PERENCANAAN PEMBANGUNAN WILAYAH
BERBASIS MASYARAKAT KEPULAUAN
(Sebuah Gagasan Awal)
Oleh : Max Maswekan
Dosen FISIP UKIM - Ambon
Abstract
R
|
eformation has risen up the change of governmental order fundamentally and had changed the paradigm of development planning from sentralize to decentralize policy marked by the presence of regulation, number 22 the year of 1999 and later then it had been innovated with regulation number 32 the year of 2004 about local government. The change of governmental order that mentioned above, then has reoriented the developmental approach based on top down to bottom up approach from continental sectoral approach to regional approach. Moluccas Province is an islands area with the sum of big and small islands for about 632 islands, which has potential natural resources both maritime and land, and the variety of socio-cultural potency as the important and strategic social capital. Although it has the important and potential natural and social resources, nevertheless the poor people in the Moluccas Province is still significant until now perhaps more than 59 %. The question is : where the fouls is ? This an important question related to the model of developmental planning that be followed and applied, has it proper (true) or not ? According to condition and characteristic of all area in the Moluccas Province ? As the islands region, Moluccas must be more compatible to adopt the paradigm of region develop-ment planning because more fitt in with its geographical characteristic paradigm of this region development planning at its nucleus, core is planning approach owning excellence, because owning ability conduct the regional condition mapping according to potency and excellence special and also able to predict the possibilities of the change preference to be happened in the matter of reference to growth either trough internal and also external. The paradigm philosophy of this region development planning intrinsically is democratic planning, participatoric, eman-cipatoric, comprehensive, integrative, transformative, liberative, innovative, creative, dynamic, complementary, symbiosic-mutualistic, anthropocentric, sustainability, anticipative, and adaptive, equity, humanist and also have ethics with its ending goal is prosperity of human being fairly and latten as promus interparis subject. In short, paradigm of development planning base on the region is wise and wise development planning.
Key words : development, planning, regional, spatial, comprehensive, itegrative, Transformative, equity, liberation, and sustainability.
Pendahuluan
M
|
aluku adalah salah satu dari delapan pro-vinsi yang melahirkan NKRI. Selain memi-liki andil bagi lahirnya negara ini, Maluku adalah wilayah yang memiliki potensi sumber daya alam yang sangat potensial, serta seba-gai wilayah kepulauan yang luas lautannya lebih dari 90%. Secara astronomis luas wila-yah Provinsi Maluku adalah 712. 497,69 km2 yang terdiri dari 658.294.69 km2 lautan dan 54,85 km2 daratan. Sebagai daerah kepu-lauan, jum-lah pulau besar dan kecil sebanyak 632, dengan pulau terbesar adalah pulau Seram (18.625 km2), pulau Buru (9.000 km2), pulau Yamdena (5.085 km2), dan pulau Wetar (3,624km2). Di pulau-pulau ini terdapat empat gunung, sebelas danau dan 113 sungai besar dan kecil. Karena daerah Maluku merupakan daerah kepulauan dan dikelilingi oleh lautan yang luas, maka iklim di daerah ini sangat dipengaruhi oleh lautan yang luas dan berla-ngsung seirama dengan iklim musiman.
Dengan luas wilayah yang besar itu, Ma-luku memiliki sumber daya yang sangat po-tensial baik daratan maupun lautan. Potensi hutan mencakup hutan konvesi seluas 13.496 km2 (23,8 %), hutan produksi tetap terbatas seluas 5.777 km2 (10.2 %), hutan produksi terbatas seluas 13.496 km2 (16.8 %), hutan lindung seluas 12.449 km2, dan untuk peng-gunaan lain seluas 15.468 km2.
Potensi pertanian meliputi, tanah perta-nian seluas 2.833.289 ha, tanah perkebunan seluas 143.489 ha, lahan kering seluas 483.836 ha. Lahan yang telah diinventarisasi untuk usaha tani tanaman pangan sebesar 9.204 ha. Lahan kering yang sudah dikem-bangkan seluas 17.539 ha (3.6 %) untuk komoditi padi, padi gogo, pala wija, jagung dan ubi kayu. Sedangkan lahan potensial untuk jenis sayuran dan buah-buahan seluas 366.925 ha. Tanah perkebunan seluas 143.489 ha.
Sementara potensi laut Provinsi Maluku baik ikan maupun non-ikan sangat kaya. Potensi perikanan terbesar terdapat di laut Banda dengan ketersediaan potensi sebanyak 208.588 ton, dan potensi lestari sebanyak 104.209 ton per tahun. Serta di laut Arafura yang ketersediaan potensi sebanyak 101.540 ton, dan potensi lestari sebanyak 50.770 ton per tahun. Pada kawasan laut terbatas ter-dapat penyebaran ikan berbagai spesis yang menjadi tumpuan ekonomi perikanan rakyat di samping berbagai potensi komoditas non ikan (Propeda Maluku:Tahun 2001-2005).
Jumlah penduduk Provinsi Maluku berda-sarkan laporan Pelaksanaan P4B sampai dengan bulan Agustus 2003 tercatat sebanyak 1.277.414 jiwa. Jumlah ini mendiami wilayah seluas 54.185 km2 dengan kepadatan pen-duduk 23 orang per km persegi.
Persebaran penduduk di Provinsi Maluku tidak merata, di mana Maluku Tengah pro-sentase penduduknya tercatat lebih tinggi dibanding dengan kabupaten yang lain, yaitu 43.15 %, sementara Kabupaten Buru hanya mencapai 10,63 %. Namun untuk Kota Ambon, angka kepadatannya cukup tinggi yaitu mencapai 619 km2. Laju pertumbuhan penduduk dengan angka pertumbuhan mengi-kuti tahun 2002 sebesar 2,9 %, sedangkan rasio jenis kelamin (sex ratio) sesuai sensus penduduk tahun 2002 mencapai 1,39 di mana penduduk laki-laki lebih banyak dari penduduk perempuan. Sementara penduduk yang ter-golong tidak produktif (10 tahun ke atas) sebanyak 76.56 % di mana sebanyak 56.93 % bekerja, dan 8,43 % sedang mencari peker-jaan atau pengangguran terbuka (open un-ployment).
Bila dikategorikan per lapangan atau sek-tor pekerjaan, yang termasuk bekerja pada bidang pertanian mencapai 47.46 % atau yang terbesar disusul bidang perdagangan dan jasa sebesar 36.13 %. Sedangkan sisanya yaitu sebesar 16,43 % tersebar dalam sektor-sektor lain.
Dari gambaran garis besar kondisi wilayah serta potensi sumber daya di atas, maka dapatlah dibayangkan betapa kekayaan alam yang dimiliki Provinsi Maluku ini, yang belum didayagunakan secara optimal demi kesejah-teraan masyarakat Maluku. Cukup ironis, bah-wa dengan potensi alam yang begitu kaya, namun jumlah penduduk miskin di Maluku masih cukup besar, yakni lebih dari 59 %.
Jumlah penduduk miskin itu tidak bergeser secara berarti sebelum konflik melanda dae-rah Maluku bertajuk seribu pulau ini. Fasilitas infrastruktur masih sangat terbatas, keteriso-lasian wilayah terpencil akibat sarana dan prasarana transportasi yang belum menjang-kau wilayah-wilayah terpencil. Menjadi perta-nyaan : di mana letak kesalahannya, apakah salah urus, atau perencanaannya yang belum tepat ?
Sejak pemerintahan Orde Baru, seluruh kebijakan dan perencanaan pembangunan bersifat “sentralistik” (centralize policy), dan daerah-daerah adalah lahan implementasi dari kebijakan dan perencanaan pembangun-an tersebut.
Provinsi Maluku sebetulnya telah mengem-bangkan perencanaan pembangunan yang berbeda dengan perencanaan yang dianut pemerintah secara nasional sebelum refor-masi, yakni perencanaan pembangunan gugus pulau dan laut pulau yang pada hakekatnya adalah “perencanaan pembangunan kewila-yahan”.
Konsep perencaaan ini sesungguhnya me-miliki keunggulan model, karena sesuai de-ngan karakteristik wilayah kepulauan, juga memiliki keuntungan dari aspek efisiensi dan efektifitas dalam pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kemasyarakatan. Walaupun demikian imple-mentasi model perencanaan pembangunan ini masih cenderung berorientasi sektoral, yang mengakibatkan masih saja terjadi disparitas dan kesenjangan antar wilayah serta lam-bannya kemajuan untuk mewujudkan kese-jahteraan masyarakat secara merata.
Masyarakat Maluku adalah masyarakat yang mendiami kepulauan atau pulau-pulau dengan karakteristik yang khas. Di samping memiliki potensi sumber daya alam yang besar serta sumber daya manusia, Maluku juga memiliki potensi sumber daya sosio-kultural (sistem nilai) yang beraneka ragam sebagai kekuatan (social capital), yang dapat menggerakan proses-proses sosial dan politik serta pembangunan. Sistem nilai yang dimiliki ini pun belum dikelola secara baik dan opti-mal untuk mendorong proses-proses sosial politik dan pembangunan di Maluku.
Metode Penulisan
Penulisan ini menggunakan metode lib-rary research (studi pustaka), yang mengkaji literatur secara selektif dan relevan dengan substansi materi penulisan. Analisis menggu-nakan metode deskriptif-kualitatif.
Tujuan Penulisan
Tulisan ini bertujuan untuk :
· Mencoba mengkaji secara teoritis peru-bahan paradigma perencanaan pemba-ngunan dari model pendekatan yang sen-tralistik kepada desentralistik, dari pende-katan sektoral dan kontinental kepada pendekatan kewilayahan;
· Mencoba mengemukakan keunggulan pa-radigma pendekatan kewilayahan sebagai model pendekatan perencanaan pemba-ngunan yang komprehensif, integratif, partisipatoris, demokratis serta emansi-patoris.
Rujukan Teori
Perencanaan memiliki arti dan makna yang sangat penting dan strategis bagi suatu ne-gara, baik itu negara yang telah maju ataupun negara yang masih berkembang. Bahkan tidak dapat disangkal bahwa negara yang maju adalah negara yang memiliki perencanaan yang baik. Sebaliknya negara yang tidak maju atau kemajuannya lamban, bisa dipastikan karena perencanaannya yang kurang baik. Hal ini tentu dapat dibuktikan secara empiris, bahwa ada banyak negara yang dapat ber-kembang dan maju menjadi negara modern dalam jangka waktu tertentu yang direncana-kan, sementara ada negara yang dalam waktu bersamaan justru mengalami perkembangan yang lambat, bahkan tidak jarang mengalami kegagalan dengan perencanaannya sendiri. Indonesia adalah contoh yang sangat baik jika dibandingkan dengan beberapa negara Asia yang memiliki latar belakang historis yang hampir sama, seperti Jepang, India, Malaysia, Singapura, dan belakangan Vietnam. Namun negara-negara tersebut telah memiliki kema-juan yang cukup pesat jika dibandingkan dengan Indonesia walaupun memiliki potensi sumber daya alam yang jauh melebihi negera-negara tersebut.
Berdasarkan kenyataan seperti itu, maka para ahlipun berpendapat bahwa perenanaan memiliki arti yang sangat penting dan stra-tegis dalam usaha-usaha atau kegiatan pem-bangunan suatu bangsa yang direncanakan secara baik dan konsisten. Dalam kaitan itu Widjojo Nitisastro, misalnya mengatakan bahwa “salah satu kegiatan penting dalam suatu usaha pembangunan berencana adalah perencanaan pembangunan yang baik” (Bin-toro Tjokroamijdojo, 1994:13).
Demikian pentingnya perencanaan dalam pembangunan tersebut, maka beberapa ahli merumuskan konsep-konsep perencanaan se-cara komplementer dan komprehensif di ba-wah ini, sbb :
Perencanaan dalam arti seluas-luasnya tidak lain adalah suatu proses mempersiapkan secara sistematis kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan untuk mencapai suatu tujuan ter-tentu. Perencanaan adalah juga suatu cara bagaimana mencapai tujuan sebaiknya (maxi-mum output) dengan sumber-sumber yang ada supaya lebih efisien dan efektif. Albert Waterston, menyebutkan perencanaan pem-bangunan adalah melihat ke depan dengan mengambil pilihan berbagai alternatif dari kegiatan untuk mencapai tujuan masa depan tersebut dengan terus mengikuti agar pelak-sanaannya tidak menyimpang dari tujuan. Perencanaan pembangunan adalah suatu pe-ngarahan penggunaan sumber-sumber pem-bangunan (termasuk sumber-sumber ekono-mi) yang terbatas adanya untuk mencapai tujuan-tujuan keadaan sosial ekonomi yang lebih baik secara lebih efisien dan efektif (Bintoro, 1994:12). Perencanaan juga, ada-lah mengetahui dan menganalisis kondisi saat ini, meramalkan perkembangan berbagai fak-tor non-controllable yang relevan, memper-kirakan faktor-faktor pembatas, menetapkan tujuan dan sasaran yang diperkirakan dapat dicapai, serta mencari langkah-langkah untuk mencapai tujuan tersebut. Sedangkan peren-canaan menurut Friedman dalam Glasson, adalah : “planning is primarily a way of thi-nging about social and economic problems, planning is oriented predominantly toward the future, is deeply concerned with the relation of goals to collective decisions and strives for comprehensivenss in policy an program (Robinson Tarigan, 2004 : 3-4). Di samping rumusan di atas, beberapa rumusan konsep perencanaan dapat dikemukakan pula, sbb :
Pada hakekatnya perencanaan adalah usa-ha yang secara sadar terorganisasi dan terus-menerus dilakukan guna memilih alternatif yang terbaik dari sejumlah alternatif untuk mencapai tujuan tertentu. Apapun yang ter-lintas di benak kita, manakala kita membica-rakan perencanaan kiranya tidak terlepas dari kaitan persoalan pengambilan keputusan. Im-plikasinya, adalah pasti ada cara yang lebih baik dalam hal pengambilan keputusan ter-sebut, mungkin dengan cara lebih memper-hatikan lebih banyak data yang ada, ataupun hasil-hasil yang mungkin dicapai di masa yang akan datang (Diana Conyers, 1992:4).
Dari beberapa rumusan konsep perenca-naan pembangunan secara umum tersebut, maka pembangunan daerah pun memiliki ka-rakteristik perencanaan tertentu. Kalau pada waktu lalu, perencanaan pembangunan di Indonesia lebih berorientasi sentralistik de-ngan pendekatan top down (top down appro-ach), serta lebih menonjolkan aspek sektoral yang tidak jarang melahirkan program-pro-gram dan kegiatan pembangunan yang cen-derung ego sektoral. Dan hampir seluruh pe-rencanaan pembangunan cenderung berci-rikan kontinental yang cukup kuat dan meng-abaikan karakteristik wilayah-wilayah yang memiliki lautan yang dominan. Maka setelah reformasi, reorientasi perencanaan pemba-gunan bergeser dari sentralistik ke perenca-naan pembangunan yang lebih berorientasi kewilayahan sesuai karakteristik masing-ma-sing wilayah dengan disertai pemberian kewe-nangan yang lebih besar kepada daerah untuk berperan secara aktif merumuskan kebijakan-kebijakan pembangunan daerahnya sendiri. Hal ini ditandai dengan lahirnya undang-un-dang nomor 22 Tahun 1999 tentang Peme-rintahan Daerah, yang kemudian diperbaharui dengan undang-undang no. 32 Tahun 2004.
Dalam kaitan itu, maka perencanaan pem-bangunan kewilayahan memiliki arti yang pen-ting dan strategis dalam rangka merumuskan kebijakan-kebijakan yang bertujuan untuk me-ningkatkan kesejahteraan masyarakat di wila-yah tersebut, dengan menggali dan memak-simalkan potensi daerah yang bersangkutan. Dalam kerangka itu para ahli merumuskan beberapa konsep perencanaan pembangunan wilayah di bawah ini, sbb :
Perencanaan pembangunan wilayah ada-lah suatu proses menyusun tahapan-tahapan kegiatan yang melibatkan berbagai unsur di dalamnya, guna memanfaatkan dan meng-alokasikan sumber-sumber daya yang ada da-lam rangka meningkatkan kesejahteraan so-sial dalam suatu lingkungan wilayah dalam jangka waktu tertentu. Afandi Anwar dan Setia Hadi, merumuskan perencanaan pem-bangunan wilayah diartikan sebagai suatu proses tahapan pengarahan kegiatan pem-bangunan di suatu wilayah tertentu yang me-libatkan interaksi antara sumber daya manusia dengan sumber daya lain, termasuk sumber daya alam dan lingkungan melalui investasi.
Perencanaan wilayah adalah mengetahui dan menganalisis kondisi saat ini, meramalkan perkembangan berbagai faktor noncomtro-llable yang relevan, memperkirakan faktor-faktor pembatas, menetapkan tujuan dan sa-saran yang diperkirakan dapat dicapai, mene-tapkan langkah-langkah untuk mencapai tu-juan tersebut, serta menetapkan lokasi di berbagai kegiatan yang akan dilaksanakan untuk mencapai tujuan atau sasaran tersebut (Robinson Tarigan, 2004 : 3).
Janssen,merekomendasikan bahwa peren-canaan pembangunan daerah harus memper-hatikan hal-hal yang bersifat kompleks, sehi-ngga prosesnya harus memperhitungkan ke-mampuan sumber daya yang ada, baik sum-ber daya manusia, sumber daya fisik, sumber daya alam, keuangan serta sumber-sumber daya lainnya. Dalam konteks ini ia menyebut-nya dengan istilah pembangunan endogen, atau dengan kata lain pambangunan yang berbasis potensi. Lebih jauh dikatakan, peren-canaan yang mempertimbangkan kondisi spa-sial suatu daerah juga menjadi hal penting dalam proses perencanaan pembangunan daerah. Pembangunan daerah akan menca-kup suatu ruang tertentu, sehingga diperlukan adanya suatu penataan ruang yang efektif. Tata ruang akan mempengaruhi proses pem-bangunan beserta implikasinya (Riyadi & Deddy Supriady Bratakusumah, 2003: 8).
Reorientasi Paradigma Perencanaan Pembangunan dan Keunggulannya
Sejak perubahan paradigma pembangunan di masa lalu dari centralize policy oriented atau production–centered development yang lebih menekankan top down approach kepada decentralized policy orientted yang lebih me-nekankan botton up approach, maka per-geseran paradigma pembangunan ini telah memberikan peluang dan ruang yang besar kepada paradigma perencanaan pembangu- nan yang menekankan upaya-upaya local people creating; artinya bahwa potensi kreatif masyarakat lokal lebih digali dan diberdayakan (empowering), sehingga pola ketergantungan masyarakat dalam proses perencanaan dan implementasi pembangunan perlahan-lahan dielemenir dan diarahkan kepada people-cen-tered development, yang melahirkan manaja-men perencanaan pembangunan baru yang dikenal dengan community-based recourced management atau pengelolaan sumber daya lokal (Moeljarto Tjokrowinoto, 1996: 216 - 228).
Reorientasi paradigma perencanaan pem- bangunan tersebut, sesungguhnya memiliki kedekatan atau relevansi yang sangat signi-fikan dengan karakteristik daerah-daerah yang memiliki wilayah kepulauan. Mengapa, karena dearah-daerah yang memiliki wilayah kepulau-an, karakteristik masing-masing wilayah me-miliki spesifikasinya masing-masing, sehingga jika paradigma perencanaan centralize policy oriented diterapkan maka tidak akan efisien dan efektif, malah cenderung meninggalkan dampak ketergantungan berkelanjutan yang mematikan kreativitas potensi masyarakat lokal.
Oleh karena itu, dengan reorientasi para-digma perencanaan pembangunan tersebut, maka daerah-daerah yang memiliki wilayah kepulauan dapat mengembangkan pola dan model perencanaan pembangunannya sesuai karakteristik wilayahnya. Beberapa keunggul-an dari paradigma perencanaan pembangun-an yang memiliki decentralize policy develop-ment, adalah :
● Daerah-daerah yang memiliki wilayah ke-pulauan, memiliki keragaman potensi yang kaya baik di darat maupun di laut;
● Memiliki potensi lokal dan keunggulan spasial (ruang) yang berbeda, namun dapat dikembangkan pola dan model perencanaan yang komplementer secara integratif dan komprehensif; sehingga tercipta local base needs masing-masing wilayah secara simbiosis-mutualistik antar satu wilayah dengan wilayah lain, baik secara internal dalam daerah maupun berdampak positif secara eksternal dengan wilayah-wilayah luar daerah lain;
● Sumber daya sosial (social capital) dapat diberdayakan untuk menggali dan meni-ngkatkan secara optimal sumber daya alam (economic capital) demi meningkat-an kesejahteraan masyarakat wilayah yang bersangkutan; yang pada gilirannya menciptakan kemandirian dan kreativitas serta dinamika masyarakat wilayah itu (local creative community), yang kemu-dian meningkatkan harga diri (dignity) dan percaya diri (self confident) masya-rakat di masing-masing wilayah itu;
● Mengeleminir pendekatan perencanaan dan implementasi program serta kegiatan-ke-giatan pembangunan yang melahirkan ego-sektoral, karena perencanaan pemba-ngunan dengan pendekatan kewilayahan dilakukan berdasarkan potensi lokal dan keunggulan spasial wilayah masing-ma-sing, sehingga dapat menekan unefisiensi dari segi finansial maupun kecenderungan penyimpangan; yang memungkinkan efek-tivitas pelaksanaan pembangunan yang menghasilkan output dan outcome demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat wilayah secara simultan;
● Mengeleminir disparitas (kesenjangan) an-tar wilayah, yang berpotensi menimbul-kan kecemburuan dan kerentanan dari aspek sosial, ekonomi, budaya dan kea-manan, yang berpotensi melahirkan kon-flik antar wilayah, dan atau meminimali-sasi prejudize yang menyimpan potensi konflik laten, yang dapat saja muncul dalam berbagai manifestasi;
● Dengan paradigma perencanaan pemba-ngunan ini, terbuka ruang yang luas untuk memungkinkan terjadinya proses belajar sosial (learning social process) bagi warga masyarakat di wilayahnya secara lebih dewasa, sehingga tercipta kemandirian masyarakat (self-riliant communities ba-sed), serta percaya diri (self confident);
● Dengan proses belajar sosial itu, akan me-mungkinkan terciptanya kemampuan indi-vidu maupun komunitas masyarakat lokal mengorganisir potensi sumber daya untuk berpartisipasi secara aktif dalam proses pembangunan secara demokratis dan de-wasa, atas dasar kesadaran tentang arti penting dan tujuan dari pembangunan yang direncanakan dan diputuskan oleh masyarakat lokal/wilayah itu sendiri. Dan dengan sendirinya rasa ikut memiliki (sense of belonging) serta rasa tanggung jawab akan semakin tinggi terhadap hasil-hasil pembangunan yang dicapai. Masya-rakat akan semakin mampu menggali dan mengembangkan pengelolaan sumber daya lokal (community base recources management) secara mandiri dan dewasa; maka ending point tujuan pembangunan yang hakiki, yakni kesejahteraan masya-rakat secara merata dan berkeadilan (the walfare, equity and justice) dapat terwu-jud secara bermakna dan berkelanjutan (meaningfull of sustainability);
● Kelembagaan tradisional dapat diberdaya-kan untuk berpartisipasi secara aktif dan positif dalam proses pembangunan secara integratif dan komprehensif. Di sini memu-ngkinkan program dan kegiatan interve-ning pembangunan dapat berlangsung secara koordinatif antar kelembagaan pemerintah daerah dengan kekuatan-ke-kuatan sosial masyarakat secara sinergis (sinergic collectifity). Dengan begitu pe-rencanaan pembagunan akan memiliki daya dorong yang besar (the power of social change) untuk menggerakkan pro-ses perubahan sosial yang terencana dan terarah secara cepat (rapid social change);
● Dengan begitu akan tumbuh suatu pe-merintahan wilayah yang kuat yang ber-cirikan sivil society, yakni pembangunan wilayah yang demokratis, partisipatoris, mandiri, dewasa, patnership, equity, social justice, beradab dan bermartabat, sebagai wujud dari good government and clien governance yang sesungguhnya;
● Paradigma perencanaan pembangunan wi-layah mengeleminir perencanaan suatu program atau kegiatan pada suatu sektor tertentu yang saling overleping, dan mam-pu memprediksi perubahan atau dinamika masyarakat yang berkembang serta sek-tor-sektor lain yang dapat mempengaruhi kecenderungan perubahan struktur ruang wilayah tertentu;
● Semua akses akan terbuka yang dapat menghilangkan keterisolasian satu wilayah (gugus pulau) dengan wilayah lain, se-hingga menciptakan stabilitas sosial dan ekonomi untuk berkembang dengan dina-mis dan produktif;
● Tumbuhnya demokratisasi terutama di-namika politik lokal yang semakin dewasa bagi tatanan pemerintahan yang memung-kinkan tumbuhnya pemerintahan yang baik, sehingga rakyat tercerahkan dari kungkungan bentuk-bentuk mobilisasi po-litik yang mengebiri hak-hak asasi politik masyarakat lokal.
Berbagai Pendekatan Di Dalam Perenca-naan Pembangunan
Suatu perencaanan pembangunan mesti memperhatikan kondisi dari wilayah yang bersangkutan. Oleh sebab itu kondisi suatu wilayah mesti diketahui dengan baik dengan menggunakan metode analisis yang tepat. Sudah pasti bahwa kondisi suatu wilayah akan berbeda dari wilayah lain dengan ka-rakteristik yang dimilikinya. Secara umum ada wilayah daratan atau kontinental dan wilayah yang terdiri dari pulau-pulau baik besar dan kecil, atau yang lazim disebut wilayah kepu-lauan dengan tingkat prosentase besar laut dan darat yang berbeda.
Perbedaan kondisi dan karakteristik wila-yah dari suatu daerah tersebut akan sangat berpengaruh terhadap bentuk-bentuk dan jenis perencanaan yang akan dibuat. Oleh karena itu dibutuhkan pendekatan yang tepat dalam perencanaan pembangunan wilayah itu, sehingga tujuan-tujuan dan sasaran pembangunan dapat tercapai de-ngan baik tanpa menimbulkan dampak-dam-pak sampingan yang berarti.
Cukup lama pembangunan di Indonesia cenderung mengadopsi perencanaan pemba-ngunan mengikuti negara-negara modern continental dan sentralistik dengan sasaran utama meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Walaupun pendekatan pembangunan itu berhasil meningkatkan partumbuhan ekono-mi dan modernisasi selama kurang lebih dua dekade, namun di sisi lain tidak berhasil me-wujudkan pemerataan, serta tidak meletak-kan fondasi pembangunan (fundamental ekonomi) yang kuat; malah sebaliknya me-rapuhkan sendi-sendi kehidupan ekonomi nasional. Hal ini disebabkan karena orientasi pertumbuhan ekonomi lebih cenderung me-nekankan aspek makro-ekonomi, sementa-ra mikro-ekonomi diabaikan. Kondisi ini kemudian melahirkan krisis ekonomi pada pertengahan 1997, yang kemudian meram-bat menjadi krisis multidimensi yang nyaris melumpuhkan seluruh sendi-sendi kehidu-pan bangsa kurang lebih enam tahun lalu sejak krisis melanda Negara Indonesia ter-sebut.
Bersamaan dengan itu tuntutan dan desakan untuk seluruh tatanan kehidupan bangsa perlu diperbaiki, maka lahirlah gera-kan-gerakan reformasi yang diawali pada pertengahan tahun 1998 yang ditandai de-ngan jatuhnya rezim pemerintahan orde baru.
Salah satu bentuk reformasi yang sangat fundamental dalam sejarah kehidupan keta-tanegaraan Indonesia sebagaimana telah disebutkan ialah lahirnya undang-undang nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerinatah Daerah yang kemudian direvisi menjadi undang-undang nomor 32 Tahun 2004 yang merubah paradigma pemerintahan sentra-listik kepada desentralistik. Jiwa undang-undang ini adalah memberikan hak dan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri uru-san pemerintahan dan kepentingan masya-rakat dalam bingkai NKRI.
Dengan perubahan paradigma peme-rintahan itu, maka pola-pola dan kebijakan pembangunan yang selama itu bersifat top down approach serta sektoral diganti de-ngan pola dan kebijakan yang lebih bersifat botton up serta pendekatan kewilayahan. Pendekatan kewilayahan ini membuka ruang yang luas kepada daerah-daerah yang memiliki karakteristik wilayah kepulauan untuk mendesain perencanaan dan imple-mentasi pembangunan yang cocok dengan kondisi wilayahnya. Unsur utama perenca-naan pembangunan kewilayahan adalah tata ruang. Tanpa meletakkan tata ruang maka perencanaan wilayah tersebut bukanlah perencanaan wilayah bagi daerah yang me-miliki karakteristik wilayah kepulauan. Oleh sebab itu tata ruang wilayah adalah lan-dasan (fundamen) dan sekaligus sasaran dari perencanaan pembangunan wilayah (Robinson Tarigan, hal. 29).
Dalam kerangka itu perencanaan wilayah menurut Robinson Tarigan, adalah peren-canaan penggunaan ruang wilayah dan pe-rencanaan aktivitas pada ruang wilayah. Di dalam perencanaan pembangunan wilayah sering digunakan dua pendekatan baik secara terpisah maupun secara bersamaan, yakni pendekatan sektoral dan pendekatan regional (wilayah). Pendekatan sektoral ada-lah pendekatan di mana seluruh kegiatan pembangunan di dalam wilayah perencanaan dikelompokkan atas sektor-sektor. Selanjut-nya setiap sektor di-analisis satu per satu. Setiap sektor dilihat potensi dan peluangnya, menetapkan apa yang dapat ditingkatkan dan di mana lokasi dari kegiatan peningkatan tersebut. Caranya adalah masing-masing sektor dibreak-down sehingga terdapat sek-tor yang bersifat homogen (Tarigan, hal.30- 32).
Namun pendekatan sektoral ini memiliki kelemahan (di samping kelebihannya) yang cukup besar dalam perencanaan pemba-ngunan suatu daerah yang memiliki karak-teristik wilayah kepulauan. Salah satu kele-mahannya yang mendasar adalah pende-katan ini kurang mampu melihat adanya kemungkinan tumpang tindih (overlapping) dalam penggunaan lahan, juga tidak mampu melihat perubahan struktur ruang yang mungkin terjadi sebagai akibat dilaksanakan-nya rencana sektoral tersebut (Tarigan, hal.38). Oleh sebab itu perencanaan pemba-ngunan daerah yang memiliki karakteristik wilayah kepulauan, seperti Maluku, lebih cocok menggunakan pendekatan regional atau yang lazim disebut pendekatan kewila-yahan.
Pendekatan kewilayahan dalam penger-tian sempit adalah memperhatikan ruang dengan segala kondisinya. Setelah melalui analisis, diketahui bahwa masih ada ruang yang belum dimanfaatkan atau penggu-naanya masih belum optimal, kemudian direncanakan kegiatan apa yang sebaiknya diadakan pada lokasi wilayah tersebut. Dengan demikian penggunaan ruang men-jadi serasi dan efisien agar memberi kemak-muran yang optimal bagi masyarakat. Sedangkan dalam pengertian luas, pende-katan regional atau kewilayahan, yaitu selain memperhatikan penggunaan ruang untuk kegitan produksi/jasa, juga memprediksi arah konsentrasi kegiatan dan memperki-rakan kebutuhan fasilitas untuk masing-masing konsentrasi, serta merencanakan jaringan-jaringan penghubung sehingga ber-bagai konsentrasi kegiatan dapat dihu-bungkan secara efisien. Selanjutnya, menu-rut Tarigan, pendekatan regional atau kewi-layahan adalah pendekatan yang meman-dang wilayah sebagai kumpulan dari bagian-bagian wilayah yang lebih kecil dengan potensi dan daya tariknya masing-masing. Di samping itu pendekatan kewilayahan ini dengan metode analisisnya berusaha mera-malkan penduduk berdasarkan daya tarik setiap satuan wilayah. Pada dasarnya perge-seran penduduk sekaligus menggambarkan pergeseran faktor-faktor produksi, karena pergeseran penduduk selalu disertai atau disebabkan oleh pergeseran modal dan ke-ahlian (Tarigan, hal.35).
Lebih jauh, menurut Tarigan, analisis regional/wilayah adalah analisis atas penggu-naan ruang saat ini, analisis atas aktivitas yang akan mengubah penggunaan ruang dan perkiraan atas bentuk penggunaan ruang di masa yang akan datang. Analisis regional (spasial) didasarkan pada anggapan bahwa perpindahan orang dan barang dari satu daerah ke daerah lain adalah bebas, dan orang (juga modal) akan berpindah berdasarkan daya tarik (attractiviness) suatu daerah yang lebih kuat dari daerah lain (Tarigan, hal.35). Di samping itu keung-gulan dari pendekatan regional/kewilayahan ini adalah kemampuan analisisnya yang dapat menggambarkan keadaan/kondisi wila-yah saat ini dan juga peta-peta yang meng-gambarkan proyeksi arah perpindahan fak-tor-faktor produksi dan peta perkiraan kon-disi di masa yang akan datang. Pendekatan regional atau kewilayahan ini menekankan pentingnya ruang di dalam perencanaan program dan kegiatan yang akan dilakukan. Oleh sebab itu aspek ruang dalam pen-dekatan ini yang mesti diperhatikan adalah :
● Struktur ruang saat ini;
● Penggunaan lahan saat ini;
● Kaitan satu wilayah terhadap wilayah tetangga.
Unsur-unsur struktur ruang yang utama ada-lah:
● Orde-orde perkotaan, termasuk di dalam-nya konsentrasi pemukiman;
● Sistem jaringan lalu-lintas, termasuk pe-netapan jaringan jalan primer, jaringan jalan sekunder, dan jaringan jalan lokal;
● Kegiatan ekonomi berskala besar yang terkonsentrasi, seperti kawasan industri, kawasan pariwisata, kawasan pertamba-ngan, dan kawasan perkebunan.
Secara singkat pendekatan regional atau kewilayahan dapat menjawab berbagai aspek yang belum terjawab pada pendekatan sek-toral, seperti:
● Lokasi dari berbagai kegiatan ekonomi yang akan berkembang;
● Penyebaran penduduk di masa yang akan datang dan kemungkinan munculnya pu-sat-pusat pemukiman baru;
● Adanya perubahan pada struktur ruang wilayah dan prasarana yang belum diba-ngun untuk mendukung perubahan struk-tur ruang tersebut;
● Perlunya penyediaan berbagai fasilitas so-sial seperti, sekolah, rumah sakit, jaringan listrik, jaringan telepon, penyediaan air bersih yang seimbang pada pusat-pusat pemukiman, dan pusat berbagai kegiatan ekonomi yang berkembang;
● Perencanaan jaringan penghubung, yakni prasarana dan mode transportasi yang akan menghubungkan berbagai pusat ke-giatan atau permukiman secara efisien (Tarigan, hal.37).
Kesimpulan
Sebagai kesimpulan dapatlah dikemukakan bahwa :
(1) Secara de fakto, Maluku adalah wilayah kepulauan, dan oleh sebab itu perlu diberi pengakuan de jure (legitimasi) dengan Regulasi, karena konstitusi mem-beri ruang dan landasan yang kuat;
(2) Sebagai wilayah kepulauan dengan jum-lah pulau besar dan kecil 632 pulau, memiliki karakteristis potensi alam baik darat maupun laut yang kaya, di sam-ping potensi budaya dan sosial sebagai social capital (modal sosial) yang penting dan berharga dalam perencanaan pem-bangunan secara komprehensif dan ter-integrasi;
(3) Dengan karakteristik potensi lokal dan keunggulan spasial, maka diperlukan paradigma perencanaan pembangunan yang tepat dan metode-metode pende-katan yang relevan, yang mampu men-drive potensi dan keunggulan tersebut, agar dapat memberdayakan masyarakat secara mandiri, meningkatkan kesejah-teraan secara merata dengan tetap me-megang prinsip-prinsip sustainnable de-velopment;
(4) Pendekatan perencanaan pembangunan yang tepat untuk wilayah kepulauan Maluku adalah “Paradigma Perencaaan Pembangunan Berbasis Masyarakat Ke-pulauan (Kewilayahan)”; karena selain memiliki relevansi sesuai karakteristik wilayah Maluku, ia juga memiliki keung-gulan baik dari aspek ekonomi, kultur, sosial, politik, keamanan, serta adminis-trasi pemerintahan yang memungkinkan tercapainya efisiensi dan efektivitas pe-layanan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. Di samping itu juga tumbuh dan berkembangnya demo-krasi lokal yang mandiri serta dewasa, serta terjamin hak-hak asasi masyarakat lokal (local wisdom);
(5) Perubahan paradigma perencanaan pem-bangunan kewilayahan (kepulauan) ini, maka sektor kelautan yang selama ini diabaikan, akan menjadi leading sector, tetapi tetap terintegrasi dengan sektor kedaratan atau sektor-sektor lain yang dapat digerakkan (draiving) untuk tum-buh lebih cepat dan saling mendukung serta menghidupkan secara sinergis, integratif dan komprehensif;
(6) Tradisi laut/kelautan (maritime culture) yang dimiliki oleh nenek moyang di Maluku selama berabad-abad yang lam-pau, yang mengalami distorsi akibat penetrasi kebijakan pembangunan nasio-nal di masa lalu yang cukup lama, dapat dihidupkan dan ditumbuhkan kembali, sehingga masyarakat Maluku menemu-kan kembali jati dirinya sebagai masya-rakat maritim sekaligus masyarakat pu-lau, yaitu masyarakat yang memiliki dan hidup di dua habitat yang saling keter-gantungan (interdependensi) yang har-monis dan dinamis;
(7) Inti filosofi paradigma perencanaan pem-bangunan kewilayahan adalah berporos pada manusia. Manusia merencanakan, melaksanakan, mengevaluasi, dan sasa-ran akhir (ending goal) pada manusia itu sendiri. Atau dengan kata lain, manusia adalah subyek perencanaan dan pelak-sanaan pembangunan; dan oleh sebab itu, nilai-nilai kemanusiaan, martabat manusia (dignity) menjadi utama (pri-mus inter pares) sebagai syarat mutlak (sin qua non) dari seluruh pertimbangan dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan. Di sinilah perencanaan pembangunan itu memiliki fundamen yang kokoh tidak tergoyahkan. Singkat-nya, walaupun terjadi akselerasi dalam proses pembangunan, akan tetapi nilai-nilai kemanusiaan (baik secara universal) maupun nilai-nilai lokal (local wisdom) tidak terdistorsi karena dan atas nama pembangunan itu sendiri. Dan inilah yang disebut pembangunan yang bijak-sana (wisdom of development). Pada titik ini, yang disebut korupsi, kesera-kahan, manipulasi, penindasan, eksploi-tasi, pembodohan, pemiskinan, tidak memperoleh ruang yang bebas dalam paradigma perencanaan pembangunan kewilayahan ini;
(8) Inti paradigma perencanaan pemba-ngunan kewilayahan ini adalah para-digma perencanaan pembangunan yang memiliki ciri utama, yakni : komprehen-sif, integratif, demokratis, partisipatoris, emansipatoris, transformatif, liberation, inovatif, kreatif, dinamis, analitis, kom-plementer, simbiosis-mutualistis, antro-posentris, sustainability, antisipatif dan adaptatif, humanis serta beretika dan bermatabat.
(9) Jika paradigma perencanaan pemba-ngunan tersebut dapat diimplementasi-kan secara baik dan konsisten, maka memungkinkan akselerasi pembangun-an di segala aspek secara komprehensif dan integratif dapat terwujud, karena faktor-faktor penghambat pembangunan dapat dielemenir baik dari segi kultural maupun struktural serta geografis (span of control) yang membutuhkan biaya ti-nggi (higth cost factors); sehingga ending goal perencanaan pembangu-nan dapat terwujud, yakni masyarakat Maluku yang maju, mandiri, sejahtera, adil dan makmur secara merata dan bermartabat.
S a r a n
Provinsi Maluku telah punya konsep peren-canaan pembangunan gugus pulau dan laut pulau, namun konsep ini belum diramu de-ngan baik menjadi model perencanaan pem-bangunan yang berbasis masyarakat kepulau-an (kewilayahan), serta implementasinya yang belum operasional dan konsisten secara kom-prehensif dan terintegrasi sebagai sebuah mo-del perencanaan pembangunan daerah Ma-luku. Oleh sebab itu maka sudah saatnya Pemerintah Daerah Maluku melalui Bappeda mereorientasi dan merevisi paradigma peren-canaan pembangunan yang selama ini ter-kesan masih berorientasi sektoral dan parsial kepada paradigma perencanaan kewilayahan yang komprehensif dan terintegrasi sebagai model perencanaan pembangunan daerah Maluku.
Bagi daerah-daerah kabupaten/kota yang baru mekar dan yang akan dimekarkan, pe-
rencanaan awal pembangunan yang baik ada-lah fondasi yang kokoh dan sangat menen-tukan masa depan daerahnya. Kesalahan pada awal perencanaan akan berdampak buruk pada masa depan daerahnya sendiri.
Oleh karena itu dibutuhkan Pemerintah Daerah yang memiliki kemauan dan kemam-puan perencanaan berdasarkan azas-azas serta prinsip-prinsip perencanaan daerah yang baik.
REFERENSI
Bintoro Tjokroamidjojo, Perencanaan Pemba-ngunan, (Cet. Ke-16), Haji Masa-gung, Jakarta, 1994.
Diana Conyers, (Ed: Affan Gafar), Perenca-naan Sosial di Dunia Ketiga (Cet. Ke-2), Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1992.
F.Harianto Santoso (Ed), Profil Daerah, Jilid 2,
Kompas, Jakarta, 2003.
----------------------------, Profil Daerah, Juilid 3, Kompas, Jakarta, 2003.
J. Soedradjad Djiwandono, Bergulat Dengan Krisis Dan Pemulihan Ekonomi Indonesia, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2001.
Kaho, Josep Riwu, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia (cet. Ke-6), Rajawali Press, Jakarta, 2002.
Kaloh, J, Mencari Bentuk Otonomi Daerah, Rineka Cipta, Jakarta, 2002.
Muljarto Tjokrowinoto, Pembangunan Dilema dan Tantangan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996.
Pola Dasar Pembangunan Daerah Maluku, Tahun 2001 – 2005.
Propeda Provinsi Maluku, Tahun 2001 – 2005.
Rencana Strategis (Renstra) Provinsi Maluku, Tahun 2003 – 2008.
Riyadi dan Deddy Supriady Bratakusumah, Perencanaan Pembangunan Daerah, Gramedia, Jakarta, 2003.
Robinson Tarigan, Perencanaan Pembangun-an Wilayah, Bumi Aksara, Jakarta, 2004.
Sarundajang, S.H, Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah, Pustaka Sinar Haparan, Jakarta, 2001.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang Nomor: 33 Tahun 2004 dan Tentang Pembagian Keuangan Antara Pemerintah Pusat Daerah.
Widjaja, HAW, Otonomi Daerah dan Daerah Otonom (Cet.ke-2), Rajawali Press, Jakarta, 2002.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar