preferensial obtion for the poor) untuk mewujudkan tuntutan keadilan mereka
dalam rangka kesejahteraan bersama. Untuk menjalani hidup semacam itu, gereja
harus meletakkan dan membangun landasan teologi sebagai landasan yang
fungsional, yang kuat (Th. Sumartana, ibid
: 48-50).
Pengertian Kesejahteraan Sosial
Ada berbagai pengertian atau definisi
kesejahteraan sosial menurut beberapa ahli dan organisasi, yakni :
1). Arthur
Dunham; merumuskan kesejahteraan sosial sebagai kegiatan-kegiatan yang
terorganisasi dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan dari segi sosial melalui
pemberian bantuan kepada orang untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan di dalam
beberapa bidang seperti kebutuhan keluarga dan anak, penyesuaian sosial, waktu
senggang, standar-standar kehidupan dan hubungan-hubungan sosial. Pelayanan
kesejahteraan sosial memberikan perhatian utama terhadap individu-individu,
kelompok, komunitas-kumunitas, dan kesatuan penduduk yang lebih luas; pelayanan
ini mencakup pemeliharaan atau perawatan, penyembuhan dan pencegahan.
2). Harold L.Wilensky dan Charles N. Lebeaux;
mendefinisikan kesejahteraan sosial se-bagai suatu sistem yang terorganisasi
daripada usaha-usaha pelayanan sosial dan lembaga-lembaga sosial, untuk
membantu individu-individu dan kelompok-kelompok dalam mencapai tingkat hidup
serta kesehatan yang memuaskan.
Maksudnya agar supaya individu dan relasi-relasi sosialnya memperoleh
kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengembangkan kemampuan-kemampuannya serta
meningkatkan atau menyempurnakan
kesejahteraannya sebagai manusia sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
3). Walter A. Friendlander; mendefinisikan
kesejahteraan sosial sebagai suatu sistem yang terorganisasi daripada
pelayanan-pelayanan sosial yang melembaga, yang bermaksud untuk membantu
individu-individu dan kelompok agar mencapai standar-standar kehidupan dan
kesehatan yang memuaskan, serta hubungan-hubungan perorangan dan sosial yang
memungkinkan mereka memperkembangkan segenap kemampuan dan peningkatan
kesejahteraan mereka selaras dengan kebutuhan-kebutuhan keluarga dengan
masyarakat.
4). Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB); mendefinisikan kesejahteraan sosial sebagai suatu fungsi
terorganisasi, adalah kumpulan kegiatan yang bermaksud yang memungkinkan individu,
keluarga-keluarga, kelompok-kelompok dan komunitas-komunitas meng-gumuli
masalah-masalah sosial yang diakibatkan oleh perubahan kondisi-kondisi. Tetapi
di samping itu, secara luas, kecuali bertanggungjawab terhadap
pelayanan-pelayanan khusus, kesejahteraan sosial mempunyai fungsi lebih lanjut
ke bidang yang lebih luas di dalam
pembangunan sosial suatu negara. Pada pengertian yang lebih luas, kesejahteraan
sosial dapat memainkan peranan dalam memberikan sumbangan untuk secara efektif
menggali dan menggerakan sumber-sumber daya manusia (SDM) serta sumber daya
material (SDA) yang ada di suatu negara agar dapat berhasil menggumuli
kebutuhan-kebutuhan sosial yang ditimbulkan oleh perubahan, dengan demikian
berperan serta dalam pembinaan bangsa (T. Sumarnonugroho, 1991 : 27-36).
5).
Undang-Undang No.11 Tahun 2009; merumuskan kesejahteraan sosial adalah kondisi
terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat
hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi
sosial-nya.
Tujuan Kesejahteraan Sosial
Kesejahteraan sosial sebagai sistem mempunyai tujuan dan fungsi, yakni :
Tujuan
a. Untuk mencapai kehidupan yang
sejahtera dalam arti mencapai standar kehidupan pokok, sandang, perumahan,
pangan, kesehatan, dan relasi-relasi sosial yang baik dalam lingkungannya;
b. Untuk mencapai penyesuain diri
yang baik, apakah itu kepada masyarakat di lingkungannya, misalnya menggali
sumber-sumber daya, meningkatkan dan mengembangkan taraf hidup yang memuaskan.
Leonard Schneiderman, menguraikan tujuan-tujuan sistem kesejahteraan sosial,
sbb:
a. Maintenance system (sistem
pemeliharaan); yaitu kesejahateraan sosial mencakup pemeliharaan dan menjaga
keseimbangan atau kelangsungan keberadaan serta nilai-nilai sosial. Hal ini
berhubungan dengan :
● Pengertian dasar tentang arti dan
tujuan kehidupan;
● Motivasi untuk mempertahankan kelangsungan hidup individu dan kelompok
masyarakat;
● Norma-norma untuk menampilkan peranan berdasarkan umur dan jenis
kelamin;
● Norma-norma yang
berhubungan dengan produksi dan distribusi barang serta pelayanan;
● Norma-norma tentang
pemecahan konflik dan semacamnya.
b. Control system (sistem
pengawasan); tujuannya adalah mengadangan pengawasan secara efektif terhadap
perilaku yang tidak sesuai atau penyimpang dari nilai-nilai sosial yang ada.
Tujuan ini dapat dicapai dengan melakukan kegiatan-kegiatan :
● Identifikasi fungsi-fungsi
pemeliharaan, berupa kompensasi, resosialisasi, dan penyadaran terhadap
kelompok-kelompok penduduk yang berperilaku menyim-pang agar supaya dapat
mengembangkan pengawasan diri;
● Menggunakan prosedur-prosedur hukum dan
peraturan-peraturan untuk meningkatkan pengawasan eksternal dari perilaku yang
menyimpang; misalnya kerusakan dan kemunduran mental, kelalaian dan kekejaman
orang tua, pencegahan tindakan bunuh diri, kriminal, dan sejenisnya.
c. Change system (Sistem Perubahan); Tujuannya
adalah mengadakan perubahan ke arah berkembangnya suatu sistem yang lebih
efektif bagi anggota masyarakat. Dalam hal ini usaha sistem kesejahteraan
sosial merupakan suatu alat untuk menghilangkan hambatan-hambatan terhadap
terwujudnya :
● Partisipasi dalam pengambilan keputusan
secara penuh dan lebih adil;
● Distribusi sumber-sumber yang lebih adil dan
merata;
● Penggunaan kemungkinan-kemungkinan yang ada
dalam struktur sistem secara lebih banyak dan lebih adil. (T. Sumarnonugroho,
1991 : 37-40).
Fungsi-Fungsi Kesejahteraan Sosial
Pada dasarnya fungsi-fungsi kesejahteraan sosial bertujuan untuk
menghilangkan atau mengurangi tekanan-tekanan yang diakibatkan
perubahan-perubahan sosial-ekonomi, menghindarkan terjadinya konsekuensi-konsekuensi
sosial yang negatif terhadap pembangunan
serta menciptakan kondisi-kondisi yang mampu mendorong peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Ada empat fungsi kesejahteraan sosial, yakni :
1). Fungsi Penyembuhan (Curative)
Kesejahteraan sosial
melaksanakan fungsi penyembuhan bila di dalamnya tercakup sekumpulan kegiatan
yang ditujukan untuk menghilangkan kondisi-kondisi, ketidak- mampuan fisik,
emosional dan sosial agar orang yang mengalami masalah tersebut dapat berfungsi
secara normal kembali di dalam masyarakat. Contoh pelaksanaan fungsi
penyembuhan ini, antara lain, masalah keluarga, kelompok, kesatuan masyarakat
untuk berperan secara memadai, misalnya :
· anak terlantar
· keluarga miskin
· penderita cacat
· lanjut usia (lansia)
· dsb.
2). Fungsi
Pencegahan (Preventive)
Fungsi pencegahan dalam kesejahteraan
sosial bertujuan untuk memperkuat keluarga, kelompok-kelompok, dan
kesatuan-kesatuan masyarakat agar jangan sampai timbul masalah-masalah sosial
yang baru. Di samping itu juga diusahakan pencegahan tingkah laku perorangan
yang abnormal.
Di dalam masyarakat yang mengalami
perubahan cepat, upaya pencegahan ditekankan pada kegiatan-kegiatan untuk
membantu penciptaan pola-pola baru hubungan sosial serta lembaga-lembaga sosial
baru. Upaya pencegahan ini tergantung kepada bagaimana tingkat kehidupan suatu
negara dengan melihat sumber-sumber yang tersedia.
3). Fungsi
Pengembangan (Development)
Kegiatan kesejahteraan sosial yang
bersifat pengembangan, tujuan-tujuan dan orientasinya untuk memberikan
sumbangan langsung bagi proses pembangunan. Dalam hal ini kesejahteraan sosial
bertindak sebagai suatu unsur pelaksana perubahan (change agent), yaitu
membantu peningkatan proses perubahan berencana. Perubahan ini dapat
mempengaruhi struktur dan fungsi keluarga serta masyarakat, sehingga anggotanya
perlu disiapkan untuk memperoleh dan melaksanakan peranan-peranan serta
tanggungjawab yang baru.
Kegiatan-kegiatan yang dilaksankan
mencakup cara-cara untuk memperbaiki situasi-situasi melalui pelibatan orang-orang
di lingkungan sosialnya dan untuk memecahkan masalahnya.
4). Fungsi Penunjang (Supportive)
Fungsi penunjang dalam kesejahteraan
sosial ini mencakup kegiatan untuk
membantu mencapai tujuan-tujuan sektor lain. Misalnya dalam membantu men-capai
tujuan kebijaksanaan pemerintah dalam menunjang program kependudukan dan
keluarga berencana dengan jalan mempengaruhi sikap-sikap atau memotivasi
masyarakat untuk ikut serta menyukseskan program KB, maupun program-program
pemberdayaan masyarakat, dsb.
Landasan Teologi Kesejahteraan Sosial
”...Aku berkata kepadamu,
sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari
saudara-Ku yang paling hina ini kamu telah melakukannya untuk Aku” (Matius:
25:40).
Bagian Alkitab ini sebetulnya mau menegaskan
iman yang hidup dari orang percaya (Kristen), di mana dalam percakapan dengan
Yesus, para (murid) bingung dan kesulitan memahami bagaimana mengasihi Allah
yang abstrak itu, walaupun sudah sekian lama mereka hidup bersama Yesus dan
menyaksikan apa yang telah dikatakan dan dilakukan-Nya. Nampaknya para murid
belum yakin betul apa yang telah Yesus katakan tentang ”Kerajaan Allah” atau
”Kerajaan Sorga”. Para murid sangat terikat dengan pandangan mereka sendiri mengenai
kerajaan Sorga yang abstrak, dan oleh sebab itu bagi mereka yang lebih penting
adalah aspek iman yang ”imanen” bukan iman yang ”transenden”. Iman yang imanen
lebih cenderung menekankan sikap ”askestis”, yakni sikap yang menjauhkan diri
dari realitas sosial yang nyata, dunia termasuk manusia, dianggap penuh cobaan
dan dosa, oleh sebab itu tidak boleh didekati.
Dengan cara berpikir seperti itu para murid
lebih cenderung mengarahkan pandangan dan sikap mereka kepada dunia akhirat dan
mengabaikan realitas kehidupan sosial yang dihadapi. Hal itu sangat jelas
terlihat dalam argumentasi mereka ketika Yesus berkata tentang kewajiban para
murid (orang percaya) untuk melayani
orang-orang yang sedang berada dalam penderitaan karena lapar, haus, orang asing, sakit, dan orang-orang yang ada
dalam penjara, dimana Yesus mengidentifikasikan diri-Nya dengan orang-orang
tersebut. Para murid menyangka bahwa Yesus lah yang mesti mereka layani ketika
Yesus berada dalam penderitaan, karena selama itu mereka belum pernah
menyaksikan Yesus mengalami penderitaan seperti itu untuk mereka melayani-Nya.
Padahal yang Yesus maksudkan adalah mereka harus melayani orang-orang yang
mereka jumpai berada dalam penderitaan, dan melakukan kepada mereka sama
seperti melakukannya kepada Yesus, karena orang-orang seperti itulah menjadi
misi kedatangan Yesus ke dunia.
Teks ini pula sangat jelas berbicara tentang
penghukuman kepada mereka yang tidak melakukan pelayanan kepada orang yang
berada dalam penderitaan sebagai melakukan perbuatan baik. Mereka yang
melakukan perbuatan baik akan dipisahkan sebagai domba dan yang tidak melakukan
perbuatan baik dipisahkan sebagai kambing. Domba yang akan memiliki tempat
dalam kehidupan yang kekal atau Kerajaan Sorga sedangkan kambing tempatnya
siksaan yang kekal atau neraka pada saat penghakiman terakhir.
Yang dimaksudkan Yesus dengan saudara-Ku yang
paling hina itu adalah semua orang dari semua bangsa, tanpa mengenal latarbelakang
suku, ras, golongan agama, bahasa, warna
kulit, tua muda, kecil besar, laki-laki dan perempuan. Dan orang yang paling
hina adalah setiap orang atau kelompok
orang yang dikategorikan menderita dan hidup tidak layak, karena tidak memiliki
akses baik sosial, ekonomi, politik, hukum, budaya, yang membuat mereka tidak
berdaya baik disebabkan karena struktur sosial ekonomi maupun sebab-sebab
fungsional yang membuat seseorang atau kelompok orang tidak dapat melakukan
fungsi sosialnya dengan baik. Yesus mengidentikan diri-Nya sendiri dengan
orang-orang yang menderita tersebut sebagai orang yang paling hina yang harus
mendapat perhatian dan mengutamakan mereka untuk dilayani dan diselamatkan
melalui tindakan-tindakan nyata yang membebaskan mereka dari penderitaan dan
kehinaannya. Hal ini memang sudah dinubuatkan oleh nabi Yesaya tentang kedatangan
Yesus dan misi-Nya jauh sebelum kedatangan Yesus, yakni ”...Ia dihina dan
dihindari orang, seorang yang penuh kesengsaraan dan yang biasa menderita
kesakitan; ia sangat dihina, sehingga orang menutup mukanya terhadap dia dan
bagi kita pun dia tidak masuk hitungan. Tetapi sesungguhnya, penyakit kitalah
yang ditanggungnya, dan kesengsaraan kita yang dipikulnya...” (Yes.52:3-4).
Dengan penjelasan Yesus yang sangat gamblang
dalam percakapan dengan murid-murid seperti dikemukakan di atas, walaupun
ceritanya tidak berlanjut mengenai bagaimana tanggapan para murid terhadap
pernyataan Yesus tersebut, namun sebetulnya percakapan yang mengandung wejangan
eskatologis tersebut sangat kuat menekankan aspek soteriologis-transenden dari
iman orang percaya (Kristen) sebagai kewajiban iman yang asasi, yang pada
hekekatnya semua itu merupakan inti dari hukum kasih yang kedua, yang tidak
boleh diabaikan, dan mesti dilaksanakan sejajar dengan hukum kasih yang
pertama. Mengabaikan yang satu dan mengutamakan yang lain berarti iman yang
tidak sempurna, iman yang setengah-setengah, iman yang imitasi atau palsu,
ibarat kubur yang kosong berlabur putih kelihatannya indah pada luarnya namun
di dalamnya tulang belulang. Artinya ibadah yang sejati bukan pada aspek
formalnya yang ditekankan tetapi seluruh perilaku hidup dalam interaksi dengan
sesama serta dengan lingkungan. Dengan kata lain ibadah yang sejati adalah ibadah
yang berpijak kepada kehidupan nyata manusia, realitas sosial adalah basis
ibadah dimana iman orang percaya dilempar dan dipertaruhkan di situ. Inilah
sebetulnya inti iman yang hidup dari orang percaya (Kristen), bukan melakukan
perbuatan baik untuk memperoleh
keselamatan, tetapi karena sudah diselamatkan maka orang percaya
(Kristen) harus melakukan perbuatan baik
kepada sesama yang menderita demi mengangkat mereka dari penderitaannya,
adalah tindakan iman yang membalas
kebaikan Allah melalui karya penyelamatan oleh Yesus.
Dengan begitu menjadi jelas bahwa yang
dimaksudkan dengan ”Kerajaan Allah” atau ”Kerajaan Sorga” itu ada di dalam realitas kehidupan manusia
sehari-hari di mana manusia bergumul dengan kehidupannya, dan tindakan untuk
membebaskan manusia dari pergumulan dan penderitaannya itu menunjukkan
tanda-tanda dari Kerajaan Allah atau Kerajaan Sorga tersebut. Hal ini menjadi
semakin jelas ketika dalam percakapan dengan orang Farisi tentang kuasa yang
dipakai Yesus mengusir setan, Yesus mengatakan, ”Tetapi jika Aku mengusir setan
dengan kuasa Roh Allah, maka sesungguhnya Kerajaan Allah sudah datang kepadamu”
(Matius: 12:28; Lukas: 11:20).
Dapatlah dipahami bahwa perkataan, pernyataan,
serta seluruh tindakan Yesus memberi
kesan teologis yang kuat mengenai aspek transenden dari iman yang harus menjadi
landasan paradigma dalam bentuk aksi – refleksi – aksi, bagi tindakan-tindakan
nyata dalam kerangka pengatasi masalah-masalah sosial dan kemanusiaan.
Kehadiran Yesus sendiri di dunia sesungguhnya menunjukkan kehadiran Kerajaan
Allah di dunia ini. Itu berarti Yesus
ingin menegaskan bahwa pandangan dan pola pemikiran para murid dan orang
percaya (Kristen) jangan menyusahkan atau menyesatkan mereka sendiri, karena
Kerajaan Allah itu sesungguhnya ada dalam kehidupan manusia sehari-hari yang
setiap saat dijumpai oleh para murid dan orang percaya, seperti orang yang
lapar, haus, sakit, orang asing atau pengungsi, gelandangan, orang yang
kekurangan sandang, serta orang yang ada dalam penjara. Paradigma ini
mengisyaratkan setiap tindakan dan aksi sosial bagi pembebasan atau
penyelamatan manusia diberi landasan teologis, dan melalui tindakan atau aksi
sosial – refleksi – dan aksi itu (praksis), diperoleh pengalaman iman yang
nyata dan baru secara terus-menerus sebagai bahan refleksi yang menghubungkan
teks Firman Allah dengan konteks realitas sosial.
Dengan begitu maka
kesejahteraan sosial dapat diupayakan dan dibangun dengan kerangka paradigmatik
(metodologis) yang jelas dan pijakan teologis yang kuat, yang selalu dapat
dianalisis dan dievaluasi secara kritis
dan dikembangkan sesuai dinamika konteks realitas sebagai lahan bagi upaya-upaya pemberdayaan
sosial untuk mewujudkan kesejahteraan sosial dan pembebasan bagi manusia secara adil dan
berkeadaban, dapat terus dilakukan
secara bermakna baik kuantitatif maupun kualitatif.
Penutup
Usaha-usaha
kesejahteraan sosial memiliki tugas dan fungsi serta kedudukan yang sama penting dengan upaya untuk
menyelamatkan jiwa manusia. Upaya menyelamatkan jiwa manusia tanpa mengusahakan
kesejahteraannya sama halnya dengan
manusia yang hidup dengan roh tanpa tubuh, ibarat jiwanya di bumi
sedangkan tubuhnya melayang-layang di awan-awan, sebaliknya mengusahakan
kesejahteraan manusia tanpa menyelamatkan jiwanya sama halnya dengan manusia
yang sementara hidup dengan tubuh tetapi jiwanya telah mati. Oleh karena itu
baik jiwa (rohaniah) maupun tubuh (jasmaniah) harus dipandang dan ditempatkan
dalam perspektif keutuhan atau totalitas ciptaan yang tidak terpisahkan, yang
harus diselamatkan secara holistik melalui pendekatan-pendekatan (metodologi)
usaha-usaha kesejahteraan sosial yang dilandasi dengan nilai-nilai iman
(teologi) yang mendasari usaha-usaha kesejahteraan sosial tersebut.
Upaya untuk
meletakkan dan mengembangkan teologi kesejahteraan sosial harus dimulai dari
sekarang dan terus dilakukan secara bersama sebagai upaya membangun teologi
fungsional, teologi yang efektif mengupayakan pemberdayaan dan pemandirian bagi
mereka yang lemah dan tidak berdaya, miskin karena tidak memiliki akses baik sosial, ekonomi, budaya, politik,
hukum, serta struktur sosial dan kekuasaan yang membelenggu. Itu adalah teologi
yang hidup dan berakar. Teologi yang hidup dan berakar adalah teologi yang
menghidupkan, teologi yang melakukan
tindakan-tindakan pembebasan dan penyelamatan melalui upaya-upaya pemberdayaan
baik komunitas maupun individu untuk
dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara normal dan optimal dengan potensi
yang ada (modal sosial) serta memaksimalkan sistem sumber secara efektif dan
efisien demi menopang proses-proses pemberdayaan yang mampu mengeluarkan mereka
dari kesulitan-kesulitan dan penderitaan, agar hidup layak, sejahtera dan
bermartabat.
Perkataan,
tindakan dan seluruh karya penyelamatan (pembebasan) Yesus memberi inspirasi dan
keteladanan bagi peletakan dasar bangunan Teologi Kesejahteraan Sosial yang kuat, berakar
dan fungsional.
Referensi
Banawiratma, J.B (ed), Kemiskinan dan
Pembebasan, Pustaka Teologi, Kanisius, 1990.
Banawiratna, J.B & Miller, J, Bertelogi
Sosial Lintas Ilmu, Kanisius,
Yogyakarta, 1993
Darmaputera, Eka (Penyunting), Konteks Beteologi Di Indonesia, BPK,
Jakarta, 1991.
Feldmann, Christian, Pejuang Keadilan
dan Perdamaian, BPK & Kanisius, Jakarta, 1990.
Holland,
Joe & Hendriot Peter, Analisis Sosial & Refleksi Teologis, Kaitan
Iman dan
Keadilan, Kanisius, Yogyakarta, 1986.
Hendriks, Herman, Keadilan Sosial dalam
Kitab Suci, Kanisius, Yogyakarta, 1990.
Nitiprawiro, Wahono, Teologi Pembebasan,
Sinar Harapan, Jakarta, 1987.
Sumartana, Th (dkk), Terbit Sepucuk
Taruk : Teologi Kehidupan, Balitbang PGI,
Jakarta, 1993.
Sumarnonugroho, T, Sistem Intervensi
Kesejahteraan Sosial, PT. Handinita,
Yogyakarta, 1991.
Undang-Undang RI
Nomor 11 Tahun 2009, Tentang Kesejahteraan Sosial.
Langganan:
Postingan (Atom)