Sabtu, 04 Februari 2012

ANATOMI KEMISKINAN


ANATOMI KEMISKINAN
(Memahami Akar Penyebab Kemiskinan dan Model Pendekatan Penanggulangan
Dalam Kerangka Millennium Development Goal’s )

Oleh :
Max Maswekan
                                                                 
Dosen FISIP UKIM - Ambon

Abstract
       
      Poverty where is somebody or person group can not fulfil standard alive minimum,  or a standard that assumed proper. On that account poverty makes person or person group over a barrel and live in suffering very humiliate dignity.
       Has many dimensions or multi dimension, good social dimension, culture, economy, policies,  and access. Poverty cause root not only one aspect but many aspects, good structural aspect, cultural, natural, social system,  and as it. Efforts has overcominged poverty by government has been done to pass various wisdom and program, as commitment of state taking part in declaration MDG's, but up to now poverty not yet can be removed completely, although realized poor citizen total experiences depreciation from year to year. This matter is caused because the complex itself poverty problem.
      There many approach towards poverty cause root, but only proposed several as a means of analysis either through partial also holistik, that is: approach wisdom and government program, approach human invesment, approach structure,  and approach culture.
      Despitefully approach in poverty tackling stills a lot not yet correct and nudge troubleshoot root, because approached with partially. On that account poverty handling must with approach holistik and integration.

    Key words : Poverty, anatomy, multi dimension, many aspects, cultural, natural, social system, many approach,  wisdom and government program, approach, approach human invesment, approach structure, approach culture, holistik, integration, millennium development goal’s.




Pendahuluan
        Banyak studi tentang kemiskinan dan akar penyebab dari kemiskinan, yang kemudian me-lahirkan berbagai definisi, konsep dan persepsi serta metode penanganan kemiskinan. Ada yang melihat kemiskinan secara holistik atau komprehensif, ada pula yang melihat secara parsial atau dikaji dari aspek tertentu saja. Hal ini disebabkan karena kemiskinan itu sendiri memiliki dimensi yang sangat luas dan kom-pleks sehingga tidak mungkin dalam waktu yang bersamaan semua dimensi dikaji secara kom-prehensif. Kemiskinan itu sendiri memiliki sifat yang kompleks sehingga sulit pula diatasi secara tuntas dalam waktu yang singkat secara instan, akan tetapi membutuhkan waktu dan proses dalam penanganannya dengan metode tertentu yang tepat. Dimensi kemiskinan meli-puti, demensi sosial,  budaya, politik, ekonomi, hukum, serta akses.
       Masalah kemiskinan bukan saja persoalan satu negara, hampir semua negara termasuk negara-negara kaya atau super power dalam perencanaan pembangunan masih memberikan perhatian yang besar terhadap masalah kemis-kinan yang dialami rakatnya. Apalagi negara-negara dunia ketiga yang memiliki jumlah penduduknya sebagian besar berada di bawah garis kemiskinan. Negara-negara ini dikatego-rikan sebagai negara miskin. Dan negara-negara yang miskin ini memiliki jumlah yang lebih banyak dari negara-negara yang makmur atau telah mencapai tingkat kesejahteraan di atas standar minimum. Dan berdasarkan statis-tik, lebih dari separoh penduduk dunia berada di bawah garis kemiskinan. Berdasarkan itu maka pada tahun 2000 sejumlah negara termasuk Indonesia bergabung dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa menandatangani Deklarasi Milenium Perserikatan Bangsa-Bangsa atau dikenal dengan Millinium Development Goal’s (MDG’s). Tujuan MDG’S adalah : mengentaskan kemiskinan, memperbaiki kualitas kesehatan dan pendidikan,  meningkatkan perdamaian dan hak asasi manusia, kesetaraan gender dan kesinambungan lingkungan hidup.
       MDG’s muncul dari deklarasi tersebut dan meletakkan target terukur yang harus dicapai oleh masyarakat global di tahun 2015, dengan sasaran capaian meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara global yang diukur dengan Human Development Index (HDI) atau Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Secara detil, tujuan dan target MGD’s adalah sebagai berikut:  
1)       Tujuan ke-1, yaitu: menanggulangi kemiski-nan dan kelaparan. Dengan target terukur 1: menurunkan proporsi penduduk yang ting-kat pendapatannya di bawah USD 1/hari menjadi setengahnya antara tahun 1990 – 2015. Target terukur 2, menurunkan pro-porsi penduduk yang menderita kelaparan menjadi setengah antara tahun 1990 – 2015;
2)       Tujuan ke-2, yaitu : mencapai pendidikan dasar untuk semua, dengan target terukur 3, menjamin bahwa sampai dengan tahun 2015, semua anak, laki-laki dan perempuan, dapat menyelesaikan sekolah dasar (pri-mary schooling);
3)   Tujuan ke-3, yaitu: mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, de-ngan target terukur 4,  menghilangkan ketim-pangan gender di tingkat pendidikan dasar dan lanjutan pada tahun 2005 dan di semua jenjang pen-didikan tidak lebih dari tahun 2015;
4)   Tujuan ke-4, yaitu: menurunkan angka kema-tian anak, dengan target terukur 5, menurun-kan angka kematian Balita sebesar duaper-tiganya, antara tahun 1990 – 2015;
5)   Tujuan ke-5, yaitu meningkatkan kesehatan ibu, dengan target terukur 6, menurunkan angka kematian ibu antara tahun 1990 – 2015 sebesar tigaperempatnya;
6)   Tujuan ke-6, yaitu: memerangi HIV/AIDS, penyakit malaria, dan penyakit menular lain-nya, dengan target terukur 7, mengendalikan penyebaran HIV/AIDS dan mulai menurunnya jumlah kasus baru pada tahun 2015, me-ngendalikan penyakit malaria dan mulai menurunnya jumlah kasus malaria dan pe-nyakit lainnya pada tahun 2015;
7)   Tujuan ke-7, yaitu: memastikan kelestarian lingkungan hidup, dengan target terukur 9, memadukan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dengan kebijakan dan program nasional serta mengembalikan sumber daya yang hilang, target terukur 10, penurunan sebesar separuh, proporsi penduduk tanpa akses terhadap sumber air minum yang aman dan berkelanjutan serta fasilitas sanitasi dasar pada 2015, target terukur 11, mencapai perbaikan yang dalam kehidupan penduduk miskin di pemukiman kumuh pada tahun 2010.
       Indonesia termasuk dalam program MDG’s tersebut, dimana pada bulan September 2000 di Indonesia bersama 188 negara terlibat mendek-larasikan Program MDG’s itu. Pendeklarasian tersebut menunjukkan komitmen negara Indo-nesia dalam mewujudkan kesejahteraan masya-rakat secara global.
       Salah satu target utama dan pertama dari program MDG’s adalah menanggulangi kemis-kinan dan kelaparan, dengan dua target terukur, yakni : (1)  menurunkan proporsi penduduk yang tingkat pendapatannya di bawah USD 1/hari menjadi setengahnya antara tahun 1990–2015; (2) menurunkan proporsi penduduk yang menderita kela-paran menjadi setengah antara tahun 1990–2015.
         Dengan dua indikator target terukur ter-sebut memberikan isyarat imperatif untuk Indo-nesia sebagai bagian dari negara yang mendek-larasikan program MDG’s ini mesti berupaya mewujudkannya melalui berbagai kebijakan dan program pembangunan. Sudah banyak kebijak-an dan program pembangunan dilakukan peme-rintah untuk menanggulangi kemiskinan, baik di masa Orde Baru maupun Orde Reformasi ini, dan patut diakui keberhasilan yang telah dica-pai untuk mengurangi penduduk miskin, misal-nya program IMNES, IDT, KUBE, Program Pe-ngembangan Kecamatan (PPK), Program Pena-nggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP), Pro-gram masyarakat Mandiri, dll.
        Namun patut diakui pula bahwa banyak pula kegagalan, karena Indonesia masih dikate-gorikan dalam kelompok negara miskin ter-bawah bersama beberapa negara lain, yaitu Bangladesh, Laos, Mongolia, Miyamar, Pakis-tan, Papua Nugini, dan Filipina. Sampai tahun 2006, angka kemiskinan di Indonesia masih sebesar 17,75 % atau 39,05 juta jiwa dari total jumlah penduduk Indonesia. Dari segi penca-paian IPM misalnya, nilai IPM Indonesia pada tahun 2005 masih masuk dalam urutan ke-lompok  terbawah, yakni rangking 108 dari 177 negara. Untuk Provinsi di Indonesia, Maluku berada pada nilai sekitar 68 %, masih termasuk kategori rendah bersama beberapa provinsi lain.        
      Disamping keberhasilannya, kegagalan pe-merintah menanggulangi kemiskinan tentu dise-babkan karena berbagai faktor. Karena kemis-kinan memiliki banyak dimensi, maka penanga-nan atau penanggulangan kemiskian tidak hanya didekati dari satu aspek dan secara parsial, namun mesti dilihat dan didekati secara terintegrasi dan holistik.
Definisi Kemiskinan
       Bappenas,mendefinisikan kemiskinan seba-gai suatu kondisi atau situasi yang dialami seseorang atau sekelompok orang yang tidak mampu menjalani hidupnya sampai pada suatu taraf  yang dianggap tidak layak atau manusi-awi.
       Bebepara ahli mendefinisikan kemiskinan dari sudut pandang atau perspektif yang ber-beda.Sayogyo, misalnya, mendefinisikan kemis-kinan sebagai ciri dan akibat ketidaksamaan dalam masyarakat yang menjadikan sebagian golongan tak mampu mencapai tingkat hidup layak, sesuai harapan dan cita-cita yang hidup dalam masyarakat, berdasar upaya swadaya golongan itu. 
       BPS, mendefinikan kemiskinan adalah kon-disi di mana seseorang hanya dapat memenuhi kebutuhan  makannya kurang dari 2.100 kalori per kapita per hari.
       BKKBN, mendefinisikan kemiskinan, adalah keluarga miskin pra-sejahtera yang tidak dapat melaksanakan ibadah menurut agamanya, tidak mampu makan 2 kali sehari, tidak memiliki pakaian berbeda untuk di rumah, bekerja, dan bepergian, bagian terluas rumah berlantai tanah, tidak mampu membawa anggota keluarga ke sarana kesehatan.
        Menurut Bank Dunia, kemiskinan adalah tidak tercapainya kehidupan yang layak dengan penghasilan US $ 1 per hari.
       Kemiskinan dikategorikan ke dalam dua aspek, yakni kemiskinan relatif dan kemiskinan absolut. Kemiskinan relatif adalah kemiskinan yang dilihat berdasarkan perbandingan antara suatu tingkat pendapatan dengan tingkat pendapatan lainnya. Seseorang yang tergolong kaya dalam suatu mas-yarakat tertentu, bisa jadi merupakan orang miskin dalam masyarakat lain. Sedangkan kemiskinan absolut adalah suatu keadaan kemiskinan yang ditentukan dengan terlebih dahulu menetapkan garis tingkat pen-dapatan minimum. Orang-orang yang berpen-dapatan di atas tingkat pendapatan minimum tersebut dikategorikan sebagai bukan orang miskin. Sedangkan orang-orang yang penda-patannya kurang dari itu disebut sebagai orang miskin.
        Menurut Amartya Sen, kemiskinan bukan-lah sekedar masalah lebih miskin dari orang lain dalam suatu masyarakat, melainkan masalah tidak memilikinya kemampuan untuk memenuhi kebutuhan material secara layak – kegagalan untuk mencapai tingkat kelayakan minimum tertentu. (Revrisond Baswir,  1997 : 18-19).



Dimensi Kemiskinan
       Kemiskinan tidak hanya memiliki satu dimensi, tetapi memiliki banyak dimensi. Atau dengan kata lain kemiskinan memiliki dimensi ganda atau multi dimensi, antar dimensi, dan kontekstual. Kemiskinan mencakup dimensi sosial budaya, ekonomi, politik, dan akses.
       Dimensi sosial budaya, ditandai dengan tidak terintegrasinya masyarakat miskin ke dalam institusi sosial formal dan terinternali-sasikannya budaya miskin. Sebagai akibatnya, terjadi segregasi sosial yang menimbulkan ber-bagai kerawanan sosial, masyarakat miskin ter-paksa harus menciptakan mekanisme jaminan sosialnya sendiri untuk bertahan hidup, lahirnya budaya miskin yang merusak kualitas manusia dan  tata nilai serta norma dalam masyarakat, munculnya gejala psikologis, seperti rendah diri, merasa tidak berdaya, pasrah pada nasib, ber-pandangan takdir atau fatalisme.
      Dimensi ekonomi, yakni rendahnya peng-hasilan sehingga tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Akibatnya, buruknya kesehatan dan gizi anak-anak, pendidikan yang rendah, rumah yang tidak layak huni, sandang yang tidak cukup, serta berbagai kebutuhan hidup primer lain yang tidak dapat dipenuhi.
        Dimensi politik, yaitu tidak dimilikinya akses dan sarana yang memungkinkan orang miskin terlibat dalam proses pengambilan keputusan yang strategis menyangkut nasib mereka. Akibatnya,tersumbat segala aspirasi dan usaha- usaha orang miskin untuk mendapatkan per-hatian dan keadilan dalam kebijakan-kebijakan pembangunan.Kebijakan-kebijakan pembangun-an tidak pro rakyat miskin (non pro-poor). Orang miskin selalu termarjinalisasi dan terpinggirkan dalam institusi-instiusi resmi maupun institusi-institusi politik dan demokrasi, dan sering tidak diakui upaya-upaya mereka serta sering  diang-gap sebagai warga negara kelas dua dan tidak bertanggung jawab.Singkatnya, hak-hak mereka sebagai warga negara sering diabaikan.
        Dimensi akses, yaitu rendahnya kepemilik-an orang miskin terhadap berbagai  hal yang mampu menjadi modal hidup mereka. Indikator ketidakpemilikan akses ini adalah, tidak dimili-kinya aset sosial atau pelayanan publik, seperti kesehatan, pendidikan, jaminan sosial hari tua, penerangan, air bersih, dll; aset fisik, misalnya tidak memiliki rumah yang layak, harta benda, serta sarana produksi, sumberdaya alam, yaitu tanah atau lahan garapan; sumber daya manu-sia, rendahnya kualitas SDM, karena pendidikan yang rendah, tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan, dan finansial, yaitu tidak memikili jaminan perkreditan atau modal usaha, maupun tabungan.


Rujukan Teori

Akar Penyebab Kemiskinan dan Beberapa Pan-dangan Tentang Kemiskinan

       Kemiskinan dilihat oleh para ahli terutama ahli ilmu sosial diakibatkan oleh berbagai sebab. Ada yang melihat kemiskinan berkaitan erat dengan budaya dari suatu masyarakat. Kemis-kinan menurut pandangan ini melihat kemis-kinan disebabkan karena masyarakat hidup malas, kurang ada motivasi untuk bekerja keras merubah hidup mereka. Etos kerja pada masyarakat sangat rendah, walaupun sumber daya alam tersedia. Motivasi dan etos kerja yang rendah ini terkait erat juga dengan pandangan hidup atau world view masyarakat, yang menganggap kerja untuk hidup masa depan yang lebih baik  tidak terlalu penting. Pandangan ini membuat masyarakat tidak mau bekerja keras dan menata hidup mereka dengan baik. Sikap hemat dan menabung bagi mereka tidak ada guna, membuat mereka hidup boros dan konsumtif. Pada akhirnya masyarakat ini tetap hidup dalam keadaan miskin, tidak berubah dan lamban terhadap kema-juan.
        Ahli lain melihat kemiskinan suatu masya-rakat disebabkan karena ketidakadilan. Ketidak-adilan disebabkan karena struktur yang mencip-takan ketidakseimbangan dalam kepemilikan faktor-faktor produksi. Misalnya kepemilikan tanah yang tidak merata, dimana sekelompok orang menguasai sebagian besar tanah, seda-ngkan sebagian besar orang tidak menguasai tanah, dan yang tidak menguasai tanah ini mereka menjadi buruh tani. Yang menguasai tanah ini sudah tentu mereka memiliki kemu-dahan akses untuk mendapatkan modal dari lembaga modal resmi serta berbagai kemudah-an lain. Sementara yang tidak memiliki tanah mereka tetap bekerja sebagai buruh tani atau penggarap yang diberi upah oleh pemilik tanah atau tuan tanah. Struktur kepemilikan ini  men-ciptakan ketidakseimbangan dalam mayara-kat yang membuat masyarakat yang tidak memiliki tanah dan modal tidak berdaya dan terus ber-gantung hidup mereka kepada tuan tanah atau pemilik modal. Ketergantungan para buruh tani atau penggarap ini yang kemudian mengakibat-kan terciptanya struktur kemiskinan yang me-lembaga dalam masyarakat.
       Hal yang sama terjadi pula dalam masya-rakat industri dimana para pemilik kapital besar menguasai sebagian besar perusahaan-perusa-haan produksi yang penting. Mereka menguasai sektor ekonomi pasar atau ekonomi moderen, yang akhirnya membuat sektor ekonomi tradi-sional tidak dapat berkembang karena tidak mampu bersaing dengan sektor ekonomi mo-deren.  Berkembangnya sektor ekonomi mode-ren didukung pula oleh kebijakan politik peme-rintah karena dianggap sektor ini menunjang pertumbuhan ekonomi negara. Oleh sebab itu sektor ini pun lebih banyak mendapat kemu-dahan dari pemerintah. Sebaliknya lambannya perkembangan sektor ekonomi tradisional dise-babkan karena kurang mendapat dukungan politik pemerintah sehingga mereka kurang mendapat kemudahan fasilitas untuk mengem-bangkan usahanya. Mereka seringkali diabaikan dalam kebijakan-kebijakan pembangunan.Pada-hal sektor ekonomi tradisional ini digeluti oleh sebagian besar masyarakat baik di perdesaan maupun perkotaan. Kondisi ini pada akhirnya menciptakan ketidakseimbangan struktur eko-nomi antara sektor ekonomi moderen dan sektor ekonomi tradisional. Ketidakseimbangan struktur ini pada gilirannya melahirkan ketidakberdaya-an kelompok lemah dan mengakibatkan kemis-kinan yang luas dalam masyarakat.
       Dalam kaitan itu kemiskinan dibedakan ke-dalam tiga aspek, yakni kemiskinan natural, kul-tural, dan struktural. Kemiskinan natural adalah kemiskinan yang disebabkan karena faktor-faktor alamiah seperti, karena cacat, sakit, lanjut usia, atau karena bencana alam. Kemiskinan kultural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh faktor budaya seperti, malas, tidak disiplin, boros, dan sebagainya. Sedangkan kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh faktor-faktor  manusia seperti distribusi aset produktif yang tidak mereta, kebijakan ekonomi yang tidak adil, korupsi dan kolusi, serta tatanan perekonomian dunia yang cenderung meng-untungkan kelompok masyarakat tertentu. (Revrisond Barwir, 1997 : 20-21).
       Sejalan dengan pandangan di atas, pan-dangan konservatif, melihat kemiskinan dise-babkan karena orang miskin sendiri. Menurut pandangan ini orang miskin dinilainya bodah, malas, tidak punya motivasi berprestasi yang tinggi, serta tidak memiliki keterampilan. Semua itu berkaitan dengan mentalitas dari orang miskin sendiri, atau dengan kata lain kultur orang miskin itu sendiri dianggap faktor utama penyebab kemiskinan mereka. Oleh karena itu orang miskin karena kulturnya itu membuat mereka tidak dapat menyesuikan diri atau beradaptasi dengan proses-proses sosial yang ada.
       Sedangkan menurut pandangan liberal, kemiskinan terjadi karena struktur sosial kurang memberikan kesempatan kepada orang miskin untuk berusaha. Mereka melihat ketidakadilan dan diskriminasi membuat orang miskin tidak dapat mengembangkan potensi yang mereka miliki. Struktur sosial yang tidak adil ini menutup pelayanan dan fasilitas publik bagi orang miskin, membuat mereka tidak berdaya karena tidak punya kesempatan untuk berusaha. Pada akhir-nya mereka tetap hidup dalam ketidakberdaya-an dan kemiskinan mereka.
       Menurut Marx, timbulnya kemiskinan dise-babkan oleh adanya perbedaan kekuasaan, po-sisi dan legitimasi dalam sistem sosial. Keter-belakangan suatu masyarakat tidak terlepas dari masyarakat jajahan yang mengeksploitasinya (Tjahya Supriatna, 2000 : 180).
        Berbeda dengan pandangan makro yang dikemukakan di atas, Robert Chambers meng-identifikasi kemiskinan disebabkan karena lima faktor utama yang saling terkait secara mikro, yang dinamakannya sebagai ”ketidakberuntu-ngan” atau ”disadvantages”, yakni (1) Kemis-kinan, kemiskinan ini ditandai dengan rumah yang reot dan dibuat dari bahan bangunan yang bermutu rendah, perlengkapan yang sangat minim, dan tidak memiliki MCK sendiri, ekonomi keluarga ditandai dengan ekonomi gali lubang tutup lubang. Pendapatan mereka tidak mementu dalam jumlah  yang sangat tidak memadai; (2) Kelemahan fisik, fisik yang lemah dapat menyebabkan orang miskin memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi antara ang-gota keluarga tersebut dengan anggota keluarga dewasa yang sehat dalam mencari nafkah. Fisik yang lemah ini disebabkan karena kurang gizi, sehingga mereka tidak mampu mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga; (3) Keterasingan, keterasingan keluarga miskin karena tempat tinggal mereka yang terisolasi secara geografis, yang menyebabkan mereka tidak memiliki akses terhadap sumber-sumber informasi membuat mereka tidak mampu men-gadaptasikan diri dengan berbagai perkem-bangan serta minimnya pengetahuan dan keterampilan; (4) Kerentanan,  keluarga miskin biasanya tidak memiliki cadangan baik berupa uang atau makanan untuk mengahdapi keadaan darurat. Apabila terjadi keadaan darurat seperti ada keluarga yang tiba-tiba sakit mereka tidak mampu membiayai sehingga biasanya mereka menjual barang milik mereka yang ada, atau mereka berhutang kepada tetangga untuk membiayai perawatan. Keluarga miskin ini bia-sanya mereka makan satu hari hanya satu kali dengan kadar gizi yang sangat tidak memadai, membuat mereka sangat rentan terhadap penyakit menular, atau mudah terserang wabah penyakit; (5) Ketidakberdayaan, karena ketidak-berdayaan orang miskin seringkali  tidak berda-ya menghadapi rentenir atau berbagai bentuk eksploitasi, yang memuat mereka tetap terkung-kung dalam lilitan kemiskinan. Karena ketidak-berdayaan itu pula seringkali orang miskin  ditipu serta diperlakukan tidak adil dalam urusan-urusan administrasi pemerintahan atau urusan-urusan perkara, mereka tidak kuasa me-nghadapi aparat pemerintah yang sering mena-kutnakuti. (Loekman Soestrisno, 1997 : 16-21).
        Emil Salim (Tjahya Supriatna, 2000 : 124-125), mengemukakan lima karakteristik kemis-kinan, sebagai beriku :
a)       Penduduk miskin pada umumnya tidak memiliki faktor produksi sendiri;
b)       Tidak mempunyai kemungkinan untuk memperoleh aset produksi dengan kekuat-an sendiri;
c)       Tingkat pendidikan pada umumnya rendah;
d)       Banyak di antara mereka tidak mempunyai fasilitas;
e)       Di antara mereka berusaha relatif muda dan tidak mempunyai keterampilan atau pendidiakan yang memadai.

Kecuali yang dikemukakan Emil Salim di atas, garis kemiskinan ditetapkan juga berdasarkan tingkat pendapatan per bulan perkapita per tahun atau per kapita per bulan. Bank Dunia menetapkan tingkat pendapatan per kapita per  tahun serendah US $ 75 untuk daerah perkotaan dan $ 50 untuk daerah pedesaan sebagai garis kemiskinan. Sedangkan Biro Pusat Statistik (BPS) menggunakan kriteria tingkat penge-luaran per kapita per bulan untuk meme-nuhi kebutuhan minimum makanan dan bukan makanan sebagai garis kemiskinan. Kebutuhan minimum makanan digunakan patokan 2.100 kalori per orang per hari, sedangkan  pengeluaran bukan makanan terdiri dari kebutuhan minimum untuk peru-mahan, bahan bakan, sandang, pendidikan, kesehatan dan transpor, dan garis kemis-kinan berdasarkan pengeluaran ini berbeda pada setiap daerah atau provinsi.
        Selain itu, Sajogyo menggunakan kriteria tingkat pengeluaran sebagai proksi terhadap pendapatan setara beras sebagai dasar penetapan garis kemiskinan, yakni untuk kategori miskin pada daerah perko-taan 480 Kg, daerah pedesaan 320 Kg, miskin sekali daerah perkotaan 360 Kg, daerah pedesaan 240 Kg, sedangkan penduduk paling miskin 270 Kg untuk daerah perkotaan dan 180 Kg untuk daerah pedesaan. Dalam kaitan ini Sajogyo me-nyebut kemiskinan sebagai ciri dan akibat ketidaksamaan dalam masyarakat yang menjadikan sebagian golongan tak mampu mencapai tingkat hidup layak, sesuai harapan dan cita-cita yang hidup dalam masyarakat, berdasar upaya swadaya golo-ngan itu.(Metodologi Indentifikasi Golongan dan Daerah Miskin: Suatu Tinjauan dan Alternatif, 1995).   



Strategi Penanggulangan Kemiskinan  Dengan Berbagai Pendekatan

       Salah satu tujuan mendasar negara adalah mengupayakan kesejahteraan bagi masyarakat. Amanat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yakni ”...melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa...”    
      Amanat Konstitusional tersebut merupakan hakekat dari pembangunan bangsa, dan oleh sebab itu maka tidak ada alasan untuk kemis-kinan tidak diberantas. Sebagai konsekuensinya maka pemerintah berkomitmen  pada tahun 2000 bersama sejumlah negara bergabung dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa menanda-tangani Deklarasi Milenium Persatuan Bangsa- Bangsa atau dikenal dengan Millenium Deve-lopmens Goal’s (MDG’s) sebagaimana telah dikemukakan di atas. Salah satu tujuan  MDG’S adalah mengentaskan kemiskinan.  Berdasar-kan itu maka pemerintah menyusun berbagai strategi untuk menanggulangi kemiskinan.
      Di bawah ini akan dikemukakan beberapa strategi penanggulangan kemiskinan melalui kebijakan pemerintah, serta berbagai alternatif pendekatan penanggulangan kemiskinan secara akademis.



Strategi dan Model Pendekatan

     Suatu pendekatan akan efektif apabila dipa-hami secara tepat latar belakang masalah yang menjadi akar penyebab dari kemiskinan. Telah dikemukakan bahwa kemiskinan memiliki ba-nyak dimensi atau multi dimensi.  Atau dengan kata lain dengan menggunakan istilah medis, suatu treatment hanya akan dapat menolong menyembuhkan suatu penyakit jika diagnosis-nya tepat sesuai penyakit yang diderita sese-orang. Kemiskinan sebagai penyakit sosial sangat kompleks, oleh sebab itu model pende-katan dalam menanggulangi kemiskinan tidak tunggal, atau hanya dilihat dan didekati dari satu aspek atau model saja.

     
 a. Model  Program Pembangunan

       Penanggulangan kemiskinan sebenarnya telah dilakukan pemerintah sejak masa Orde Lama. Tahun 1960-an telah dilaksanakan pro-gram penanggulangan kemiskinan melalui strategi pemenuhan kebutuhan pokok. Pada masa Orde Baru, yakni pada  1970-an peme-rintah menggulirkan kembali program penang-gulangan kemiskinan yang ditempuh secara reguler melalui program sektoral dan regional. Pada tahun 1980-an, program penanggulangan kemiskinan dengan strategi khusus menun-taskan masalah kesenjangan sosial ekonomi masyarakat, baik di kota maupun di pedesaan. Tahun 1990-an, dilakukan peningkatan program penanggulangan kemiskinan melalui program-program seperti, Proyek Peningkatan Penda-patan Petani dan Nalayan Kecil (P4K),  Kelom-pok Usaha Bersama (KUBE), Inpres Desa Tertinggal (IDT). Ketika krisis ekonomi dan moneter di tahun 1997 sampai 1999 pemerintah membuat program Jaring Pengaman Sosial (JPS) sebagai program emergensi dalam rangka mengamankan (katup pengaman) masyarakat miskin dari kerawanan sosial yang lebih parah.         Dengan dilaksanakannya program-program tersebut, diakui bahwa angka kemiskinan dapat diturunkan, namun tidak menuntaskan akar ke-miskinan secara mendasar. Hal ini disebabkan karena kebanyakan orientasi program-program tersebut cenderung bersifat politis, di samping tumpang tindih, serta karikatif. Kecuali itu juga, mekanisme perencanaan sampai kepada pelak-sanaan dan evaluasi masih bersifat top down approach atau sentralize policy. Pendekatan ini menjadikan masyarakat terutama masyarakat kecil dan miskin hanya sebagai obyek, mereka tidak dilibatkan secara aktif. Sebagai akibatnya kebanyakan dalam pelaksanaannya tidak men-capai sasaran, serta masyarakat tidak diber-dayakan, dan masyarakat dibentuk dalam pola ketergantungan. Pada gilirannya masyarakat lebih banyak pasif, kurang berinisiatif, dan me-miliki motivasi yang rendah, serta lambannya inovasi.
       Setelah reformasi tahun 1998 yang meru-bah tatanan pemerintahan dan politik dari cen-tralize policy atau sentralisasi kebijakan pem-bangunan kepada decentralize policy. Para-digma pembangunan mengalami perubahan pendekatan dari top down approach kepada bottom up approach, masyarakat dijadikan subyek serta inti dalam proses pembangunan mulai dari perencanaan sampai kepada eva-luasi.             
      Berkaitan dengan itu, tahun 2000-an hingga kini pemerintah mencanangkan rogram-program pembangunan yang lebih bersifat partisipatif (melibatkan stakeholders) seperti, Program Pe-ngembangan Kecamatan (PPK),Program Pena-nggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP), Program masyarakat Mandiri, dll,  dan beberapa program lanjutan serta pengembangan dan reorientasi dari program-program tahun 1990-an dengan menempatkan semua program tersebut di bawah program payung, yakni Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM). Di samping berbagai program penanggulangan kemiskinan yang dilakukan pemerintah tersebut, juga dilakukan oleh BUMN-BUMN, Swasta, dan LSM, melalui pemberian modal usaha, maupun berbagai program pemberdayaan dan penguat-an  kapasitas masyarakat.

                                                                                       
b.  Model  Human Investment (Investasi SDM)

      Telah dikemukakan bahwa kemiskinan dise-babkan karena berbagai faktor, ada yang pe-ngaruhnya dominan atau utama ada yang hanya sebagai faktor penunjang atau sekunder.  Jika kemiskinan lebih disebabkan karena faktor manusia sebagai individu atau faktor fungsional,  maka strategi pendekatan yang  digunakan adalah mengubah aspek manusia sebagai individu atau warga masyarakat, dalam hal ini manusia yang menjadi sasaran untuk diber-dayakan melalui peningkatan kapasitas agar mereka mampu melakukan peningkatan pro-duksi melalui pengelolaan sumber daya (sosial, ekonomi, politik) yang ada (Soetomo, 2008: 327).
       Peningkatan kapasitas ini berkaitan dengan peningkatan kualitas manusia melalui pendi-dikan dalam arti luas, baik pendidikan formal maupun non formal. Pendidikan formal  lebih ditujukan kepada anak-anak usia sekolah dari keluarga miskin melalui bantuan fasilitas pen-didikan dan diberikan kemudahan-kemudahan agar anak-anak keluarga miskin ini dapat ber-sekolah dengan baik dan menamatkan pendi-dikan mereka pada jenjang tertentu, minimal  dapat menyelesaikan studi mereka pada jenjang SMA/SMU/SMK atau sederajat. Pendidikan non-formal ditujukan kepada individu maupun kelom-pok orang miskin melalui kursus-kursus dan keterampilan (life skill) agar mereka berdaya dan mampu bekerja secara mandiri untuk memenuhi kebutuhan serta kelangsungan hidup mereka.

       
c. Model Pendekatan Struktur

       Jika kemiskinan dipandang  disebabkan karena struktur, maka struktur yang menjadi sasaran perubahan. Perubahan struktur dimak-sudkan agar memungkinkan masyarakat miskin mendapat peluang dan kesempatan memper-oleh akses untuk berusaha meningkatkan taraf hidup mereka. Struktur yang dimaksud baik sosial, ekonomi maupun politik. Perubahan struktur sosial dimaksudkan agar masyarakat miskin dapat berinteraksi dengan sesama serta memperoleh kepercayaan diri dalam mem-bangun kerjasama (networking) serta memak-simalkan sistem sumber yang ada  sebagai modal sosial. Perubahan struktur ekonomi di-maksudkan agar masyarakat miskin memper-oleh akses sumberdaya ekonomi untuk mening-katkan produktivitas mereka. Perubahan struktur juga dimaksudkan untuk merubah kelembagaan ekonomi yang menjadi menghalang agar ada keseimbangan dalam produksi dan distribusi, serta menguasaan aset-aset ekonomi yang lebih adil.
         Dalam kaitan dengan perubahan struktur ini, Long, seperti dikutip Soetomo (Soetomo, ibid : 328), menawarkan dua pendekatan utama, yakni improvement approach dan transformation approach, yang lebih diarahkan kepada mas-yarakat desa yang merupakan bagian terbesar dari masyarakat miskin. Menurut Long, impro-vement approach adalah perubahan struktur yang lebih efektif dan moderat, adalah mem-perbaiki cara pertanian yang lebih baik melalui keterampilan teknis yang memadai agar para petani dan nelayan miskin mampu peningkatan produksi mereka tanpa mengganggu dan me-rusak sistem sosial tradisonal yang sudah ada.  Dengan cara ini masyarakat miskin desa memi-liki kapasitas dan ketahanan baik secara sosial-ekonomi maupun psikologis untuk memperta-hankan eksistensi mereka, meningkatkan kese-jahteraan, serta menaikkan status sosial dan martabat mereka. Sedangkan transformation approach, dimaksudkan perubahan yang funda-mental dalam sistem pemilikan faktor-faktor produksi atau resurces terutama tanah yang dikuasai oleh tuan tanah dan kaum borjuis desa, termasuk kelembagaan yang mendukungnya.      
d. Model Pendekatan Kultural

 Kemiskinan yang disebabkan karena faktor budaya atau yang sering disebut kemiskinan kultural, adalah kemiskinan yang bersumber dari latar belakang budaya masyarakat yang bersa-ngkutan. Latar belakang tersebut dapat berupa pandangan hudup (world view), sikap, serta nilai-nilai yang dianut. Seperti misalnya, yang berkaitan dengan pandangan hidup, masyarakat yang bersangkutan menganggap bahwa hidup ini tidak perlu mengejar kekayaan yang ber-lebihan karena pada akhirnya lenyap juga, oleh karena itu tidak perlu bersusah payah bekerja keras untuk memperoleh kekayaan untuk kese-jeteraan hidup. Pandangan seperti ini membuat masyarakat bersangkutan berusaha secukupnya demi menyambung kebutuhan hidup mereka setiap hari.
 Pandangan lain menganggap kemiskinan atau hidup miskin itu sudah takdir, oleh sebab itu tidak perlu bersusah payah karena sudah nasib. Sehingga kalau pun berusaha dengan sekuat tenaga, hidup akan tetap saja miskin. Pandangan seperti ini membuat orang atau masyarakat yang bersangkutan selalu pasrah terhadap keadaan. Pandang ini lebih dikenal dengan sikap fatalisitik, yang membuat masya-rakat bersangkutan apatis, tidak memiliki sema-ngat kerja, tidak memiliki pengharapan ke depan, tidak ada kemauan untuk merubah dera-jad kehidupan mereka.
 Ada juga pandangan dalam masyarakat ter-tentu bahwa hidup miskin atau kemiskinan itu sesuatu yang baik, sebagai nilai kebajikan. Pan-dangan ini cenderung menekankan kesucian, kesederhaan atau kebersahajaan, sebagai ben-tuk kesalehan hidup yang harus dipertahankan sebagai sesuatu yang utama dan penting. Hidup kaya dan berkecukupan atau sejahtera diang-gap sebagai ketidaksucian, ketidaksalehan, dan ketidak-bajikan. Pandangan ini yang membuat orang atau masyarakat yang bersangkutan tidak mau merubah status kehidupan mereka yang tetap miskin, malah dengan dipertahankan sta-tus itu membuat mereka semakin bangga dan mengaggap  hidup mereka semakin mulia.  Pan-dangan tersebut telah terbentuk sebagai suatu sistem nilai yang melembaga sehingga sulit untuk merubahnya. Jika sistem budaya demi-kian yang membuat masyarakat yang bersa-ngkutan tetap miskin, maka yang harus dirubah lebih awal adalah pandangan mereka yang telah tertanam sebagai sistem nilai. Untuk merubah pandangan itu maka salah satu sarana yang paling efektif adalah pendidikan sebagai strategi kebuda-yaan.
 Memang untuk merubah pandangan yang telah tertanam sebagai sistem membutuhkan waktu, namun melalui pendidikan yang teren-cana dengan baik maka nilai-nilai yang meru-pakan penghambat dalam pandangan tersebut yang membuat orang atau masyarakat tidak dapat keluar dari kemiskinan mereka, akan dirubah dengan pandangan tentang nilai-nilai kemajuan dan prestasi yang perlu diusahakan melalui kerja dan perencanaan hidup yang terarah.

           
Penutup
        Beberapa pendekatan yang dikemukakan di atas tidak berasumsi bahwa kemiskinan tidak hanya disebabkan karena satu aspek, tetapi kemiskinan disebabkan juga karena berbagai aspek, serta memiliki  banyak dimensi yang ber-kaitan dan saling mempengaruhi. Oleh karena itu pendekatan dalam  menanggulangi kemis-kinan tidak hanya bisa dilakukan dari satu aspek secara parsial tetapi mesti dilakukan secara holistik dan terintegrasi. Walaupun begitu kemis-kinan memang dapat juga disebabkan karena salah satu aspek yang dominan dari aspek lainnya, sehingga pendekatan pun dapat dilaku-kan terfokus pada satu aspek saja, namun aspek lain pun tidak mesti diabaikan sama sekali di dalam analisis secara anatomis mau-pun dalam upaya penanggulangannya. Kemam-puan dan ketepatan menganatomi kemiskinan akan sangat membantu menentukan pendeka-tan yang tepat dalam menanggulangi akar pe-nyebab kemiskinan.
        Di samping itu komitmen yang kuat dari pe-nentu kebijakan melalui keputusan-keputusan politik dan penganggaran (budgeting) yang ber-pihak kepada orang miskin (budgeting pro-poor), serta regulasi yang adil baik dalam bidang eko-nomi, politik, sosial, hukum, dan budaya, pene-gakan hukum secara konsisten (low inforce-ment) terhadap korupsi dan kolusi,  akan meng-eleminir kesenjangan dan ketidakseimbangan struktur yang menyebabkan kemiskinan. Maka komitmen negara untuk memberantas kemis-kinan melalui keikutsertaan dalam deklarasi Millenium Development Goal’s  akan terwujud, yang juga adalah amanat Konstitusi (Undang-Undang Dasar  1945).
          

                                



                                                                 Referensi




Arief, Sritua dan Adi Sasono, Ketergantungan dan   Keterbelakangan, Sinar Harapan kerjasama dengan Lembaga Studi Pembangunan, (edisi ke-2),  Jakarta, 1984.
  Baswir, Revrisond, Agenda Ekonomi Kerakyatan, Pustaka Pelajar kerjasama dengan IDEA, Yogyakarta, 1997.
Combs, Philip H. &  Manzoor Ahmed, Memerangi Kemiskinan di Pedesaan Melalui Pendidikan Formal, Publikasi Bank Dunia–CV Rajawali, (cet.ke-2),  Jakarta, 1985.
Fakih, Mansour, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, INSIST PRESS kerjasama dengan Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002.
Mubyarto, Reformasi Sistem Ekonomi: Dari Kapita-lisme menuju Ekonomi Kerakyatan, Aditya Media, Yogyakarta, (edisi.ke-2),1999.
Rusli, Said dkk, Metodologi Identifikasi Golongan dan Daerah Miskin, Suatu Tinjauan dan Alternatif, IPB – Bogor kerjasama dengan PT Grasindo, Jakarta, 1995.
Remi, Soemitro & Prijino Tjiptoherijanto, Kemis-kinan dan Ketidakmerataan di Indonesia, (edisi Indonesia – Inggris), Rineka Cipta, Jakarta, 2002.
Sumardi, Mulyanto & Hans-Dieter Evers  (ed.), Kemiskinan dan Kebutuhan Pokok,  Raja-wali, (cet.ke-2) Jakarta, 1985.
Soetrisno, Loekman, Kemiskinan, Perempuan, dan Pemberdayaan, Kanisius, Yogyakarta, 1997.
_______________________, Membangun Pereko-nomian Rakyat, Pustaka Pelajar kerjasama dengan IDEA, 1998.
Supriatna, Tjahya, Strategi Pembangunan dan Kemiskinan, Rineka Cipta, Jakarta, 2000.
Saefuddin, Asep, dkk (Tim Crescent), Menuju Mas-yarakat Mandiri, Pengembangan Model Sistem Keterjaminan Sosial,  Gramedia Pus-taka utama, Jakarta, 2003.
Sumawinata, Sarbini, Politik Ekonomi Kerakyatan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2004.
Soetomo, Masalah Sosial dan Upaya Pemecahan-nya, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2008.
Sumodiningrat, Gunawan,  Mewujudkan Kesejah-teraan Bangsa, PT Alex Media Komputindo, Jakarta, 2009.
Yustika, Ahmad Ereni, Negara vs Kaum Miskin, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003.





      


























































































































Tidak ada komentar:

Posting Komentar