ANATOMI
KEMISKINAN
(Memahami Akar
Penyebab Kemiskinan dan Model Pendekatan Penanggulangan
Dalam Kerangka Millennium
Development Goal’s )
Oleh :
Max Maswekan
Dosen FISIP UKIM - Ambon
Abstract
Poverty where is somebody or person group can
not fulfil standard alive minimum, or a
standard that assumed proper. On that account poverty makes person or person
group over a barrel and live in suffering very humiliate dignity.
Has many dimensions or multi dimension, good
social dimension, culture, economy, policies,
and access. Poverty cause root not only one aspect but many aspects,
good structural aspect, cultural, natural, social system, and as it. Efforts has overcominged poverty
by government has been done to pass various wisdom and program, as commitment of state taking part in declaration MDG's, but up to now poverty not yet can be removed
completely, although realized poor citizen total experiences depreciation from
year to year. This matter is caused because the complex itself poverty problem.
There many approach towards poverty cause
root, but only proposed several as a means of analysis either through partial
also holistik, that is: approach wisdom and government program, approach human
invesment, approach structure, and
approach culture.
Despitefully approach in poverty tackling
stills a lot not yet correct and nudge troubleshoot root, because approached
with partially. On that account poverty handling must with approach holistik
and integration.
Key words : Poverty, anatomy, multi
dimension, many aspects, cultural, natural, social system, many approach, wisdom and government program, approach,
approach human invesment, approach structure, approach culture, holistik,
integration, millennium development goal’s.
Pendahuluan
Banyak
studi tentang kemiskinan dan akar penyebab dari kemiskinan, yang kemudian me-lahirkan
berbagai definisi, konsep dan persepsi serta metode penanganan kemiskinan. Ada
yang melihat kemiskinan secara holistik atau komprehensif, ada pula yang
melihat secara parsial atau dikaji dari aspek tertentu saja. Hal ini disebabkan
karena kemiskinan itu sendiri memiliki dimensi yang sangat luas dan kom-pleks
sehingga tidak mungkin dalam waktu yang bersamaan semua dimensi dikaji secara
kom-prehensif. Kemiskinan itu sendiri memiliki sifat yang kompleks sehingga
sulit pula diatasi secara tuntas dalam waktu yang singkat secara instan, akan
tetapi membutuhkan waktu dan proses dalam penanganannya dengan metode tertentu yang
tepat. Dimensi kemiskinan meli-puti, demensi sosial, budaya, politik, ekonomi, hukum, serta akses.
Masalah kemiskinan bukan saja persoalan
satu negara, hampir semua negara termasuk negara-negara kaya atau super power
dalam perencanaan pembangunan masih memberikan perhatian yang besar terhadap
masalah kemis-kinan yang dialami rakatnya. Apalagi negara-negara dunia ketiga
yang memiliki jumlah penduduknya sebagian besar berada di bawah garis kemiskinan.
Negara-negara ini dikatego-rikan sebagai negara miskin. Dan negara-negara yang
miskin ini memiliki jumlah yang lebih banyak dari negara-negara yang makmur
atau telah mencapai tingkat kesejahteraan di atas standar minimum. Dan berdasarkan statis-tik, lebih dari separoh penduduk dunia
berada di bawah garis kemiskinan.
Berdasarkan itu maka pada tahun 2000 sejumlah negara termasuk Indonesia
bergabung dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa menandatangani Deklarasi Milenium
Perserikatan Bangsa-Bangsa atau dikenal dengan Millinium Development Goal’s (MDG’s).
Tujuan MDG’S adalah : mengentaskan kemiskinan, memperbaiki kualitas kesehatan
dan pendidikan, meningkatkan perdamaian
dan hak asasi manusia, kesetaraan gender dan kesinambungan lingkungan hidup.
MDG’s muncul dari deklarasi tersebut dan
meletakkan target terukur yang harus dicapai oleh masyarakat global di tahun
2015, dengan sasaran capaian meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara
global yang diukur dengan Human Development Index (HDI) atau Indeks Pembangunan
Manusia (IPM). Secara detil, tujuan dan target MGD’s adalah sebagai berikut:
1)
Tujuan ke-1, yaitu: menanggulangi kemiski-nan dan
kelaparan. Dengan target terukur 1: menurunkan proporsi penduduk yang ting-kat
pendapatannya di bawah USD 1/hari menjadi setengahnya antara tahun 1990 – 2015.
Target terukur 2, menurunkan pro-porsi penduduk yang menderita kelaparan
menjadi setengah antara tahun 1990 – 2015;
2)
Tujuan ke-2, yaitu : mencapai pendidikan dasar untuk
semua, dengan target terukur 3, menjamin bahwa sampai dengan tahun 2015, semua
anak, laki-laki dan perempuan, dapat menyelesaikan sekolah dasar (pri-mary
schooling);
3)
Tujuan ke-3, yaitu: mendorong kesetaraan gender dan
pemberdayaan perempuan, de-ngan target terukur 4, menghilangkan ketim-pangan gender di tingkat
pendidikan dasar dan lanjutan pada tahun 2005 dan di semua jenjang pen-didikan
tidak lebih dari tahun 2015;
4)
Tujuan ke-4, yaitu: menurunkan angka kema-tian anak,
dengan target terukur 5, menurun-kan angka kematian Balita sebesar duaper-tiganya,
antara tahun 1990 – 2015;
5)
Tujuan ke-5, yaitu meningkatkan kesehatan ibu, dengan
target terukur 6, menurunkan angka kematian ibu antara tahun 1990 – 2015
sebesar tigaperempatnya;
6)
Tujuan ke-6, yaitu: memerangi HIV/AIDS, penyakit malaria,
dan penyakit menular lain-nya, dengan target terukur 7, mengendalikan
penyebaran HIV/AIDS dan mulai menurunnya jumlah kasus baru pada tahun 2015, me-ngendalikan
penyakit malaria dan mulai menurunnya jumlah kasus malaria dan pe-nyakit
lainnya pada tahun 2015;
7)
Tujuan ke-7, yaitu: memastikan kelestarian lingkungan
hidup, dengan target terukur 9, memadukan prinsip-prinsip pembangunan
berkelanjutan dengan kebijakan dan program nasional serta mengembalikan sumber
daya yang hilang, target terukur 10, penurunan sebesar separuh, proporsi
penduduk tanpa akses terhadap sumber air minum yang aman dan berkelanjutan
serta fasilitas sanitasi dasar pada 2015, target terukur 11, mencapai perbaikan
yang dalam kehidupan penduduk miskin di pemukiman kumuh pada tahun 2010.
Indonesia termasuk dalam program MDG’s tersebut,
dimana pada bulan September 2000 di Indonesia bersama 188 negara terlibat
mendek-larasikan Program MDG’s itu. Pendeklarasian tersebut menunjukkan komitmen
negara Indo-nesia dalam mewujudkan kesejahteraan masya-rakat secara global.
Salah satu target utama dan pertama dari
program MDG’s adalah menanggulangi kemis-kinan dan kelaparan, dengan dua target
terukur, yakni : (1) menurunkan proporsi
penduduk yang tingkat pendapatannya di bawah USD 1/hari menjadi setengahnya
antara tahun 1990–2015; (2) menurunkan proporsi penduduk yang menderita kela-paran
menjadi setengah antara tahun 1990–2015.
Dengan dua indikator target terukur ter-sebut
memberikan isyarat imperatif untuk Indo-nesia sebagai bagian dari negara yang
mendek-larasikan program MDG’s ini mesti berupaya mewujudkannya melalui
berbagai kebijakan dan program pembangunan. Sudah banyak kebijak-an dan program
pembangunan dilakukan peme-rintah untuk menanggulangi kemiskinan, baik di masa
Orde Baru maupun Orde Reformasi ini, dan patut diakui keberhasilan yang telah
dica-pai untuk mengurangi penduduk miskin, misal-nya program
IMNES, IDT, KUBE, Program Pe-ngembangan Kecamatan (PPK), Program Pena-nggulangan
Kemiskinan Perkotaan (P2KP), Pro-gram masyarakat Mandiri, dll.
Namun patut diakui pula bahwa banyak pula kegagalan, karena Indonesia
masih dikate-gorikan dalam kelompok negara miskin ter-bawah bersama beberapa
negara lain, yaitu Bangladesh, Laos, Mongolia, Miyamar, Pakis-tan, Papua
Nugini, dan Filipina. Sampai tahun 2006, angka kemiskinan di Indonesia masih
sebesar 17,75 % atau 39,05 juta jiwa dari total jumlah penduduk Indonesia. Dari
segi penca-paian IPM misalnya, nilai IPM Indonesia pada tahun 2005 masih masuk dalam
urutan ke-lompok terbawah, yakni
rangking 108 dari 177 negara. Untuk Provinsi di Indonesia, Maluku berada pada nilai
sekitar 68 %, masih termasuk kategori rendah bersama beberapa provinsi lain.
Disamping keberhasilannya, kegagalan pe-merintah
menanggulangi kemiskinan tentu dise-babkan karena berbagai faktor. Karena kemis-kinan
memiliki banyak dimensi, maka penanga-nan atau penanggulangan kemiskian tidak
hanya didekati dari satu aspek dan secara parsial, namun mesti dilihat dan
didekati secara terintegrasi dan holistik.
Definisi
Kemiskinan
Bappenas,mendefinisikan kemiskinan seba-gai
suatu kondisi atau situasi yang dialami seseorang atau sekelompok orang yang
tidak mampu menjalani hidupnya sampai pada suatu taraf yang dianggap tidak layak atau manusi-awi.
Bebepara ahli mendefinisikan kemiskinan dari sudut pandang atau
perspektif yang ber-beda.Sayogyo, misalnya, mendefinisikan kemis-kinan sebagai ciri dan akibat ketidaksamaan dalam masyarakat yang
menjadikan sebagian golongan tak mampu mencapai tingkat hidup layak, sesuai
harapan dan cita-cita yang hidup dalam masyarakat, berdasar upaya swadaya
golongan itu.
BPS, mendefinikan kemiskinan adalah kon-disi di mana seseorang hanya
dapat memenuhi kebutuhan makannya kurang
dari 2.100 kalori per kapita per hari.
BKKBN, mendefinisikan kemiskinan, adalah
keluarga miskin pra-sejahtera yang tidak dapat melaksanakan ibadah menurut
agamanya, tidak mampu makan 2 kali sehari, tidak memiliki pakaian berbeda untuk
di rumah, bekerja, dan bepergian, bagian terluas rumah berlantai tanah, tidak
mampu membawa anggota keluarga ke sarana kesehatan.
Menurut Bank Dunia, kemiskinan adalah
tidak tercapainya kehidupan yang layak dengan penghasilan US $ 1 per hari.
Kemiskinan dikategorikan ke dalam dua
aspek, yakni kemiskinan relatif dan kemiskinan absolut. Kemiskinan relatif
adalah kemiskinan yang dilihat berdasarkan perbandingan antara suatu tingkat
pendapatan dengan tingkat pendapatan lainnya. Seseorang yang tergolong kaya
dalam suatu mas-yarakat tertentu, bisa jadi merupakan orang miskin dalam masyarakat
lain. Sedangkan kemiskinan absolut adalah suatu keadaan kemiskinan yang
ditentukan dengan terlebih dahulu menetapkan garis tingkat pen-dapatan minimum.
Orang-orang yang berpen-dapatan di atas tingkat pendapatan minimum tersebut
dikategorikan sebagai bukan orang miskin. Sedangkan orang-orang yang penda-patannya
kurang dari itu disebut sebagai orang miskin.
Menurut Amartya Sen, kemiskinan bukan-lah
sekedar masalah lebih miskin dari orang lain dalam suatu masyarakat, melainkan
masalah tidak memilikinya kemampuan untuk memenuhi kebutuhan material secara
layak – kegagalan untuk mencapai tingkat kelayakan minimum tertentu. (Revrisond
Baswir, 1997 : 18-19).
Dimensi
Kemiskinan
Kemiskinan
tidak hanya memiliki satu dimensi, tetapi memiliki banyak dimensi. Atau dengan
kata lain kemiskinan memiliki dimensi ganda atau multi dimensi, antar dimensi,
dan kontekstual. Kemiskinan mencakup dimensi sosial budaya, ekonomi, politik,
dan akses.
Dimensi
sosial budaya, ditandai dengan tidak terintegrasinya masyarakat miskin ke dalam
institusi sosial formal dan terinternali-sasikannya budaya miskin. Sebagai
akibatnya, terjadi segregasi sosial yang menimbulkan ber-bagai kerawanan
sosial, masyarakat miskin ter-paksa harus menciptakan mekanisme jaminan sosialnya
sendiri untuk bertahan hidup, lahirnya budaya miskin yang merusak kualitas
manusia dan tata nilai serta norma dalam
masyarakat, munculnya gejala psikologis, seperti rendah diri, merasa tidak
berdaya, pasrah pada nasib, ber-pandangan takdir atau fatalisme.
Dimensi
ekonomi, yakni rendahnya peng-hasilan sehingga tidak cukup untuk memenuhi
kebutuhan hidup keluarga. Akibatnya, buruknya kesehatan dan gizi anak-anak,
pendidikan yang rendah, rumah yang tidak layak huni, sandang yang tidak cukup,
serta berbagai kebutuhan hidup primer lain yang tidak dapat dipenuhi.
Dimensi
politik, yaitu tidak dimilikinya akses dan sarana yang memungkinkan orang
miskin terlibat dalam proses pengambilan keputusan yang strategis menyangkut
nasib mereka. Akibatnya,tersumbat segala aspirasi dan usaha- usaha orang miskin
untuk mendapatkan per-hatian dan keadilan dalam kebijakan-kebijakan pembangunan.Kebijakan-kebijakan pembangun-an
tidak pro rakyat miskin (non pro-poor). Orang miskin selalu termarjinalisasi
dan terpinggirkan dalam institusi-instiusi resmi maupun institusi-institusi
politik dan demokrasi, dan sering tidak diakui upaya-upaya mereka serta
sering diang-gap sebagai warga negara
kelas dua dan tidak bertanggung jawab.Singkatnya, hak-hak mereka
sebagai warga negara sering diabaikan.
Dimensi akses, yaitu rendahnya kepemilik-an
orang miskin terhadap berbagai hal yang
mampu menjadi modal hidup mereka. Indikator ketidakpemilikan akses ini adalah,
tidak dimili-kinya aset sosial atau pelayanan publik, seperti kesehatan,
pendidikan, jaminan sosial hari tua, penerangan, air bersih, dll; aset fisik, misalnya
tidak memiliki rumah yang layak, harta benda, serta sarana produksi, sumberdaya
alam, yaitu tanah atau lahan garapan; sumber daya manu-sia, rendahnya kualitas
SDM, karena pendidikan yang rendah, tidak memiliki pengetahuan dan
keterampilan, dan finansial, yaitu tidak memikili jaminan perkreditan atau
modal usaha, maupun tabungan.
Rujukan
Teori
Akar Penyebab Kemiskinan dan Beberapa Pan-dangan Tentang
Kemiskinan
Kemiskinan
dilihat oleh para ahli terutama ahli ilmu sosial diakibatkan oleh berbagai
sebab. Ada yang melihat kemiskinan berkaitan erat dengan budaya dari suatu
masyarakat. Kemis-kinan menurut pandangan ini melihat kemis-kinan disebabkan karena
masyarakat hidup malas, kurang ada motivasi untuk bekerja keras merubah hidup
mereka. Etos kerja pada masyarakat sangat rendah, walaupun sumber daya alam
tersedia. Motivasi dan etos kerja yang rendah ini terkait erat juga dengan
pandangan hidup atau world view masyarakat, yang menganggap kerja untuk hidup
masa depan yang lebih baik tidak terlalu
penting. Pandangan ini membuat masyarakat tidak mau bekerja keras dan menata
hidup mereka dengan baik. Sikap hemat dan menabung bagi mereka tidak ada guna,
membuat mereka hidup boros dan konsumtif. Pada akhirnya masyarakat ini tetap
hidup dalam keadaan miskin, tidak berubah dan lamban terhadap kema-juan.
Ahli
lain melihat kemiskinan suatu masya-rakat disebabkan karena ketidakadilan. Ketidak-adilan
disebabkan karena struktur yang mencip-takan ketidakseimbangan dalam kepemilikan
faktor-faktor produksi. Misalnya kepemilikan tanah yang tidak merata, dimana sekelompok
orang menguasai sebagian besar tanah, seda-ngkan sebagian besar orang tidak
menguasai tanah, dan yang tidak menguasai tanah ini mereka menjadi buruh tani.
Yang menguasai tanah ini sudah tentu mereka memiliki kemu-dahan akses untuk
mendapatkan modal dari lembaga modal resmi serta berbagai kemudah-an lain.
Sementara yang tidak memiliki tanah mereka tetap bekerja sebagai buruh tani
atau penggarap yang diberi upah oleh pemilik tanah atau tuan tanah. Struktur
kepemilikan ini men-ciptakan
ketidakseimbangan dalam mayara-kat yang membuat masyarakat yang tidak memiliki
tanah dan modal tidak berdaya dan terus ber-gantung hidup mereka kepada tuan
tanah atau pemilik modal. Ketergantungan para buruh tani atau penggarap ini
yang kemudian mengakibat-kan terciptanya struktur kemiskinan yang me-lembaga
dalam masyarakat.
Hal yang sama terjadi pula dalam masya-rakat
industri dimana para pemilik kapital besar menguasai sebagian besar
perusahaan-perusa-haan produksi yang penting. Mereka menguasai sektor ekonomi
pasar atau ekonomi moderen, yang akhirnya membuat sektor ekonomi tradi-sional
tidak dapat berkembang karena tidak mampu bersaing dengan sektor ekonomi mo-deren.
Berkembangnya sektor ekonomi mode-ren
didukung pula oleh kebijakan politik peme-rintah karena dianggap sektor ini
menunjang pertumbuhan ekonomi negara. Oleh sebab itu sektor ini pun lebih
banyak mendapat kemu-dahan dari pemerintah. Sebaliknya lambannya perkembangan
sektor ekonomi tradisional dise-babkan karena kurang mendapat dukungan politik
pemerintah sehingga mereka kurang mendapat kemudahan fasilitas untuk mengem-bangkan
usahanya. Mereka seringkali diabaikan dalam kebijakan-kebijakan pembangunan.Pada-hal
sektor ekonomi tradisional ini digeluti oleh sebagian besar masyarakat baik di
perdesaan maupun perkotaan. Kondisi ini pada akhirnya menciptakan ketidakseimbangan
struktur eko-nomi antara sektor ekonomi moderen dan sektor ekonomi tradisional.
Ketidakseimbangan struktur ini pada gilirannya melahirkan ketidakberdaya-an kelompok
lemah dan mengakibatkan kemis-kinan yang luas dalam masyarakat.
Dalam kaitan itu kemiskinan dibedakan ke-dalam
tiga aspek, yakni kemiskinan natural, kul-tural, dan struktural. Kemiskinan
natural adalah kemiskinan yang disebabkan karena faktor-faktor alamiah seperti,
karena cacat, sakit, lanjut usia, atau karena bencana alam. Kemiskinan kultural
adalah kemiskinan yang disebabkan oleh faktor budaya seperti, malas, tidak
disiplin, boros, dan sebagainya. Sedangkan kemiskinan struktural adalah
kemiskinan yang disebabkan oleh faktor-faktor
manusia seperti distribusi aset produktif yang tidak mereta, kebijakan
ekonomi yang tidak adil, korupsi dan kolusi, serta tatanan perekonomian dunia
yang cenderung meng-untungkan kelompok masyarakat tertentu. (Revrisond Barwir,
1997 : 20-21).
Sejalan dengan pandangan di atas, pan-dangan
konservatif, melihat kemiskinan dise-babkan karena orang miskin sendiri.
Menurut pandangan ini orang miskin dinilainya bodah, malas, tidak punya
motivasi berprestasi yang tinggi, serta tidak memiliki keterampilan. Semua itu
berkaitan dengan mentalitas dari orang miskin sendiri, atau dengan kata lain kultur
orang miskin itu sendiri dianggap faktor utama penyebab kemiskinan mereka. Oleh
karena itu orang miskin karena kulturnya itu membuat mereka tidak dapat menyesuikan
diri atau beradaptasi dengan proses-proses sosial yang ada.
Sedangkan menurut pandangan liberal, kemiskinan
terjadi karena struktur sosial kurang memberikan kesempatan kepada orang miskin
untuk berusaha. Mereka melihat ketidakadilan dan diskriminasi membuat orang
miskin tidak dapat mengembangkan potensi yang mereka miliki. Struktur sosial
yang tidak adil ini menutup pelayanan dan fasilitas publik bagi orang miskin,
membuat mereka tidak berdaya karena tidak punya kesempatan untuk berusaha. Pada
akhir-nya mereka tetap hidup dalam ketidakberdaya-an dan kemiskinan mereka.
Menurut Marx, timbulnya kemiskinan dise-babkan
oleh adanya perbedaan kekuasaan, po-sisi dan legitimasi dalam sistem sosial.
Keter-belakangan suatu masyarakat tidak terlepas dari masyarakat jajahan yang
mengeksploitasinya (Tjahya Supriatna, 2000 : 180).
Berbeda dengan pandangan makro yang
dikemukakan di atas, Robert Chambers meng-identifikasi kemiskinan disebabkan
karena lima faktor utama yang saling terkait secara mikro, yang dinamakannya
sebagai ”ketidakberuntu-ngan” atau ”disadvantages”, yakni (1) Kemis-kinan,
kemiskinan ini ditandai dengan rumah yang reot dan dibuat dari bahan bangunan
yang bermutu rendah, perlengkapan yang sangat minim, dan tidak memiliki MCK
sendiri, ekonomi keluarga ditandai dengan ekonomi gali lubang tutup lubang.
Pendapatan mereka tidak mementu dalam jumlah
yang sangat tidak memadai; (2) Kelemahan fisik, fisik yang lemah dapat
menyebabkan orang miskin memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi antara ang-gota
keluarga tersebut dengan anggota keluarga dewasa yang sehat dalam mencari nafkah.
Fisik yang lemah ini disebabkan karena kurang gizi, sehingga mereka tidak mampu
mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga; (3) Keterasingan, keterasingan
keluarga miskin karena tempat tinggal mereka yang terisolasi secara geografis,
yang menyebabkan mereka tidak memiliki akses terhadap sumber-sumber informasi membuat
mereka tidak mampu men-gadaptasikan diri dengan berbagai perkem-bangan serta
minimnya pengetahuan dan keterampilan; (4) Kerentanan, keluarga miskin biasanya tidak memiliki
cadangan baik berupa uang atau makanan untuk mengahdapi keadaan darurat.
Apabila terjadi keadaan darurat seperti ada keluarga yang tiba-tiba sakit mereka
tidak mampu membiayai sehingga biasanya mereka menjual barang milik mereka yang
ada, atau mereka berhutang kepada tetangga untuk membiayai perawatan. Keluarga
miskin ini bia-sanya mereka makan satu hari hanya satu kali dengan kadar gizi
yang sangat tidak memadai, membuat mereka sangat rentan terhadap penyakit
menular, atau mudah terserang wabah penyakit; (5) Ketidakberdayaan, karena
ketidak-berdayaan orang miskin seringkali
tidak berda-ya menghadapi rentenir atau berbagai bentuk eksploitasi, yang
memuat mereka tetap terkung-kung dalam lilitan kemiskinan. Karena ketidak-berdayaan
itu pula seringkali orang miskin ditipu
serta diperlakukan tidak adil dalam urusan-urusan administrasi pemerintahan
atau urusan-urusan perkara, mereka tidak kuasa me-nghadapi aparat pemerintah yang
sering mena-kutnakuti. (Loekman Soestrisno, 1997 : 16-21).
Emil Salim (Tjahya Supriatna, 2000 : 124-125),
mengemukakan lima karakteristik kemis-kinan, sebagai beriku :
a)
Penduduk miskin pada umumnya tidak memiliki faktor
produksi sendiri;
b)
Tidak mempunyai kemungkinan untuk memperoleh aset
produksi dengan kekuat-an sendiri;
c)
Tingkat pendidikan pada umumnya rendah;
d)
Banyak di antara mereka tidak mempunyai fasilitas;
e)
Di antara mereka berusaha relatif muda dan tidak
mempunyai keterampilan atau pendidiakan yang memadai.
Kecuali
yang dikemukakan Emil Salim di atas, garis kemiskinan ditetapkan juga berdasarkan
tingkat pendapatan per bulan perkapita per tahun atau per kapita per bulan.
Bank Dunia menetapkan tingkat pendapatan per kapita per tahun serendah US $ 75 untuk daerah perkotaan
dan $ 50 untuk daerah pedesaan sebagai garis kemiskinan. Sedangkan Biro Pusat
Statistik (BPS) menggunakan kriteria tingkat penge-luaran per kapita per bulan
untuk meme-nuhi kebutuhan minimum makanan dan bukan makanan sebagai garis
kemiskinan. Kebutuhan minimum makanan digunakan patokan 2.100 kalori per orang
per hari, sedangkan pengeluaran bukan
makanan terdiri dari kebutuhan minimum untuk peru-mahan, bahan bakan, sandang,
pendidikan, kesehatan dan transpor, dan garis kemis-kinan berdasarkan
pengeluaran ini berbeda pada setiap daerah atau provinsi.
Selain itu, Sajogyo menggunakan
kriteria tingkat pengeluaran sebagai proksi terhadap
pendapatan setara beras sebagai dasar penetapan garis kemiskinan, yakni untuk
kategori miskin pada daerah perko-taan 480 Kg, daerah pedesaan 320 Kg, miskin
sekali daerah perkotaan 360 Kg, daerah pedesaan 240 Kg, sedangkan penduduk
paling miskin 270 Kg untuk daerah perkotaan dan 180 Kg untuk daerah pedesaan.
Dalam kaitan ini Sajogyo me-nyebut kemiskinan sebagai ciri dan akibat
ketidaksamaan dalam masyarakat yang menjadikan sebagian golongan tak mampu
mencapai tingkat hidup layak, sesuai harapan dan cita-cita yang hidup dalam
masyarakat, berdasar upaya swadaya golo-ngan itu.(Metodologi Indentifikasi
Golongan dan Daerah Miskin: Suatu Tinjauan dan Alternatif, 1995).
Strategi Penanggulangan Kemiskinan Dengan Berbagai Pendekatan
Salah
satu tujuan mendasar negara adalah mengupayakan kesejahteraan bagi masyarakat.
Amanat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yakni ”...melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa...”
Amanat Konstitusional tersebut merupakan
hakekat dari pembangunan bangsa, dan oleh sebab itu maka tidak ada alasan untuk
kemis-kinan tidak diberantas. Sebagai konsekuensinya maka pemerintah
berkomitmen pada tahun 2000 bersama sejumlah
negara bergabung dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa menanda-tangani Deklarasi
Milenium Persatuan Bangsa- Bangsa atau dikenal dengan Millenium Deve-lopmens
Goal’s (MDG’s) sebagaimana telah dikemukakan di atas. Salah satu tujuan MDG’S adalah mengentaskan kemiskinan. Berdasar-kan itu maka pemerintah menyusun
berbagai strategi untuk menanggulangi kemiskinan.
Di bawah ini akan dikemukakan beberapa strategi
penanggulangan kemiskinan melalui kebijakan pemerintah, serta berbagai
alternatif pendekatan penanggulangan kemiskinan secara akademis.
Strategi dan Model Pendekatan
Suatu
pendekatan akan efektif apabila dipa-hami secara tepat latar belakang masalah
yang menjadi akar penyebab dari kemiskinan. Telah dikemukakan bahwa kemiskinan
memiliki ba-nyak dimensi atau multi dimensi.
Atau dengan kata lain dengan menggunakan istilah medis, suatu treatment
hanya akan dapat menolong menyembuhkan suatu penyakit jika diagnosis-nya tepat
sesuai penyakit yang diderita sese-orang. Kemiskinan sebagai penyakit sosial sangat
kompleks, oleh sebab itu model pende-katan dalam menanggulangi kemiskinan tidak
tunggal, atau hanya dilihat dan didekati dari satu aspek atau model saja.
a. Model Program Pembangunan
Penanggulangan kemiskinan sebenarnya
telah dilakukan pemerintah sejak masa Orde Lama. Tahun 1960-an telah
dilaksanakan pro-gram penanggulangan kemiskinan melalui strategi pemenuhan
kebutuhan pokok. Pada masa Orde Baru, yakni pada 1970-an peme-rintah menggulirkan kembali
program penang-gulangan kemiskinan yang ditempuh secara reguler melalui program
sektoral dan regional. Pada tahun 1980-an, program penanggulangan kemiskinan
dengan strategi khusus menun-taskan masalah kesenjangan sosial ekonomi
masyarakat, baik di kota maupun di pedesaan. Tahun 1990-an, dilakukan
peningkatan program penanggulangan kemiskinan melalui program-program seperti,
Proyek Peningkatan Penda-patan Petani dan Nalayan Kecil (P4K), Kelom-pok Usaha Bersama (KUBE), Inpres Desa
Tertinggal (IDT). Ketika krisis ekonomi dan moneter di tahun 1997 sampai 1999
pemerintah membuat program Jaring Pengaman Sosial (JPS) sebagai program
emergensi dalam rangka mengamankan (katup pengaman) masyarakat miskin dari
kerawanan sosial yang lebih parah. Dengan dilaksanakannya program-program
tersebut, diakui bahwa angka kemiskinan dapat diturunkan, namun tidak
menuntaskan akar ke-miskinan secara mendasar. Hal ini disebabkan karena
kebanyakan orientasi program-program tersebut cenderung bersifat politis, di
samping tumpang tindih, serta karikatif. Kecuali itu juga, mekanisme
perencanaan sampai kepada pelak-sanaan dan evaluasi masih bersifat top down
approach atau sentralize policy. Pendekatan ini menjadikan masyarakat terutama masyarakat
kecil dan miskin hanya sebagai obyek, mereka tidak dilibatkan secara aktif.
Sebagai akibatnya kebanyakan dalam pelaksanaannya tidak men-capai sasaran, serta
masyarakat tidak diber-dayakan, dan masyarakat dibentuk dalam pola
ketergantungan. Pada gilirannya masyarakat lebih banyak pasif, kurang
berinisiatif, dan me-miliki motivasi yang rendah, serta lambannya inovasi.
Setelah reformasi tahun 1998 yang meru-bah
tatanan pemerintahan dan politik dari cen-tralize policy atau sentralisasi
kebijakan pem-bangunan kepada decentralize policy. Para-digma pembangunan
mengalami perubahan pendekatan dari top down approach kepada bottom up
approach, masyarakat dijadikan subyek serta inti dalam proses pembangunan mulai
dari perencanaan sampai kepada eva-luasi.
Berkaitan dengan itu, tahun 2000-an
hingga kini pemerintah mencanangkan rogram-program pembangunan yang lebih
bersifat partisipatif (melibatkan stakeholders) seperti, Program Pe-ngembangan
Kecamatan (PPK),Program Pena-nggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP), Program masyarakat Mandiri, dll, dan beberapa
program lanjutan serta pengembangan dan reorientasi dari program-program tahun
1990-an dengan menempatkan semua program tersebut di bawah program payung,
yakni Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM). Di samping berbagai
program penanggulangan kemiskinan yang dilakukan pemerintah tersebut, juga
dilakukan oleh BUMN-BUMN, Swasta, dan LSM, melalui pemberian modal usaha,
maupun berbagai program pemberdayaan dan penguat-an kapasitas masyarakat.
b. Model Human Investment (Investasi SDM)
Telah dikemukakan bahwa kemiskinan dise-babkan
karena berbagai faktor, ada yang pe-ngaruhnya dominan atau utama ada yang hanya
sebagai faktor penunjang atau sekunder.
Jika kemiskinan lebih disebabkan karena faktor manusia sebagai individu
atau faktor fungsional, maka strategi
pendekatan yang digunakan adalah
mengubah aspek manusia sebagai individu atau warga masyarakat, dalam hal ini
manusia yang menjadi sasaran untuk diber-dayakan melalui peningkatan kapasitas
agar mereka mampu melakukan peningkatan pro-duksi melalui pengelolaan sumber
daya (sosial, ekonomi, politik) yang ada (Soetomo, 2008: 327).
Peningkatan kapasitas ini berkaitan
dengan peningkatan kualitas manusia melalui pendi-dikan dalam arti luas, baik
pendidikan formal maupun non formal. Pendidikan formal lebih ditujukan kepada anak-anak usia sekolah
dari keluarga miskin melalui bantuan fasilitas pen-didikan dan diberikan
kemudahan-kemudahan agar anak-anak keluarga miskin ini dapat ber-sekolah dengan
baik dan menamatkan pendi-dikan mereka pada jenjang tertentu, minimal dapat menyelesaikan studi mereka pada jenjang
SMA/SMU/SMK atau sederajat. Pendidikan non-formal ditujukan kepada individu
maupun kelom-pok orang miskin melalui kursus-kursus dan keterampilan (life
skill) agar mereka berdaya dan mampu bekerja secara mandiri untuk memenuhi
kebutuhan serta kelangsungan hidup mereka.
c. Model Pendekatan Struktur
Jika kemiskinan dipandang disebabkan karena struktur, maka struktur yang
menjadi sasaran perubahan. Perubahan struktur dimak-sudkan agar memungkinkan
masyarakat miskin mendapat peluang dan kesempatan memper-oleh akses untuk
berusaha meningkatkan taraf hidup mereka. Struktur yang dimaksud baik sosial,
ekonomi maupun politik. Perubahan struktur sosial dimaksudkan agar masyarakat
miskin dapat berinteraksi dengan sesama serta memperoleh kepercayaan diri dalam
mem-bangun kerjasama (networking) serta memak-simalkan sistem sumber yang ada sebagai modal sosial. Perubahan struktur
ekonomi di-maksudkan agar masyarakat miskin memper-oleh akses sumberdaya
ekonomi untuk mening-katkan produktivitas mereka. Perubahan struktur juga
dimaksudkan untuk merubah kelembagaan ekonomi yang menjadi menghalang agar ada
keseimbangan dalam produksi dan distribusi, serta menguasaan aset-aset ekonomi yang
lebih adil.
Dalam kaitan dengan perubahan struktur
ini, Long, seperti dikutip Soetomo (Soetomo, ibid : 328), menawarkan dua
pendekatan utama, yakni improvement approach dan transformation approach, yang
lebih diarahkan kepada mas-yarakat desa yang merupakan bagian terbesar dari
masyarakat miskin. Menurut Long, impro-vement approach adalah perubahan
struktur yang lebih efektif dan moderat, adalah mem-perbaiki cara pertanian
yang lebih baik melalui keterampilan teknis yang memadai agar para petani dan
nelayan miskin mampu peningkatan produksi mereka tanpa mengganggu dan me-rusak
sistem sosial tradisonal yang sudah ada. Dengan cara ini masyarakat miskin desa memi-liki
kapasitas dan ketahanan baik secara sosial-ekonomi maupun psikologis untuk
memperta-hankan eksistensi mereka, meningkatkan kese-jahteraan, serta menaikkan
status sosial dan martabat mereka. Sedangkan transformation approach,
dimaksudkan perubahan yang funda-mental dalam sistem pemilikan faktor-faktor
produksi atau resurces terutama tanah yang dikuasai oleh tuan tanah dan kaum
borjuis desa, termasuk kelembagaan yang mendukungnya.
d. Model Pendekatan Kultural
Kemiskinan yang disebabkan karena faktor
budaya atau yang sering disebut kemiskinan kultural, adalah kemiskinan yang
bersumber dari latar belakang budaya masyarakat yang bersa-ngkutan. Latar
belakang tersebut dapat berupa pandangan hudup (world view), sikap, serta
nilai-nilai yang dianut. Seperti misalnya, yang berkaitan dengan pandangan
hidup, masyarakat yang bersangkutan menganggap bahwa hidup ini tidak perlu
mengejar kekayaan yang ber-lebihan karena pada akhirnya lenyap juga, oleh
karena itu tidak perlu bersusah payah bekerja keras untuk memperoleh kekayaan
untuk kese-jeteraan hidup. Pandangan seperti ini membuat masyarakat
bersangkutan berusaha secukupnya demi menyambung kebutuhan hidup mereka setiap
hari.
Pandangan lain menganggap kemiskinan atau
hidup miskin itu sudah takdir, oleh sebab itu tidak perlu bersusah payah karena
sudah nasib. Sehingga kalau pun berusaha dengan sekuat tenaga, hidup akan tetap
saja miskin. Pandangan seperti ini membuat orang atau masyarakat yang
bersangkutan selalu pasrah terhadap keadaan. Pandang ini lebih dikenal dengan
sikap fatalisitik, yang membuat masya-rakat bersangkutan apatis, tidak memiliki
sema-ngat kerja, tidak memiliki pengharapan ke depan, tidak ada kemauan untuk
merubah dera-jad kehidupan mereka.
Ada juga pandangan dalam masyarakat ter-tentu
bahwa hidup miskin atau kemiskinan itu sesuatu yang baik, sebagai nilai
kebajikan. Pan-dangan ini cenderung menekankan kesucian, kesederhaan atau
kebersahajaan, sebagai ben-tuk kesalehan hidup yang harus dipertahankan sebagai
sesuatu yang utama dan penting. Hidup kaya dan berkecukupan atau sejahtera
diang-gap sebagai ketidaksucian, ketidaksalehan, dan ketidak-bajikan. Pandangan
ini yang membuat orang atau masyarakat yang bersangkutan tidak mau merubah
status kehidupan mereka yang tetap miskin, malah dengan dipertahankan sta-tus
itu membuat mereka semakin bangga dan mengaggap
hidup mereka semakin mulia. Pan-dangan
tersebut telah terbentuk sebagai suatu sistem nilai yang melembaga sehingga
sulit untuk merubahnya. Jika sistem budaya demi-kian yang membuat masyarakat
yang bersa-ngkutan tetap miskin, maka yang harus dirubah lebih awal adalah
pandangan mereka yang telah tertanam sebagai sistem nilai. Untuk merubah
pandangan itu maka salah satu sarana yang paling efektif adalah pendidikan
sebagai strategi kebuda-yaan.
Memang untuk merubah pandangan yang telah
tertanam sebagai sistem membutuhkan waktu, namun melalui pendidikan yang teren-cana
dengan baik maka nilai-nilai yang meru-pakan penghambat dalam pandangan
tersebut yang membuat orang atau masyarakat tidak dapat keluar dari kemiskinan
mereka, akan dirubah dengan pandangan tentang nilai-nilai kemajuan dan prestasi
yang perlu diusahakan melalui kerja dan perencanaan hidup yang terarah.
Penutup
Beberapa pendekatan yang dikemukakan di
atas tidak berasumsi bahwa kemiskinan tidak hanya disebabkan karena satu aspek,
tetapi kemiskinan disebabkan juga karena berbagai aspek, serta memiliki banyak dimensi yang ber-kaitan dan saling
mempengaruhi. Oleh karena itu pendekatan dalam
menanggulangi kemis-kinan tidak hanya bisa dilakukan dari satu aspek
secara parsial tetapi mesti dilakukan secara holistik dan terintegrasi.
Walaupun begitu kemis-kinan memang dapat juga disebabkan karena salah satu
aspek yang dominan dari aspek lainnya, sehingga pendekatan pun dapat dilaku-kan
terfokus pada satu aspek saja, namun aspek lain pun tidak mesti diabaikan sama
sekali di dalam analisis secara anatomis mau-pun dalam upaya penanggulangannya.
Kemam-puan dan ketepatan menganatomi kemiskinan akan sangat membantu menentukan
pendeka-tan yang tepat dalam menanggulangi akar pe-nyebab kemiskinan.
Di samping itu komitmen yang kuat dari pe-nentu
kebijakan melalui keputusan-keputusan politik dan penganggaran (budgeting) yang
ber-pihak kepada orang miskin (budgeting pro-poor), serta regulasi yang adil baik
dalam bidang eko-nomi, politik, sosial, hukum, dan budaya, pene-gakan hukum
secara konsisten (low inforce-ment) terhadap korupsi dan kolusi, akan meng-eleminir kesenjangan dan
ketidakseimbangan struktur yang menyebabkan kemiskinan. Maka komitmen negara
untuk memberantas kemis-kinan melalui keikutsertaan dalam deklarasi Millenium
Development Goal’s akan terwujud, yang
juga adalah amanat Konstitusi (Undang-Undang Dasar 1945).
Referensi
Arief, Sritua dan Adi Sasono, Ketergantungan dan Keterbelakangan,
Sinar Harapan kerjasama dengan Lembaga Studi Pembangunan, (edisi ke-2), Jakarta, 1984.
Baswir,
Revrisond, Agenda Ekonomi Kerakyatan,
Pustaka Pelajar kerjasama dengan IDEA, Yogyakarta, 1997.
Combs, Philip H. &
Manzoor Ahmed, Memerangi
Kemiskinan di Pedesaan Melalui Pendidikan Formal, Publikasi Bank Dunia–CV
Rajawali, (cet.ke-2), Jakarta, 1985.
Fakih, Mansour, Runtuhnya
Teori Pembangunan dan Globalisasi, INSIST PRESS kerjasama dengan Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, 2002.
Mubyarto, Reformasi
Sistem Ekonomi: Dari Kapita-lisme menuju Ekonomi Kerakyatan, Aditya Media,
Yogyakarta, (edisi.ke-2),1999.
Rusli, Said dkk, Metodologi
Identifikasi Golongan dan Daerah Miskin, Suatu Tinjauan dan Alternatif, IPB
– Bogor kerjasama dengan PT Grasindo, Jakarta, 1995.
Remi, Soemitro & Prijino Tjiptoherijanto, Kemis-kinan dan Ketidakmerataan di Indonesia,
(edisi Indonesia – Inggris), Rineka Cipta, Jakarta, 2002.
Sumardi, Mulyanto & Hans-Dieter Evers (ed.), Kemiskinan
dan Kebutuhan Pokok, Raja-wali,
(cet.ke-2) Jakarta, 1985.
Soetrisno, Loekman, Kemiskinan,
Perempuan, dan Pemberdayaan, Kanisius, Yogyakarta, 1997.
_______________________, Membangun Pereko-nomian Rakyat, Pustaka Pelajar kerjasama dengan
IDEA, 1998.
Supriatna, Tjahya, Strategi
Pembangunan dan Kemiskinan, Rineka Cipta, Jakarta, 2000.
Saefuddin, Asep, dkk (Tim Crescent), Menuju Mas-yarakat Mandiri, Pengembangan Model Sistem Keterjaminan
Sosial, Gramedia Pus-taka utama,
Jakarta, 2003.
Sumawinata, Sarbini, Politik
Ekonomi Kerakyatan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2004.
Soetomo, Masalah
Sosial dan Upaya Pemecahan-nya, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2008.
Sumodiningrat, Gunawan, Mewujudkan Kesejah-teraan Bangsa, PT Alex
Media Komputindo, Jakarta, 2009.
Yustika, Ahmad Ereni,
Negara vs Kaum Miskin, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar