Jumat, 03 Februari 2012

PAPALELE

 Studi Terhadap Perempuan Papalele di Kota Ambon

Oleh :
Max  Maswekan
Dosen FISIP UKIM - Ambon


Abstract
      Sektor informal adalah alternatif yang sangat  efektif dan efisien dalam mengatasi pengangguran dan kemiskinan. Sektor ini tidak membutuhkan modal yang besar dan keterampilan yang memadai,  namun ini mampu bertahan  saat pengusaha-pengusaha besar  tidak mampu menghadapi krisis  moneter dan ekonomi. 
       Perempuan Papalele  adalah salah satu  jenis sektor informal  yang ada di Kota Ambon, dan memiliki ciri khas dari aspek budaya maupun sosiologis. Aktivitas perempuan papalele ini sudah muncul sejak lama dan menjadi salah satu aktivitas dagang tradisional yang dilakukan oleh perempuan  atau ibu-ibu rumah tangga. Mereka memiliki jiwa wirausaha murni  atau sejati (pure entrepreneur) karena ketangguhan yang dimiliki. Mereka memiliki modal sendiri walaupun kecil, sabar serta ulet dalam melakukan aktivitasnya setiap hari.
       Jumlah perempuan papalele di kota Ambon masih cukup banyak. Namun hingga kini belum ada perhatian  serius dari Pemerintah  Kota Ambon, legislatif, maupun swasta untuk memberdayakan mereka.  Malah sering mereka diperlakukan kurang adil melalui kebijakan-kebijakan Pembangunan Kota.  Karena itu, studi tentang perempuan papalele ini  cukup penting  untuk mendeskripsikan aktivitas dan permasalahan mereka, untuk melahirkan pikiran-pikiran rekomendatif bagi Pemda Kota Ambon serta pihak terkait dalam rangka merumuskan program-program yang berpihak kepada perempuan Papalele khususnya dan sektor informal pada umumnya.


                     Key world  :  Informal sector, papalele, pure entrepreneurial, entrepreneurial spirit, self employed.
______________________________________________________________________________



Pendahuluan
        Kemiskinan telah menjadi masalah nasional, malah sudah menjadi isu global yang menjadi salah satu program Millennium Development Goal’s (MDGs). Indonesia pun merupakan negara yang turut mendukung program tersebut. Salah satu  program utama

adalah masalah gender dan kemiskinan. Indonesia sejak merdeka hingga pemerintahan sekarang masih tetap bergumul dengan kemiskinan sebagai masalah nasional yang diprioritaskan  dalam program pemba-ngunan. Namun hingga kini  kemiskinan belum berhasil dituntaskan, walaupun diakui angka kemiskinan bisa dikurangi prosentasenya. Di masa pemerintahan Orde Baru kemiskinan berhasil ditekan sampai 15 % dari total jumlah penduduk, malaupun secara nasional prosentase kemiskinan pun hingga kini tidak menglami penurunan yang berarti.


          Diakui bahwa pemerintahan sekarang telah berupaya mengatasi kemiskinan melalui berbagai  program pemberdayaan. Namun program-program pemberdayaan tersebut belum berhasil secara efektif menuntaskan masyarakat dari kemiskinan, disebabkan karena berbagai  faktor dan kendala baik struktural, kultural, maupun alamiah.
       Sebagaimana secara nasional, pada aras lokal masalah kemiskinan di daerah Maluku pun hingga kini  menjadi isu utama dalam program-program pembangunan daerah. Tahun 2003 angka kemiskinan di Maluku mencapai 56 %. Tahun 2007/2008 berhasil dikurangi menjadi ± 36 %. Dari jumlah tersebut wanita pun menduduki porsi yang cukup besar. Masalah yang sama di Kota Ambon di mana tingkat kemiskinan pun masih menjadi masalah pembangunan yang dipri-oritaskan pemerintah Kota, namun hingga kini  kemis-kinan belum juga berhasil dituntaskan.   Dari jumlah tersebut perempuan pun masih menem-pati porsi yang cukup besar.
       Berbagai upaya melalui program pember-dayaan oleh Pemerintah Kota Ambon telah dan sedang dilakukan, baik program secara nasional maupun program pemerintah kota. Itu pun belum bisa menuntaskan masalah kemis-kinan  di Kota Ambon. Tingkat pengangguran dan  pencari kerja masih cukup signifikan yang kemudian ber-dampak melahirkan berbagai masalah sosial seperti, pencurian, perampokan, pengemis, anak jalanan, prostitusi, dan masalah kriminal lain yang masih cukup tinggi di Kota Ambon.
      Sektor informal merupakan alternatif yang paling efektif dan efisien dalam mengatasi pengangguran dan kemiskinan, karena sektor ini tidak membutuhkan modal yang besar dan keterampilan yang  cukup.  Di samping itu sektor ini mampu bertahan  saat pengusaha-pengusaha besar  tidak mampu menghadapi krisis  moneter dan ekonomi  yang menerpa bangsaIndonesia.  Pertengahan tahun 1997, serta konflik sosial di Maluku tahun 1999 yang masih meninggalkan dampak hingga kini.  Namun sektor ini masih kurang mendapat perhatian  yang serius baik dari pemerintah Kota Ambon, legislatif maupun swasta. Malah sering mereka diperlakukan kurang adil melalui kebijakan-kebijakan pembangunan  dengan melakukan pengusiran-pengusiran  serta penggusuran yang kurang manusiawi tanpa memahami keberadaan mereka serta tidak dilakukan analisis  secara komprehensif untuk membuat perencanaan dan kebijakan-kebijakan dalam rangka  memberda-yakan sektor ini dengan  baik.
      Perempuan Papalele  adalah salah satu  jenis sektor informal  di samping jenis lain yang ada di Kota Ambon. Mereka memiliki keunikan  (ciri khas) dari aspek budaya. Aktivitas perempuan papalele ini sudah muncul sejak lama dan menjadi salah satu aktivitas dagang tradisional yang dilakukan oleh perempuan. Mereka memiliki jiwa wirausaha murni  atau sejati (pure entrepreneurial) karena ketangguhan yang dimiliki, yakni mempunyai modal sendiri walaupun kecil, sabar serta ulet karena setiap hari  aktivitas yang dilakukan tanpa fasilitas yang memadai dan sering harus bertahan  di tengah panas maupun hujan. Ada yang harus menjaja atau berjalan kaki  mengelilingi pusat keramaian kota Ambon membawa (bahasa Ambon: meng-keku) tanpa mengenal lelah  barang jajaannya, seperti ikan asar, ikan mentah,  buah-buahan atau jenis pangan lainnya.
      Jumlah perempuan papalele ini  masih cukup banyak di kota Ambon. Namun hingga kini belum ada perhatian  yang serius dari Pemda Kota Ambon, legistatif, maupun swasta  untuk memberdayakan mereka. Karena itu studi tentang perempuan papalele ini  penting dalam rangka mengetahui permasalahan yang dihadapi untuk melahirkan pikiran-pikiran rekomendatif dalam rangka memberdayakan perempuan yang beraktivitas  di sektor informal secara lebih baik (profesional) tanpa menghilangkan ciri khasnya, agar dapat mem-berikan kontribusi bagi kesejahteraan rumah tangganya maupun turut membantu memberikan kontribusi bagi PAD kota Ambon, dan menumbuhkan semangat kewirausahaan (enterpreneurial), serta meng-angkat harkat dan martabat perempuan.
     
Tujuan dan Manfaat Penelitian
2.Tujuan
    Penelitian ini bertujuan untuk :
○  Mendeskripsikan aktivitas dan permasalahan    perempuan papalele;
  ○ Merumuskan rekomendasi kepada Pemda kota Ambon, legislatif maupun pihak terkait  dalam rangka merumuskan program pem-berdayaan dan pembinaan secara terintegrasi dan komprehenshif menetapkan kebijakan-kebijakan  pembangunan  kota Ambon yang memihak kepada sektor informal (Pro-self employed policy);
  ○  Merubah pandangan pemda kota Ambon  dan pihak terkait tentang  perempuan papalele, serta mengangkat harkat dan martabatnya serta memandirikan mereka dalam rangka memberikan kontribusi bagi PAD kota Ambon serta memperkuat basis pereko-nomian rakyat, sekaligus pemberdayaan dan pemandirian peran perempuan dalam sektor informal.
3.   Manfaat
       Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi :
○ Pemerintah Kota Ambon dan pihak terkait dalam rangka merumuskan kebijakan-kebijakan program pemberdayaan melalui kebijakan penganggaran (pro-bugeting)  bagi sektor informal khususnya dalam rangka memberdayakan perempuan papalele serta perempuan umumnya yang bergerak di sektor informal;
     ○ Hasil penelitian ini diharapkan pula dapat memberi masukan kepada pihak Pemerintah Kota Ambon untuk merumuskan Peraturan Daerah (Perda) yang memberi perlindungan hukum kepada sektor informal di kota Ambon;
     ○ Sebagai bahan informasi bagi dosen dan mahasiswa serta pihak-pihak yang berminat dalam studi atau kajian-kajian tentang  masalah perempuan dan kemiskinan.

Tinjauan Pustaka    
Konsep Sektor Informal
   Tidak dapat dipungkiri bahwa sektor informal  adalah sektor perekonomian tertua bila dibandingkan dengan sektor formal di samping sektor tradisional  (pertanian), dan sektor informal ini mempunyai kontribusi yang cukup penting bagi perekonomian suatu negara secara khusus Indonesia. Hal ini dikemukakan oleh  Revrisond Baswir, sbb :
”...Padahal, dilihat dalam konteks ”asli” dan ”pendatang”, justru sektor informal inilah sebenarnya yang merupakan ”anak kandung” perekonomian Indonesia. Jauh sebelum peme-rintah Hindia Belanda memperkenalkan konsep ekonomi modern di negeri ini, kegiatan ekonomi yang kini disebut sebagai sektor informal itu, sudah terselenggara dengan mapan. Lingkup kegiatan pun tidak hanya terbatas pada sektor perdagangan di desa, tapi sudah meluas sampai pada sektor industri dan jasa-jasa angkutan di kota”. (Revrisond Baswir, 1997:41).
      Walaupun sektor informal  ini adalah sektor yang sudah lama ada dan punya peranan yang cukup penting dalam sistem perekonomian, namun sektor ini baru diperkenalkan  oleh Keith Hart pada tahun 1971, yang kemudian dipopulerkan oleh  ILO. Malah menurut Loekman Soetrisno sektor informal ini adalah sektor yang tertua di dunia dan saat itu ia dianggap sebagai sektor formal. Loekman mengemukakan, sebagai berikut :
      ”...apa yang kita sebut sebagai sektor informal bukanlah suatu fenomena baru, sebab sektor informal ini ada di tengah kita sejak manusia berada di dunia ini. Sejak manusia ada di dunia mereka menunjang hidup mereka dengan cara menciptakan kerja sendiri atau self-employed. Sampai dengan munculnya revolusi industri  organisasi produksi yang berdasarkan hubungan kerja majikan dan pekerja tidak dikenal oleh manusia. Dengan kata lain ”self-employed” pada mulanya adalah orga-nisasi produksi yang formal”. (Loekman Soetrisno, 1997:44).
 Dari apa yang dikemukakan di atas, dapatlah dipahami bahwa sebetulnya sektor informal ini adalah sektor tertua dalam perekonomian yang mempunyai peranan dan andil yang cukup besar dalam membangun perekonomian suatu negara. Namun sektor ini masih belum mendapat perhatian yang serius malah belum ditempatkan pada posisi yang penting dalam sistem perekonomian. Justru sebaliknya sektor ini masih diperlakukan sebagai ”anak tiri”  di dalam sistem perekonomian baik pada aras nasional maupun lokal. Komitmen pemerintah masih sangat kecil kepada sektor informal. Hal ini terlihat dari kebijakan-kebijakan anggaran, hukum dan politik yang belum memihak atau memberikan porsi yang memadai. Begitupun dengan pengusaha-pengusaha swasta,  BUMN dan BUMD juga belum memberikan perhatian  yang serius melalui program-program pemberdayaan dengan membangun sistem kemitraan dan kemudahan-kemudahan bagi pertumbuhan sektor  ini. Seringkali pilihan-pilihan kebijakan yang dilakukan baik pemerintah maupun swasta (pengusaha besar), BUMN dan BUMD masih sangat kuat mempertimbangkan profit dan jaminan kelayakan  usaha, tanpa memahami secara mendasar dan komprehenshif  latarbelakang karakteristik sektor ini dengan studi-studi yang baik dalam rangka memberdayakan mereka untuk mandiri, yang kemudian akan menjadi pilar perekonomian rakyat yang pada gilirannya memperkuat fundamen ekonomi nasional dan daerah.
       Kondisi ini telah diciptakan sejak permulaan pemerintahan orde baru secara nasional melalui perencanaan pembangunan (Repelita) yang lebih berorientasi pada  industri besar dengan investasi modal asing dalam rangka  mempercepat dan menaikkan angka pertumbuhan ekonomi nasional (Ronald Clapham, 1991 :  64-111).   Kalaupun kebijakan-kebijakan yang diambil untuk memberdayakan melalui program-program pemberdayaan kepada sektor ini  adalah masih sangat terbatas serta hanya berfungsi sebagai ”katup pengaman” agar tidak menimbulkan  gejolak-gejolak sosial, namun tidak melalui perencanaan yang mendasar dan komprehensif serta terlembaga secara berkesinambungan. 
      Kenyataan bahwa sektor informal khususnya aktivitas papalele ini dilakukan oleh perempuan atau wanita yang telah lama ada sejak dulu dan telah menjadi tradisi atau identitas tersendiri pada masyarakat Ambon. Munculnya perempuan papalele ini di samping didorong oleh faktor ekonomi rumah tangga yang membuat ibu-ibu atau perempuan harus melakukan pekerjaan di luar rumah untuk membantu suami mencari pendapatan tambahan untuk membiayai kebutuhan rumahtangga serta terutama untuk membiayai anak yang masih bersekolah, di samping itu juga perempuan  papalele ini telah menjadi suatu budaya kerja, karena ia tumbuh dari dalam masyarakat sendiri. Oleh karena itu dapatlah dikatakan bahwa perempuan papalele ini adalah wirausaha murni yang asli (pure enterpreneurial oricinal) dari tradisi dagang masyarakat Ambon. Ia sebetulnya merupakan bentuk asli aktivitas ekonomi keluarga  masyarakat asli Ambon, di mana anggota keluarga merupakan suatu sistem tindakan ekonomi, di mana ayah/suami atau laki-laki sebagai produsen (yakni mencari/memancing ikan di laut atau berkebun dan hasilnya dijual oleh istri atau perempuan dalam rumah tangga atau keluarga nelayan/petani).  Jadi istri atau perempuan adalah distributor utama (papalele) dari hasil-hasil produksi dari para nelayan atau petani dalam struktur perekonomian rakyat Maluku khususnya di Ambon. Namun dalam perkembangan hasil produksi yang dijual sebagian tidak lagi secara langsung dari keluarga, tetapi dibeli dari produsen dengan modal sendiri kemudian dijual kembali dengan harga keuntungan yang tidak besar.
            Kenyataan bahwa aktivitas di sektor ini lebih banyak dilakukan oleh perempuan atau wanita. Itu berarti dapat diasumsikan bahwa sebagian besar perempuan adalah pelaku utama sektor informal, dan mereka adalah masyarakat ekonomi lemah yang kurang berdaya. Salah satu studi di Jawa Tengah oleh Hans Dieter Evers yang dikutip oleh Loekman Soetrisno, di mana hasil studinya mengungkapkan bahwa 72,92 % penduduk Jawa Tengah yang bekerja pada sektor perdagangan masuk dalam kategori  sektor informal (self-employed), dan 81,6 % penduduk yang bekerja di sektor informal adalah perempuan. Lebih jauh menurut Evers  sektor informal ini memiliki potensi untuk memecahkan masalah kesempatan kerja, yang berarti dapat memecahkan masalah kemiskinan, sehingga diperlukan  intervensi kebijaksanaan yang mampu memberikan kelestarian dan pengembangan usaha mereka (Loekman Soetrisno, 1997 : 46-47).
         Dari fakta tersebut sebenarnya telah memberikan alasan yang kuat bahwa sektor informal yang didominasi oleh perempuan ini perlu mendapat perhatian yang serius baik oleh pemerintah maupun oleh pengusaha besar, BUMN atau BUMD melalui kebijakan-kebijakan pembangunan serta program-program pemberdayaan, karena sektor informal ini  selain mampu bertahan saat krisis ekonomi, tetapi juga memberikan andil bagi pemecahan masalah lapangan kerja  dan penanggulangan kemiskinan. Namun sektor ini masih belum mendapat tempat yang layak  dalam kebijakan-kebijakan pembangunan malah tidak jarang mereka sering dirugikan. Hal ini dikemukakan oleh Evers selanjutnya yang dikutip oleh Loekman, ada beberapa kebijakan  yang sering merugikan sektor informal ini, yakni : Pertama,  adanya persepsi di kalangan pemerintah daerah di Indonesia bahwa sektor ”self-employed” ini merupakan salah satu  sumber PAD (Pendapatan Asli Daerah) melalui penarikan retribusi. Retribusi pada dasarnya adalah merupakan pajak yang adalah kewajiban setiap warga negara untuk membayarnya. Akan tetapi apa yang sering terjadi adalah bahwa Pemda demi mencapai target pencapaian PAD, Pemda menaikkan retribusi yang dikenakan kepada para pegadang kecil yang ada di pasar maupun yang berjualan di sepanjang kaki lima di atas pendapatan riel sipedagang kecil. Kedua, deregulasi ekonomi menimbulkan masalah timbulnya persaingan antara modal kuat dan pedagang kecil. Munculnya pasar swalayan umpamanya telah mendesak pedagang kecil yang banyak menyingkir ke daerah pinggiran kota yang kurang strategis letaknya, demikian menurunkan pendapatan  mereka. Ketiga, masih adanya persepsi di kalangan pejabat pemerintah daerah yang melihat bahwa sektor ”self-employed” atau sektor informal merupakan kelompok yang tidak tertib dan karenanya perlu ditertibkan  agar mudah dibina. Maka keluarlah berbagai persyaratan baru dari pihak pemerintah daerah seperti Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP), Tanda Izin Tempat Usaha atau Tanda Kartu Perdagangan. Bagi pedagang besar hal-hal seperti ini tidak menjadi masalah tetapi bagi pedagang kecil atau sektor informal  adanya berbagai surat izin itu selain  mengarah pada pelipatgandaan prosedur administrasi juga menelan biaya dan menyita waktu (Loekman Sutrisno, 1997: 47-48).
         Apa yang dikemukakan di atas memberi gambaran bahwa banyak kali kebijakan Pemda di Indonesia belum melihat pentingnya sektor informal sebagai sektor yang penting dan potensial dalam rangka memecahkan masalah pengangguran dan kemiskinan umumnya dan khususnya di perkotaan. Padahal sektor informal ini jika ditata dan dibina dengan baik secara terencana serta komitmen yang tinggi melalui kebijakan-kebijakan pembangunan khususnya kebijakan anggaran  yang berpihak sektor informal (self-employed pro-bugeting), maka bukan tidak mungkin sektor ini dapat menjadi salah satu sektor andalan  yang dapat memberikan kontribusi bagi pembangunan perekonomian  rakyat khususnya perekono-mian kota, di samping sumbangannya yang efektif dan efisien  bagi pemecahan masalah pengangguran dan kemiskinan. Hal ini tentu sangat bergantung dari pandangan pemerintah/ pemerintah daerah dalam memahami dan memiliki definisi konsep yang jelas tentang modernisasi kota dengan karakteristik  mas-yarakatnya.  Pengetahuan dan pemahaman Pemda tentang perencanaan pembangunan daerah tidak mesti hanya dilaterbelakangi  dan berorientasi pada konsep-konsep ekonomi modern semata, tetapi mesti pula sangat penting memperhatikan ekonomi tradisional dan sektor informal, serta faktor-faktor non-ekonomi, seperti aspek sosiologis,  kultur,  historis serta ekologi suatu masyarakat perlu mendapat pertimbangan  dalam merumuskan kebijakan-kebijakan pembangunan secara komprehensif dan terintegrasi khususnya kebijakan-kebijakan di bidang ekonomi. Hal ini sangat perlu agar tidak lagi mengulangi kesalahan di masa lalu di mana pemerintah secara nasional lebih mementingkan pertumbuhan ekonomi dengan memberi prioritas kepada ekonomi makro dengan memberi dukungan subsidi maupun dukungan politis yang besar kepada perusahaan-perusahaan besar padat modal melalui investasi modal asing yang besar, namun tidak efisien, sementara ekonomi mikro/kecil kurang mendapat perhatian malah terkesan diabaikan di samping tidak didukung dengan studi-studi yang mendalam mengenai latarbelakang sistem sosial dan budaya dari masyarakat yang dapat memberi dukungan bagi pertumbuhan ekonomi.
      Modernisasi kota tidak mesti membangun mol-mol besar dan swalayan semata yang kemudian menggusur masyarakat ekonomi lemah dan perdagangan tradisional atau sektor informal. Namun modernisasi kota sebenarnya mesti mengintegrasikan sektor ekonomi modern dengan sektor ekonomi tradisional  atau pengusaha besar dan pengusaha kecil dan menengah atau sektor informal. Cara pandang modernisasi kota yang keliru akan mempengaruhi paradigma pembangunan terutama daerah-daerah yang sementara mengalami proses  transisi dari kota dan masyarakat pra-urban ke urban, dari pra-metropolis ke metropolis, yang dapat menyebabkan terjadi benturan-benturan nilai dan hakekat pembangunan dalam arti  yang hakiki. Pembangunan tidak hanya dilihat dari satu aspek saja tetapi mesti dilihat dari berbagai aspek secara komprehenshif dan mendasar, serta proses akselerasi pemba-ngunan tidak mesti mengorbankan aspek-aspek tertentu yang merupakan atau menjadi ”sistem nilai” yang harus dipelihara dan dilestarikan sebagai ”harga diri” dari masyarakat yang bersangkutan. Apalagi pada sektor informal ini lebih banyak dilakukan oleh perempuan, sehingga jika proses pembangunan yang kemudian mengabaikan sektor ini maka dengan sendirinya perempuan telah terabaikan sebagai tidak penting dalam pembangunan tersebut, yang berarti pula bahwa pembangunan itu dengan sendirinya telah kehilangan makna yang hakiki; karena filosofi pembangunan pada hakekatnya adalah manusia dengan tujuan akhir adalah manusia pula. Sehingga jika suatu proses pembangunan yang akhirnya mengorbankan manusia atau menyecerkan sebagian masyarakat, maka pembangunan itu tidak memiliki landasan filosofi  dan makna yang kuat.
      Paradigma pembangunan seperti itu menunjukkan masih kuatnya pangaruh  cara pandang warisan ideologi abat ke-19 tentang perempuan,  yang sangat merugikan posisi perempuan. Pertama, karena perempuan dianggap tugas utamanya adalah di dalam rumah tangga, maka mereka dapat saja diabaikan dalam program-program pembangunan yang tidak menyangkut kesejahteraan keluarga. Kedua, karena perempuan tugas utamanya sebagai ibu rumah tangga, maka apabila mereka harus bekerja, para majikan mereka akan memberikan upah yang lebih rendah daripada pekerja pria. Sebab pada kenyataannya suami mereka/atau prialah yang menjadi ”provider” dalam keluarga, dan upah perempuan dengan demikian hanya dianggap sebagai ”suplement” dari upah yang diterima suami mereka (Loekman Soetrisno; ibid, hal.65)
       Pandangan tersebut di atas memberi gambaran bahwa dalam proses pembangunan, perempuan umumnya masih belum ditempatkan  pada posisi penting. Apalagi perempuan yang bekerja di sektor informal secara khusus wanita papalele otomatis belum mendapat perhatian  serius atau mungkin saja mereka belum terpikirkan  dalam benak para policy makers apalagi diberi prioritas  dalam kebijakan-kebijakan pembangunan melalui kebijakan-kebijakan penganggaran dan dukungan politis serta perlindungan hukum.

Definisi Konsep
Agar tidak menimbulkan interpretasi yang berbeda maka konsep pokok  yang digunakan dalam penelitian ini perlu didefinisikan.
•  Perempuan Papalele; adalah akitivitas dagang tradisional sebagai salah satu jenis sektor informal yang dilakukan oleh perempuan atau wanita  yang telah kawin maupun belum kawin dengan menjaja (Bahasa Ambon : meng-keku) dengan berjalan sambil membawa barang dagangan di dalam dulang (papan atau loyang), berupa ikan asar atau ikan mentah, atau buah-buahan, makanan kering, sayur-sayuran, atau kebutuhan pangan lain yang diproduksi sendiri atau diambil dari produsen dengan modal sendiri. Mereka berjalan atau duduk di tempat-tempat strategis, seperti di trotoar, pinggiran jalan, emper toko, atau pinggiran pasar;
•  Rumah tangga; adalah rumah tangga wanita papalele yang mempunyai tanggungan keluarga atau wanita yang belum kawin yang melakukan aktivitas dagangan (papalele) sebagai pekerjaan pokok atau untuk membantu menambah pendapatan rumah tangganya;
•  Pemberdayaan;  menurut Payne, seperti yang dikutip oleh Isbandi Rukminto Adi, ialah ”membantu klein memperoleh daya untuk mengambil keputusan  dan menentukan tindakan yang akan ia lakukan yang terkait dengan diri mereka, termasuk mengurangi efek hambatan pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan. Hal ini dilakukan melalui peningkatan kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan daya yang ia miliki, antara lain melalui transfer daya dari lingkungannya” (Isbandi Rukminto Adi, 2003:54)
• Kesejahteraan sosial; banyak definisi tentang kesejahteraan sosial, namun untuk penelitian ini dikemukakan definisi menurut Undang-Undang 11 Tahun 2009  tentang Kesejahteraan Sosial pasal 1 ayat  (1), yakni : ”Kesejahteraan sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual dan sosial warga negara agar  dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya.

Metodologi Penelitian
Tipe Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif. Data yang bersifat kuantitatif  dihitung prosentasenya untuk memudahkan interpretasi, serta dianalisis secara kualitatif dan dijelaskan dalam bentuk narasi.
Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di beberapa tempat di Kota Ambon yakni, Pasar Mardika, Benteng/ Gudang Arang, Batu Meja, dan Galala. Lokasi ini dipilih karena sebagian besar aktivitas perempuan papalele dilakukan di tempat-tempat tersebut.
Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi penelitian ini adalah Perempuan/Wanita yang diidentifikasi melakukan aktivitas Papalele di kota Ambon. Sampel dilakukan secara random sederhana, yang diambil per lokasi dengan keterwakilan jenis bahan yang dijual (papalele). Jumlah sampel seluruhnya 40 responden.
● Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan meng-gunakan teknik wawancara.
  
Pembahasan
Aktivitas Responden
Lama Responden Sebagai Papalele
        Hasil penelitian menginformasikan,  seba-gian besar responden telah berjualan lebih dari 6 sampai 10 tahun. Ada yang lebih dari 15 sampai 30 tahun. Malah ada yang telah berjualan lebih dari 31 tahun, yakni 5 orang atau12,5 %. Ada 3 responden yang baru saja berjualan kurang dari 1 tahun, dan 4 responden kurang dari 5 tahun.
       Data di atas memberi informasi bahwa sebagian besar responden telah lama menekuni pekerjaan Papalele sebagai pekerjaan pokok,  dan bukan saja karena pekerjaan ini mudah dan tidak membutuhkan keterampilan atau pendi-dikan yang tinggi, dan karena itu merupakan pilihan satu-satunya; tetapi juga telah menjadi tradisi yang dilakukan oleh perempuan Ambon. Hal ini menunjukkan bahwa jiwa kewirausahaan (enterpreneurial) telah lama dimiliki dan tertanam oleh perempuan Ambon secara turun-temurun. Hal ini nampak terlihat walaupun hasil atau keuntungan dari papalele ini tidak besar, namun tetap saja dijalani dengan tekun dan sabar. Ketekunan dan kesabaran yang ditunjukkan perempuan papalele ini nampak dari semangat mereka yang tak pernah padam walaupun mereka sering “digusur“ karena alasan ketertiban dan kelancaran arus lalu lintas serta keindahan kota. Juga mereka terpaksa menggunakan  tempat-tempat yang tidak layak dan bukan peruntukannya untuk berpapalele, seperti di emperan toko, di lorong-lorong jalan, dan trotoar. 
Lama Responden Menggunakan  Waktu Untuk Papalele
        Volume waktu yang digunakan responden untuk berjualan (papalele), ternyata sebagian besar menggunakan waktu untuk berjualan antara 7 sampai dengan 9 jam, yakni 17 responden atau 42,5 %. Ada yang menggunakan waktu antara 10 sampai 12 jam yakni 7 responden. Malah ada yang menggunakan waktu lebih dari 13 jam sehari, yakni  3 orang  atau 7,5 %.
        Dari jumlah jam atau waktu yang diguna-kan responden untuk melakukan aktivitas papalele terlihat berbeda cukup jauh dan ada pengaruh terhadap  hasil atau pendapatan yang diperoleh, namun  bukan menjadi faktor deter-minan.  Tetapi tergantung pada jenis barang yang dipapalekan, di samping faktor-faktor lain, seperti kecakapan atau keterampilan menjual (menarik pembeli/ konsumen), serta persaingan dan kualitas barang. Kecuali itu letak atau tempat juga mempengaruhi laris tidaknya barang papalele.
     Ada yang memulai aktivitas papalele pada pagi hari, mulai jam 05.00 atau jam 06.00 wit, ada yang mulai  jam 07.00 wit dan berhenti pada siang hari atau malam hari. Yang berhenti pada siang hari kebanyakan yang menggunakan waktu antara 3 - 6 jam adalah responden yang mempapalele ikan mentah, atau responden pada malam hari yang mempapalele makanan jadi dan sayur-sayuran.  Sedangkan sebagian responden menjual makanan kering. Mereka ini keba-nyakan adalah responden yang tidak punya tempat permanen, yang hanya menggunakan tempat-tempat tertentu di pasar mardika atau di benteng atau di batumeja, di pinggir jalan dengan tenda-tenda darurat, atau di trotoar. Sementara yang menggunakan waktu lebih dari 7 jam kebanyakan adalah responden yang memiliki tempat yang agak permanen, yang mempapalele jenis barang seperti sayur-sayuran, bumbu masak atau kebutuhan pokok lain.
Jenis Barang Papalele
       Responden yang berjualan (papalele) terdiri dari berbagai jenis barang, baik makanan atau kue kering, seperti sagu, bagia, roti kering, halua, gula merah, sagu tumbuh, cakar-cakar, dan juga madu. Jenis barang ini dijual  oleh 22,5 % responden.  Untuk  jenis sayur-sayuran, tomat, cili, bawang, bumbu masak dan ubi-ubian ditekuni oleh  25 % responden. Untuk jenis buah-buahan, telur ayam kampung, dan madu ditekuni oleh 20 % responden. Untuk jenis makanan jadi dan kue-kue (kue basah) ditekuni oleh 17,5 % responden. Sedangkan untuk jenis ikan mentah dan ikan asap ditekuni oleh 15 % responden.
        Barang-barang yang dijual (papalele) kebanyakan dibeli dari produsen atau orang lain, namun ada juga yang diproduksi sendiri, seperti sagu, halua, bagia, gula merah atau makanan kering, telur ayam kampung. Kebanyakan disuplai dari Saparua atau Haruku yang dibuat atau diproduksi oleh keluarga responden sendiri. Kecuali kue basa dan makanan jadi. Namun ada juga sebagian yang membeli dari produsen.  Sedangkan sayur-sayuran, buah-buahan, madu,  ikan mentah dan ikan asap, sebagian besar dibeli dari produsen petani dan nelayan, seperti papalele ikan asap di Gagala  kebanyakan dibeli dari motor ikan, atau papalele ikan mentah di pasar benteng, kebanyakan responden membeli dari nelayan di Latuhalat atau Amahusu, dan sebagian lagi dibeli langsung dari nelayan  di pasar mardika.


Sumber Modal  Usaha
      Hasil penelitian memberi informasi bahwa dalam berusaha ada yang menggunakan modal sendiri, ada yang meminjam di koperasi dan bank di samping dengan modal sendiri. Ada pula yang meminjam baik dari orang, LSM atau rentenir. Di samping itu ada yang berjualan dengan sistem bagi hasil, di mana barang diambil dari orang lain atau produsen untuk dijual kemudian hasilnya dibagi dua.  Hasil penelitian mengungkapkan bahwa sebagian besar responden dalam berusaha menggunakan modal sendiri yakni  62,5 %. Yang meng-gunakan modal sendiri serta pinjaman 17,5 %, yang murni meminjam 12,5 %, dan sistem bagi hasil 7,5 %.
      Prosentase sumber dana untuk papalele terbesar adalah responden yang mengandalkan modal sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki kemampuan untuk mengelola usahanya sehingga usaha mereka bisa berlanjut, walaupun modal itu masih terbatas untuk kelangsungan papalelenya saja, belum sampai pada upaya responden untuk mengembangkan usahanya. 
       Ada responden yang telah memiliki akses modal pada lembaga keuangan seperti bank dan koperasi, walaupun tidak besar. Hal ini menunjukkan bahwa responden telah berusaha memanfaatkan lembaga keuangan untuk menopang usahanya.
Pendapatan
      Dari hasil papalelenya diperoleh informasi bahwa pendapatan responden bervariasi antara yang paling terendah Rp. 50.000,-   sampai dengan Rp.350.000,- per-hari. Teridentifikasi bahwa pendapatan   ≤ Rp.50.000,-   sebanyak 17,5 %, antara Rp.75.000–Rp.100.000,- 40 %, antara Rp.150.000–Rp.200.000,- 22,5 %, antara Rp.250.000– Rp.300.000,- 12,5 %, dan               ≥ 350.000,-  sebanyak 7,5 %.     
       Besar pendapatan yang berbeda tersebut disebabkan karena jenis dan volume barang papalele yang  berbeda.             
       Rata-rata dengan pendapatan tersebut, responden dapat memenuhi kebutuhan hidupnya setiap hari, walaupun ada yang hanya cukup untuk makan saja.  Lebih dari itu mereka harus berhemat dan mengatur dengan baik keuangan-nya untuk mengantisipasi anggota keluarga jika sakit atau kebutuhan pendidikan anak, ataupun kebutuhan lain yang mendesak. Akan tetapi ada pula responden yang penda-patannya kurang cukup,  sehingga terpaksa harus berhutang kepada orang lain untuk membelan-jakan barang untuk papalele, dengan perjanjian akan dikembalikan setelah barang papalelenya laku.
Tabungan Responden 
       Dari hasil papalele, oleh responden  ada yang disisipkan untuk menabung tetapi ada juga yang tidak menabung. Responden yang menabung 32,5 % sedangkan yang tidak menabung 67,5 %. Responden yang menyisihkan hasil papalelenya untuk menabung baik di bank maupun menyimpan sendiri di rumah. Tujuan menabung selain untuk belanja barang papalele tetapi juga untuk pendidikan anak serta untuk kebutuhan yang mendesak, seperti anggota keluarga yang sakit atau tanggungan sosial. Responden yang menabung adalah mereka yang memperoleh keuntungan dari hasil papalelenya.  Sementara responden yang tidak menabung adalah mereka yang hasil papalelenya kecil atau sedikit, sehingga keuntungan yang diperoleh digunakan pula untuk membeli kembali barang-barang papalele serta kebutuhan rumah tangga setiap hari.
        Di sisi lain, ada responden yang walaupun tidak menabung baik di bank ataupun menabung sendiri di rumah, namun responden memiliki alternatif untuk menyimpan uang hasil papalele mereka melalui permainan arisan (sebagai bentuk mekanisme perlindungan usaha) agar usaha papalele mereka tetap berjalan.
Pengeluaran
        Dalam membelanjai kebutuhan hidup setiap hari,  bervariasi antara Rp.50.000 sampai Rp.200.000. Terungkap bahwa responden yang pengeluaran setiap hari sebagian besar rata-rata Rp.50.000,- atau kurang dari itu, sebesar 47,5 %, antara Rp.75.000-100.000,- 27,5 %, antara Rp.150.000-200.000,- 17,5 %, dan sama atau lebih dari Rp.250.000,-  sebesar  7,5 %.
        Dari biaya-biaya yang dikeluarkan responden tersebut  tidak saja untuk kebutuhan makan tiap hari, tetapi juga termasuk belanja barang jualan/papalele. Teridentifikasi bahwa pengeluaran yang berkisar di atas Rp.150.000 sampai dengan Rp.350.000,- adalah responden yang kebanyakan berjualan bahan-bahan kebu-tuhan pokok setiap hari, seperti sayur, cili, tomat,  bawang atau bumbu masak, serta yang berjualan ikan mentah dan ikan asap. Di samping kebutuhan tiap hari dan belanja barang jualan, juga termasuk biaya pendidikan. Dengan usaha papalele ini ada responden yang dapat membiayai anak mereka sampai ke jenjang pendidikan tinggi.
Perhatian Pemerintah
      Terlepas dari perilaku ataupun persepsi berbagai pihak terutama Pemerintah Kota Ambon terhadap para pedagang tradisional khas Ambon ini, namun  tidak dapat dipungkiri bahwa para pedagang papalele ini turut membantu mengatasi masalah pengangguran dan kemiskinan di Kota Ambon.
        Perhatian pemerintah kota Ambon masih sangat kecil terhadap usaha papalele.  Terungkap dari pengakuan sebagian besar responden    bahwa perhatian Pemda Kota Ambon terhadap mereka masih sangat kecil, yakni 82,5% menyatakan mereka tidak pernah diperhatikan, dan hanya sebagian kecil yang mengaku sedikit diberi perhatian, yakni  17,5 %.  Perhatian yang berikan lebih khusus hanya kepada kelompok responden papalele ikan asap di Galala. Perhatian diberikan itupun hanya dalam bentuk tenda jualan. Sementara bantuan lain tidak pernah diberikan baik dalam bentuk modal atau pun pembinaan. 
         Sebagian besar responden merasa selama ini diabaikan oleh Pemda Kota Ambon, malah sering diusir atau bahkan digusur oleh satpol pamong praja dengan alasan ketertiban dan keindahan kota. Pemerintah, menurut mereka memang telah menyediakan tempat, seperti pasar Gotong Royong Mardika maupun Pasar Tagalaya di Batu Gantung, namun sepi dari pengunjung, menyebabkan barang papalele mereka tidak laku. Mengakibatkan kerugian yang harus mereka alami karena tidak mengembalikan modal, sementara mereka harus terus membayar pajak tempat.  Sebagai alter-natif, pilihan mereka terpaksa harus berjualan atau papalele di trotoar, emper toko, lorong-lorong jalan, ataupun di badan-badan jalan yang berakibat  terhadap kelancaran arus lalu lintas serta keindahan kota, di samping menimbulkan masalah sampah.
        Nampaknya tidak ada pilihan lain, karena tempat-tempat  tersebut menurut responden strategis, selain mudah dijangkau oleh pembeli juga efisien dari segi biaya dan waktu. Aspek ini yang nampaknya  kurang mendapat kajian pemda kota Ambon baik dari  segi ekonomi, sosial maupun budaya mendahului kebijakan perencanaan kota secara komprehensif dan terintegrasi.
        Karena itu, hasil penelitian ini  diperoleh kesan tentang tingkat ekspektasi responden terhadap perhatian pemda kota Ambon bagi mereka cukup tinggi. Sebagian besar responden  berharap tidak saja pedagang-pedagang besar dan menengah diperhatikan melalui berbagai fasilitas, tetapi juga dalam perspektif mereka pemda kota Ambon menganggap mereka kurang memberikan ”nilai tambah” bagi pemda kota. Namun bagi responden, jika tempat-tempat yang telah disediakan pemda tersebut ramai dikunjungi pembeli yang membuat barang mereka laku sehingga mereka dapat membayar pajak tempat usaha, maka merekapun  bersedia menempatinya.
         Harapan responden tersebut bila dipahami, sebetulnya memberi  gambaran tentang betapa jeritan hati yang tak terungkapkan dari orang-orang kecil yang selalu ”kalah” perjuangan dalam mempertahankan eksistensi mereka (the silent voice of weakling). Namun di sisi lain, mereka tetap tegar dan harus berjuang, walaupun sering diabaikan baik dalam bentuk kebijakan perencanaan, hukum maupun anggaran (bugeting), serta dukungan politik dari lembaga legislatif kota Ambon.

Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas,  maka dapat disimpulkan hasil penelitian ini sbb :
1. Aktivitas papalele yang dilakukan responden sampel sebagian besar telah menekuni pekerjaan ini cukup lama, minimal 6 tahun dan paling lama 30 tahun, dengan kategori umur 30 tahun ke atas. Kebanyakan mereka telah kawin dan memiliki anak minimal 2 – 4 orang. Status pendidikan mereka sebagian besar SD dan SMA.
2.  Aktivitas papalele ini dilakukan selain sebagai tradisi turun-temurun, namun juga dilakukan untuk memenuhi kebutuhan keluarga, pendidikan anak, serta kelangsungan usaha papalele. Rata-rata responden melakukan aktivitas papalele sehari menggunakan waktu paling sedikit sekitar 3 sampai 6 jam, paling banyak 9 sampai 10 jam ke atas.
3.  Dalam melangsungkan usaha papalelenya sebagian besar responden menggunakan modal sendiri, kecuali beberapa responden yang telah menggunakan akses lembaga keuangan, seperti bank dan koperasi. Tetapi ada yang meminjam untuk kelangsungan usaha papalelenya, atau dengan sistem bagi hasil.
4.  Sebagai usaha dagang tradisional,  responden merasa kurang diperhatikan oleh pemda kota Ambon, terutama dalam bentuk fasilitas tempat maupun dalam bentuk perlindungan hukum serta bantuan modal usaha ataupun pembinaan.  Belum ada kemauan politik melalui  kebijakan anggaran (pro-bugeting) serta dukungan politik dari legislatif bagi eksistensi papalele sebagai usaha dagang tradisional yang khas masyarakat Ambon, yang mengakibatkan responden sangat rentan terhadap ancaman hukum, sosial, dan budaya maupun kelang-sungan eksistensi usaha  papalele ini.
5. Belum ada sistem perlindungan sosial bagi responden yang  menjamin resiko  dan   kelangsungan usaha mereka. Untuk mengantisipasi kelangsungan usaha mereka, maka responden menciptakan mekanisme perlindungan sendiri melalui permainan arisan.
6.  Papalele adalah ” pure entrepreneurial” atau wirausaha  murni yang tangguh, yang meru-pakan wujud usaha dagang tradisional di sektor informal yang orisinil  dan memiliki kekhasan, dan diwariskan secara turun-temurun. Ia telah melembaga dalam bentuk nilai-nilai semangat berusaha yang pantang menyerah terhadap  kemajuan atau perubahan zaman. Ia tahan dalam menghadapi tantangan dalam bentuk apapun baik karena modernisasi ekonomi kota (orientasi ekonomi kapitalis) maupun perkembangan kota akibat urbanisasi dan mobilisasi sosial yang semakin cepat (rapit social change).



S a r a n
      Berdasarkan kesimpulan di atas, maka dikemukakan saran sebagai berikut :
1. Sebagai usaha dagang tradisional asli mas-yarakat Ambon, papalele perlu dipertahankan eksistensinya. Karena di dalam papalele memiliki nilai-nilai semangat wirausaha murni (pure entrepreneurial) yang dapat dibina dan dikembangkan menjadi  pengusaha-pengusaha yang tangguh dan bersakala besar. Di samping itu di dalam  papalele juga ada nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom)  seperti: saling menolong, kerjasama, kejujuran, tenggang rasa, keuletan,  dan kesabaran. Untuk itu papalele perlu diwariskan kepada generasi mendatang baik secara alamiah (natured) maupun terutama melalui sosialisasi dan pembinaan dalam berbagai bentuk, termasuk diajarkan kepada siswa pada tingkat sekolah dasar dan menengah melalui kurikulum muatan local maupun mahasiswa pada perguruan tinggi.
2. Papalele sebagai usaha dagang tradisional khas masyarakat Ambon jika dibina serta dikembangkan dengan baik, maka segmen ekonomi ini dapat turut memberikan kontribusi dalam mengatasi masalah pengangguran, tenaga kerja, dan kemiskinan,  serta kontribusi kepada PAD Kota Ambon. Untuk itu  papalele harus mendapat perlindungan baik secara hukum, politik, sosial maupun budaya. Sehingga papalele mendapat tempat dalam kebijakan perencanaan dan pengembangan struktur ekonomi Kota (ekonomi modern). Karena itu perlu Perda (Peraturan Daerah) Perlindungan Terhadap Pedagang Papalele secara khusus dan  sektor informal umumnya, agar terjamin kepastian hukum, politik, sosial, ekonomi, dan budaya bagi mereka.   

  Referensi
Arief, Sritua, Dari Prestasi Pembangunan  Sampai  Ekonomi Politik,  UI Press, Jakarta, 1990.
Fakih, Mansour, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, Pustaka Pelajar Bekerjasama dengan INSIST Press, Yogyakarta, 2002.
Isbandi, Rukminto Adi, Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat dan Intervensi  Komunitas (Pengantar pada Pemikiran dan Pendekatan Praktis), (edisi revisi) FE-UI, Jakarta, 2003.
Kota Ambon Dalam Angka : 2007.
Koentjaraningrat (Red), Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Gramedia, edisi ketiga,  Jakarta, 1993.
Mubyarto, Reformasi Sistem Ekonomi : Dari Kapitalisme menuju Ekonomi Kerakyatan, Aditya Media, Yogyakarta, 1999.
Revrisond Baswir, Agenda Ekonomi Kerakyatan, Pustaka Pelajar dan IDEA,  Yogyakarta, 1997.
Ronald  Clapham, Pengusaha Kecil dan Menengah di Asia Tenggara, LP3ES, 1991.
Remi, Sutyastie Soemitro & Prijono Tjiptoherijanto, Kemiskinan dan Ketidakmerataan di   Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 2002.
Sherraden, Michael, Aset untuk Orang Miskin : Perspektif Baru Usaha Pengentasan Kemiskinan, Grasindo Perkasa, Jakarta, 2006.
Sanafiah Faisal, Format-format Penelitian Sosial : Dasar-dasar dan Aplikasi, Rajawali Pers, Cetakan Kedua, Jakarta, 1992.
Singarimbun, Masri & Sofian Effendi (ed), Metode Penelitian Survai (Cet. Kedua),  LP3ES, Jakarta, 1995.
Supriatna, Tjahya, Strategi Pembangunan dan Kemiskinan, Rineka Cipta, Jakarta,  2000.
Sumawinata, Sarbini, Politik Ekonomi Kerakyatan, Gramedia, Jakarta, 2004.
Sumodiningrat, Gunawan, Membangun Perekonomian Rakyat, Pustaka Pelajar    Bekerjamasa dengan IDEA,  Yogyakarta, 1998. 
Soetrisno, Loekman, Kemiskinan, Perempuan, dan Pemberdayaan, Kanisius,  Yogyakarta, 1997.
Schumacher, E.F, Kecil Itu Indah: Ilmu Ekonomi Yang Mementingkan Rakyat Kecil, (Cet.ke-6), LP3ES, Jakarta, 1987.
Usman, Sunyoto, Pembangunan dan Pemberdayan Masyarakat, Pustaka Pelajar (cet. ke-5), Yogyakarta, 2008.
Yustika, Ahmad Erani, Negara vs Kaum Miskin, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003.       

Tidak ada komentar:

Posting Komentar