Studi Terhadap Perempuan Papalele di Kota Ambon
Oleh :
Max Maswekan
Dosen FISIP UKIM -
Ambon
Abstract
Sektor informal adalah alternatif yang
sangat efektif dan efisien dalam
mengatasi pengangguran dan kemiskinan. Sektor ini tidak membutuhkan modal yang
besar dan keterampilan yang memadai,
namun ini mampu bertahan saat
pengusaha-pengusaha besar tidak mampu
menghadapi krisis moneter dan
ekonomi.
Perempuan Papalele adalah salah satu jenis sektor informal yang ada di Kota Ambon, dan memiliki ciri
khas dari aspek budaya maupun sosiologis. Aktivitas perempuan papalele ini
sudah muncul sejak lama dan menjadi salah satu aktivitas dagang tradisional
yang dilakukan oleh perempuan atau
ibu-ibu rumah tangga. Mereka memiliki jiwa wirausaha murni atau sejati (pure entrepreneur) karena
ketangguhan yang dimiliki. Mereka memiliki modal sendiri walaupun kecil, sabar
serta ulet dalam melakukan aktivitasnya setiap hari.
Jumlah perempuan papalele di kota Ambon
masih cukup banyak. Namun hingga kini belum ada perhatian serius dari Pemerintah Kota Ambon, legislatif, maupun swasta untuk
memberdayakan mereka. Malah sering
mereka diperlakukan kurang adil melalui kebijakan-kebijakan Pembangunan
Kota. Karena itu, studi tentang
perempuan papalele ini cukup
penting untuk mendeskripsikan aktivitas
dan permasalahan mereka, untuk melahirkan pikiran-pikiran rekomendatif bagi
Pemda Kota Ambon serta pihak terkait dalam rangka merumuskan program-program
yang berpihak kepada perempuan Papalele khususnya dan sektor informal pada
umumnya.
Key
world :
Informal sector, papalele, pure entrepreneurial, entrepreneurial spirit,
self employed.
______________________________________________________________________________
Pendahuluan
Kemiskinan telah menjadi masalah
nasional, malah sudah menjadi isu global yang menjadi salah satu program
Millennium Development Goal’s (MDGs). Indonesia pun merupakan negara yang turut
mendukung program tersebut. Salah satu
program utama
adalah masalah gender dan
kemiskinan. Indonesia sejak merdeka hingga pemerintahan sekarang masih tetap
bergumul dengan kemiskinan sebagai masalah nasional yang diprioritaskan dalam program pemba-ngunan. Namun hingga
kini kemiskinan belum berhasil
dituntaskan, walaupun diakui angka kemiskinan bisa dikurangi prosentasenya. Di
masa pemerintahan Orde Baru kemiskinan berhasil ditekan sampai 15 % dari total
jumlah penduduk, malaupun secara nasional prosentase kemiskinan pun hingga kini
tidak menglami penurunan yang berarti.
Diakui bahwa pemerintahan sekarang
telah berupaya mengatasi kemiskinan melalui berbagai program pemberdayaan. Namun program-program
pemberdayaan tersebut belum berhasil secara efektif menuntaskan masyarakat dari
kemiskinan, disebabkan karena berbagai
faktor dan kendala baik struktural, kultural, maupun alamiah.
Sebagaimana secara nasional, pada aras
lokal masalah kemiskinan di daerah Maluku pun hingga kini menjadi isu utama dalam program-program
pembangunan daerah. Tahun 2003 angka kemiskinan di Maluku mencapai 56 %. Tahun
2007/2008 berhasil dikurangi menjadi ± 36 %. Dari jumlah tersebut wanita pun
menduduki porsi yang cukup besar. Masalah yang sama di Kota Ambon di mana
tingkat kemiskinan pun masih menjadi masalah pembangunan yang dipri-oritaskan
pemerintah Kota, namun hingga kini
kemis-kinan belum juga berhasil dituntaskan. Dari jumlah tersebut perempuan pun masih
menem-pati porsi yang cukup besar.
Berbagai upaya melalui program
pember-dayaan oleh Pemerintah Kota Ambon telah dan sedang dilakukan, baik
program secara nasional maupun program pemerintah kota. Itu pun belum bisa
menuntaskan masalah kemis-kinan di Kota
Ambon. Tingkat pengangguran dan pencari
kerja masih cukup signifikan yang kemudian ber-dampak melahirkan berbagai
masalah sosial seperti, pencurian, perampokan, pengemis, anak jalanan,
prostitusi, dan masalah kriminal lain yang masih cukup tinggi di Kota Ambon.
Sektor informal merupakan alternatif yang
paling efektif dan efisien dalam mengatasi pengangguran dan kemiskinan, karena
sektor ini tidak membutuhkan modal yang besar dan keterampilan yang cukup.
Di samping itu sektor ini mampu bertahan
saat pengusaha-pengusaha besar
tidak mampu menghadapi krisis
moneter dan ekonomi yang menerpa
bangsaIndonesia. Pertengahan tahun 1997,
serta konflik sosial di Maluku tahun 1999 yang masih meninggalkan dampak hingga
kini. Namun sektor ini masih kurang
mendapat perhatian yang serius baik dari
pemerintah Kota Ambon, legislatif maupun swasta. Malah sering mereka
diperlakukan kurang adil melalui kebijakan-kebijakan pembangunan dengan melakukan pengusiran-pengusiran serta penggusuran yang kurang manusiawi tanpa
memahami keberadaan mereka serta tidak dilakukan analisis secara komprehensif untuk membuat perencanaan
dan kebijakan-kebijakan dalam rangka
memberda-yakan sektor ini dengan
baik.
Perempuan Papalele adalah salah satu jenis sektor informal di samping jenis lain yang ada di Kota Ambon.
Mereka memiliki keunikan (ciri khas)
dari aspek budaya. Aktivitas perempuan papalele ini sudah muncul sejak lama dan
menjadi salah satu aktivitas dagang tradisional yang dilakukan oleh perempuan.
Mereka memiliki jiwa wirausaha murni
atau sejati (pure entrepreneurial) karena ketangguhan yang dimiliki,
yakni mempunyai modal sendiri walaupun kecil, sabar serta ulet karena setiap
hari aktivitas yang dilakukan tanpa
fasilitas yang memadai dan sering harus bertahan di tengah panas maupun hujan. Ada yang harus
menjaja atau berjalan kaki mengelilingi pusat
keramaian kota Ambon membawa (bahasa Ambon: meng-keku) tanpa mengenal
lelah barang jajaannya, seperti ikan
asar, ikan mentah, buah-buahan atau
jenis pangan lainnya.
Jumlah perempuan papalele ini masih cukup banyak di kota Ambon. Namun
hingga kini belum ada perhatian yang
serius dari Pemda Kota Ambon, legistatif, maupun swasta untuk memberdayakan mereka. Karena itu studi
tentang perempuan papalele ini penting
dalam rangka mengetahui permasalahan yang dihadapi untuk melahirkan
pikiran-pikiran rekomendatif dalam rangka memberdayakan perempuan yang
beraktivitas di sektor informal secara
lebih baik (profesional) tanpa menghilangkan ciri khasnya, agar dapat
mem-berikan kontribusi bagi kesejahteraan rumah tangganya maupun turut membantu
memberikan kontribusi bagi PAD kota Ambon, dan menumbuhkan semangat
kewirausahaan (enterpreneurial), serta meng-angkat harkat dan martabat
perempuan.
Tujuan dan Manfaat
Penelitian
2.Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk :
○ Mendeskripsikan aktivitas dan
permasalahan perempuan papalele;
○ Merumuskan rekomendasi kepada Pemda kota
Ambon, legislatif maupun pihak terkait
dalam rangka merumuskan program pem-berdayaan dan pembinaan secara
terintegrasi dan komprehenshif menetapkan kebijakan-kebijakan pembangunan
kota Ambon yang memihak kepada sektor informal (Pro-self employed
policy);
○
Merubah pandangan pemda kota Ambon
dan pihak terkait tentang
perempuan papalele, serta mengangkat harkat dan martabatnya serta
memandirikan mereka dalam rangka memberikan kontribusi bagi PAD kota Ambon
serta memperkuat basis pereko-nomian rakyat, sekaligus pemberdayaan dan
pemandirian peran perempuan dalam sektor informal.
3.
Manfaat
Penelitian ini diharapkan bermanfaat
bagi :
○ Pemerintah Kota
Ambon dan pihak terkait dalam rangka merumuskan kebijakan-kebijakan program
pemberdayaan melalui kebijakan penganggaran (pro-bugeting) bagi sektor informal khususnya dalam rangka
memberdayakan perempuan papalele serta perempuan umumnya yang bergerak di
sektor informal;
○ Hasil penelitian ini diharapkan pula
dapat memberi masukan kepada pihak Pemerintah Kota Ambon untuk merumuskan
Peraturan Daerah (Perda) yang memberi perlindungan hukum kepada sektor informal
di kota Ambon;
○ Sebagai bahan informasi bagi dosen dan
mahasiswa serta pihak-pihak yang berminat dalam studi atau kajian-kajian
tentang masalah perempuan dan
kemiskinan.
Tinjauan
Pustaka
Konsep
Sektor Informal
Tidak dapat dipungkiri bahwa sektor
informal adalah sektor perekonomian
tertua bila dibandingkan dengan sektor formal di samping sektor tradisional (pertanian), dan sektor informal ini
mempunyai kontribusi yang cukup penting bagi perekonomian suatu negara secara
khusus Indonesia. Hal ini dikemukakan oleh
Revrisond Baswir, sbb :
”...Padahal, dilihat dalam konteks ”asli” dan
”pendatang”, justru sektor informal inilah sebenarnya yang merupakan ”anak
kandung” perekonomian Indonesia. Jauh sebelum peme-rintah Hindia Belanda
memperkenalkan konsep ekonomi modern di negeri ini, kegiatan ekonomi yang kini
disebut sebagai sektor informal itu, sudah terselenggara dengan mapan. Lingkup
kegiatan pun tidak hanya terbatas pada sektor perdagangan di desa, tapi sudah
meluas sampai pada sektor industri dan jasa-jasa angkutan di kota”. (Revrisond Baswir, 1997:41).
Walaupun sektor informal ini adalah sektor yang sudah lama ada dan
punya peranan yang cukup penting dalam sistem perekonomian, namun sektor ini
baru diperkenalkan oleh Keith Hart pada tahun 1971, yang
kemudian dipopulerkan oleh ILO. Malah
menurut Loekman Soetrisno sektor informal ini adalah sektor yang tertua di dunia
dan saat itu ia dianggap sebagai sektor formal. Loekman mengemukakan, sebagai
berikut :
”...apa yang
kita sebut sebagai sektor informal bukanlah suatu fenomena baru, sebab sektor
informal ini ada di tengah kita sejak manusia berada di dunia ini. Sejak
manusia ada di dunia mereka menunjang hidup mereka dengan cara menciptakan
kerja sendiri atau self-employed. Sampai dengan munculnya revolusi industri organisasi produksi yang berdasarkan hubungan
kerja majikan dan pekerja tidak dikenal oleh manusia. Dengan kata lain
”self-employed” pada mulanya adalah orga-nisasi produksi yang formal”. (Loekman Soetrisno, 1997:44).
Dari apa yang dikemukakan di atas, dapatlah
dipahami bahwa sebetulnya sektor informal ini adalah sektor tertua dalam
perekonomian yang mempunyai peranan dan andil yang cukup besar dalam membangun
perekonomian suatu negara. Namun sektor ini masih belum mendapat perhatian yang
serius malah belum ditempatkan pada posisi yang penting dalam sistem
perekonomian. Justru sebaliknya sektor ini masih diperlakukan sebagai ”anak
tiri” di dalam sistem perekonomian baik
pada aras nasional maupun lokal. Komitmen pemerintah masih sangat kecil kepada
sektor informal. Hal ini terlihat dari kebijakan-kebijakan anggaran, hukum dan
politik yang belum memihak atau memberikan porsi yang memadai. Begitupun dengan
pengusaha-pengusaha swasta, BUMN dan
BUMD juga belum memberikan perhatian
yang serius melalui program-program pemberdayaan dengan membangun sistem
kemitraan dan kemudahan-kemudahan bagi pertumbuhan sektor ini. Seringkali pilihan-pilihan kebijakan
yang dilakukan baik pemerintah maupun swasta (pengusaha besar), BUMN dan BUMD
masih sangat kuat mempertimbangkan profit dan jaminan kelayakan usaha, tanpa memahami secara mendasar dan
komprehenshif latarbelakang
karakteristik sektor ini dengan studi-studi yang baik dalam rangka
memberdayakan mereka untuk mandiri, yang kemudian akan menjadi pilar
perekonomian rakyat yang pada gilirannya memperkuat fundamen ekonomi nasional
dan daerah.
Kondisi ini telah diciptakan sejak
permulaan pemerintahan orde baru secara nasional melalui perencanaan
pembangunan (Repelita) yang lebih berorientasi pada industri besar dengan investasi modal asing
dalam rangka mempercepat dan menaikkan
angka pertumbuhan ekonomi nasional (Ronald
Clapham, 1991 : 64-111). Kalaupun kebijakan-kebijakan yang diambil
untuk memberdayakan melalui program-program pemberdayaan kepada sektor ini adalah masih sangat terbatas serta hanya
berfungsi sebagai ”katup pengaman” agar tidak menimbulkan gejolak-gejolak sosial, namun tidak melalui
perencanaan yang mendasar dan komprehensif serta terlembaga secara
berkesinambungan.
Kenyataan bahwa sektor informal khususnya
aktivitas papalele ini dilakukan oleh perempuan atau wanita yang telah lama ada
sejak dulu dan telah menjadi tradisi atau identitas tersendiri pada masyarakat
Ambon. Munculnya perempuan papalele ini di samping didorong oleh faktor ekonomi
rumah tangga yang membuat ibu-ibu atau perempuan harus melakukan pekerjaan di
luar rumah untuk membantu suami mencari pendapatan tambahan untuk membiayai
kebutuhan rumahtangga serta terutama untuk membiayai anak yang masih
bersekolah, di samping itu juga perempuan
papalele ini telah menjadi suatu budaya kerja, karena ia tumbuh dari
dalam masyarakat sendiri. Oleh karena itu dapatlah dikatakan bahwa perempuan
papalele ini adalah wirausaha murni yang asli (pure enterpreneurial oricinal)
dari tradisi dagang masyarakat Ambon. Ia sebetulnya merupakan bentuk asli
aktivitas ekonomi keluarga masyarakat
asli Ambon, di mana anggota keluarga merupakan suatu sistem tindakan ekonomi,
di mana ayah/suami atau laki-laki sebagai produsen (yakni mencari/memancing
ikan di laut atau berkebun dan hasilnya dijual oleh istri atau perempuan dalam
rumah tangga atau keluarga nelayan/petani).
Jadi istri atau perempuan adalah distributor utama (papalele) dari
hasil-hasil produksi dari para nelayan atau petani dalam struktur perekonomian
rakyat Maluku khususnya di Ambon. Namun dalam perkembangan hasil produksi yang
dijual sebagian tidak lagi secara langsung dari keluarga, tetapi dibeli dari
produsen dengan modal sendiri kemudian dijual kembali dengan harga keuntungan
yang tidak besar.
Kenyataan bahwa aktivitas di sektor
ini lebih banyak dilakukan oleh perempuan atau wanita. Itu berarti dapat
diasumsikan bahwa sebagian besar perempuan adalah pelaku utama sektor informal,
dan mereka adalah masyarakat ekonomi lemah yang kurang berdaya. Salah satu studi
di Jawa Tengah oleh Hans Dieter Evers
yang dikutip oleh Loekman Soetrisno,
di mana hasil studinya mengungkapkan bahwa 72,92 % penduduk Jawa Tengah yang
bekerja pada sektor perdagangan masuk dalam kategori sektor informal (self-employed), dan 81,6 %
penduduk yang bekerja di sektor informal adalah perempuan. Lebih jauh menurut Evers
sektor informal ini memiliki potensi untuk memecahkan masalah
kesempatan kerja, yang berarti dapat memecahkan masalah kemiskinan, sehingga
diperlukan intervensi kebijaksanaan yang
mampu memberikan kelestarian dan pengembangan usaha mereka (Loekman Soetrisno, 1997 : 46-47).
Dari fakta tersebut sebenarnya telah
memberikan alasan yang kuat bahwa sektor informal yang didominasi oleh
perempuan ini perlu mendapat perhatian yang serius baik oleh pemerintah maupun
oleh pengusaha besar, BUMN atau BUMD melalui kebijakan-kebijakan pembangunan
serta program-program pemberdayaan, karena sektor informal ini selain mampu bertahan saat krisis ekonomi,
tetapi juga memberikan andil bagi pemecahan masalah lapangan kerja dan penanggulangan kemiskinan. Namun sektor
ini masih belum mendapat tempat yang layak
dalam kebijakan-kebijakan pembangunan malah tidak jarang mereka sering
dirugikan. Hal ini dikemukakan oleh Evers
selanjutnya yang dikutip oleh Loekman,
ada beberapa kebijakan yang sering
merugikan sektor informal ini, yakni : Pertama,
adanya persepsi di kalangan pemerintah daerah di Indonesia bahwa sektor
”self-employed” ini merupakan salah satu
sumber PAD (Pendapatan Asli Daerah) melalui penarikan retribusi.
Retribusi pada dasarnya adalah merupakan pajak yang adalah kewajiban setiap
warga negara untuk membayarnya. Akan tetapi apa yang sering terjadi adalah
bahwa Pemda demi mencapai target pencapaian PAD, Pemda menaikkan retribusi yang
dikenakan kepada para pegadang kecil yang ada di pasar maupun yang berjualan di
sepanjang kaki lima di atas pendapatan riel sipedagang kecil. Kedua, deregulasi
ekonomi menimbulkan masalah timbulnya persaingan antara modal kuat dan pedagang
kecil. Munculnya pasar swalayan umpamanya telah mendesak pedagang kecil yang
banyak menyingkir ke daerah pinggiran kota yang kurang strategis letaknya,
demikian menurunkan pendapatan mereka.
Ketiga, masih adanya persepsi di kalangan pejabat pemerintah daerah yang melihat
bahwa sektor ”self-employed” atau sektor informal merupakan kelompok yang tidak
tertib dan karenanya perlu ditertibkan
agar mudah dibina. Maka keluarlah berbagai persyaratan baru dari pihak
pemerintah daerah seperti Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP), Tanda Izin
Tempat Usaha atau Tanda Kartu Perdagangan. Bagi pedagang besar hal-hal seperti
ini tidak menjadi masalah tetapi bagi pedagang kecil atau sektor informal adanya berbagai surat izin itu selain mengarah pada pelipatgandaan prosedur
administrasi juga menelan biaya dan menyita waktu (Loekman Sutrisno, 1997: 47-48).
Apa yang dikemukakan di atas memberi
gambaran bahwa banyak kali kebijakan Pemda di Indonesia belum melihat
pentingnya sektor informal sebagai sektor yang penting dan potensial dalam
rangka memecahkan masalah pengangguran dan kemiskinan umumnya dan khususnya di
perkotaan. Padahal sektor informal ini jika ditata dan dibina dengan baik
secara terencana serta komitmen yang tinggi melalui kebijakan-kebijakan
pembangunan khususnya kebijakan anggaran
yang berpihak sektor informal (self-employed pro-bugeting), maka bukan
tidak mungkin sektor ini dapat menjadi salah satu sektor andalan yang dapat memberikan kontribusi bagi
pembangunan perekonomian rakyat
khususnya perekono-mian kota, di samping sumbangannya yang efektif dan
efisien bagi pemecahan masalah
pengangguran dan kemiskinan. Hal ini tentu sangat bergantung dari pandangan
pemerintah/ pemerintah daerah dalam memahami dan memiliki definisi konsep yang
jelas tentang modernisasi kota dengan karakteristik mas-yarakatnya. Pengetahuan dan pemahaman Pemda tentang
perencanaan pembangunan daerah tidak mesti hanya dilaterbelakangi dan berorientasi pada konsep-konsep ekonomi
modern semata, tetapi mesti pula sangat penting memperhatikan ekonomi
tradisional dan sektor informal, serta faktor-faktor non-ekonomi, seperti aspek
sosiologis, kultur, historis serta ekologi suatu masyarakat perlu
mendapat pertimbangan dalam merumuskan
kebijakan-kebijakan pembangunan secara komprehensif dan terintegrasi khususnya
kebijakan-kebijakan di bidang ekonomi. Hal ini sangat perlu agar tidak lagi
mengulangi kesalahan di masa lalu di mana pemerintah secara nasional lebih
mementingkan pertumbuhan ekonomi dengan memberi prioritas kepada ekonomi makro
dengan memberi dukungan subsidi maupun dukungan politis yang besar kepada
perusahaan-perusahaan besar padat modal melalui investasi modal asing yang
besar, namun tidak efisien, sementara ekonomi mikro/kecil kurang mendapat
perhatian malah terkesan diabaikan di samping tidak didukung dengan studi-studi
yang mendalam mengenai latarbelakang sistem sosial dan budaya dari masyarakat
yang dapat memberi dukungan bagi pertumbuhan ekonomi.
Modernisasi kota tidak mesti membangun
mol-mol besar dan swalayan semata yang kemudian menggusur masyarakat ekonomi
lemah dan perdagangan tradisional atau sektor informal. Namun modernisasi kota
sebenarnya mesti mengintegrasikan sektor ekonomi modern dengan sektor ekonomi
tradisional atau pengusaha besar dan
pengusaha kecil dan menengah atau sektor informal. Cara pandang modernisasi
kota yang keliru akan mempengaruhi paradigma pembangunan terutama daerah-daerah
yang sementara mengalami proses transisi
dari kota dan masyarakat pra-urban ke urban, dari pra-metropolis ke metropolis,
yang dapat menyebabkan terjadi benturan-benturan nilai dan hakekat pembangunan
dalam arti yang hakiki. Pembangunan
tidak hanya dilihat dari satu aspek saja tetapi mesti dilihat dari berbagai
aspek secara komprehenshif dan mendasar, serta proses akselerasi pemba-ngunan
tidak mesti mengorbankan aspek-aspek tertentu yang merupakan atau menjadi
”sistem nilai” yang harus dipelihara dan dilestarikan sebagai ”harga diri” dari
masyarakat yang bersangkutan. Apalagi pada sektor informal ini lebih banyak
dilakukan oleh perempuan, sehingga jika proses pembangunan yang kemudian
mengabaikan sektor ini maka dengan sendirinya perempuan telah terabaikan
sebagai tidak penting dalam pembangunan tersebut, yang berarti pula bahwa
pembangunan itu dengan sendirinya telah kehilangan makna yang hakiki; karena
filosofi pembangunan pada hakekatnya adalah manusia dengan tujuan akhir adalah
manusia pula. Sehingga jika suatu proses pembangunan yang akhirnya mengorbankan
manusia atau menyecerkan sebagian masyarakat, maka pembangunan itu tidak
memiliki landasan filosofi dan makna
yang kuat.
Paradigma pembangunan seperti itu
menunjukkan masih kuatnya pangaruh cara
pandang warisan ideologi abat ke-19 tentang perempuan, yang sangat merugikan posisi perempuan.
Pertama, karena perempuan dianggap tugas utamanya adalah di dalam rumah tangga,
maka mereka dapat saja diabaikan dalam program-program pembangunan yang tidak
menyangkut kesejahteraan keluarga. Kedua, karena perempuan tugas utamanya
sebagai ibu rumah tangga, maka apabila mereka harus bekerja, para majikan
mereka akan memberikan upah yang lebih rendah daripada pekerja pria. Sebab pada
kenyataannya suami mereka/atau prialah yang menjadi ”provider” dalam keluarga,
dan upah perempuan dengan demikian hanya dianggap sebagai ”suplement” dari upah
yang diterima suami mereka (Loekman
Soetrisno; ibid, hal.65)
Pandangan tersebut di atas memberi
gambaran bahwa dalam proses pembangunan, perempuan umumnya masih belum
ditempatkan pada posisi penting. Apalagi
perempuan yang bekerja di sektor informal secara khusus wanita papalele
otomatis belum mendapat perhatian serius
atau mungkin saja mereka belum terpikirkan
dalam benak para policy makers apalagi diberi prioritas dalam kebijakan-kebijakan pembangunan melalui
kebijakan-kebijakan penganggaran dan dukungan politis serta perlindungan hukum.
Definisi Konsep
Agar
tidak menimbulkan interpretasi yang berbeda maka konsep pokok yang digunakan dalam penelitian ini perlu
didefinisikan.
• Perempuan Papalele; adalah akitivitas dagang
tradisional sebagai salah satu jenis sektor informal yang dilakukan oleh
perempuan atau wanita yang telah kawin
maupun belum kawin dengan menjaja (Bahasa Ambon : meng-keku) dengan berjalan
sambil membawa barang dagangan di dalam dulang (papan atau loyang), berupa ikan
asar atau ikan mentah, atau buah-buahan, makanan kering, sayur-sayuran, atau
kebutuhan pangan lain yang diproduksi sendiri atau diambil dari produsen dengan
modal sendiri. Mereka berjalan atau duduk di tempat-tempat strategis, seperti
di trotoar, pinggiran jalan, emper toko, atau pinggiran pasar;
• Rumah tangga; adalah rumah tangga wanita
papalele yang mempunyai tanggungan keluarga atau wanita yang belum kawin yang
melakukan aktivitas dagangan (papalele) sebagai pekerjaan pokok atau untuk
membantu menambah pendapatan rumah tangganya;
• Pemberdayaan;
menurut Payne, seperti yang dikutip oleh Isbandi Rukminto Adi, ialah
”membantu klein memperoleh daya untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan ia lakukan
yang terkait dengan diri mereka, termasuk mengurangi efek hambatan pribadi dan
sosial dalam melakukan tindakan. Hal ini dilakukan melalui peningkatan
kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan daya yang ia miliki, antara lain
melalui transfer daya dari lingkungannya” (Isbandi Rukminto Adi, 2003:54)
•
Kesejahteraan sosial; banyak definisi tentang kesejahteraan sosial, namun untuk
penelitian ini dikemukakan definisi menurut Undang-Undang 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial pasal 1
ayat (1), yakni : ”Kesejahteraan sosial
adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual dan sosial warga
negara agar dapat hidup layak dan mampu
mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya.
Metodologi Penelitian
● Tipe Penelitian
Penelitian
ini bersifat deskriptif kualitatif. Data yang bersifat kuantitatif dihitung prosentasenya untuk memudahkan
interpretasi, serta dianalisis secara kualitatif dan dijelaskan dalam bentuk
narasi.
● Lokasi Penelitian
Penelitian
ini dilakukan di beberapa tempat di Kota Ambon yakni, Pasar Mardika, Benteng/
Gudang Arang, Batu Meja, dan Galala. Lokasi ini dipilih karena sebagian besar
aktivitas perempuan papalele dilakukan di tempat-tempat tersebut.
● Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi
penelitian ini adalah Perempuan/Wanita yang diidentifikasi melakukan aktivitas
Papalele di kota Ambon. Sampel dilakukan secara random sederhana, yang diambil
per lokasi dengan keterwakilan jenis bahan yang dijual (papalele). Jumlah
sampel seluruhnya 40 responden.
● Teknik
Pengumpulan Data
Pengumpulan
data dilakukan dengan meng-gunakan teknik wawancara.
Pembahasan
Aktivitas Responden
Lama Responden Sebagai Papalele
Hasil penelitian menginformasikan, seba-gian besar responden telah berjualan
lebih dari 6 sampai 10 tahun. Ada yang lebih dari 15 sampai 30 tahun. Malah ada
yang telah berjualan lebih dari 31 tahun, yakni 5 orang atau12,5 %. Ada 3
responden yang baru saja berjualan kurang dari 1 tahun, dan 4 responden kurang
dari 5 tahun.
Data di atas memberi informasi bahwa
sebagian besar responden telah lama menekuni pekerjaan Papalele sebagai
pekerjaan pokok, dan bukan saja karena
pekerjaan ini mudah dan tidak membutuhkan keterampilan atau pendi-dikan yang
tinggi, dan karena itu merupakan pilihan satu-satunya; tetapi juga telah
menjadi tradisi yang dilakukan oleh perempuan Ambon. Hal ini menunjukkan bahwa
jiwa kewirausahaan (enterpreneurial) telah lama dimiliki dan tertanam oleh
perempuan Ambon secara turun-temurun. Hal ini nampak terlihat walaupun hasil
atau keuntungan dari papalele ini tidak besar, namun tetap saja dijalani dengan
tekun dan sabar. Ketekunan dan kesabaran yang ditunjukkan perempuan papalele
ini nampak dari semangat mereka yang tak pernah padam walaupun mereka sering
“digusur“ karena alasan ketertiban dan kelancaran arus lalu lintas serta
keindahan kota. Juga mereka terpaksa menggunakan tempat-tempat yang tidak layak dan bukan
peruntukannya untuk berpapalele, seperti di emperan toko, di lorong-lorong
jalan, dan trotoar.
Lama Responden Menggunakan Waktu Untuk Papalele
Volume waktu yang digunakan responden
untuk berjualan (papalele), ternyata sebagian besar menggunakan waktu untuk
berjualan antara 7 sampai dengan 9 jam, yakni 17 responden atau 42,5 %. Ada yang
menggunakan waktu antara 10 sampai 12 jam yakni 7 responden. Malah ada yang
menggunakan waktu lebih dari 13 jam sehari, yakni 3 orang
atau 7,5 %.
Dari jumlah jam atau waktu yang
diguna-kan responden untuk melakukan aktivitas papalele terlihat berbeda cukup
jauh dan ada pengaruh terhadap hasil
atau pendapatan yang diperoleh, namun
bukan menjadi faktor deter-minan.
Tetapi tergantung pada jenis barang yang dipapalekan, di samping
faktor-faktor lain, seperti kecakapan atau keterampilan menjual (menarik
pembeli/ konsumen), serta persaingan dan kualitas barang. Kecuali itu letak
atau tempat juga mempengaruhi laris tidaknya barang papalele.
Ada yang memulai aktivitas papalele pada
pagi hari, mulai jam 05.00 atau jam 06.00 wit, ada yang mulai jam 07.00 wit dan berhenti pada siang hari
atau malam hari. Yang berhenti pada siang hari kebanyakan yang menggunakan
waktu antara 3 - 6 jam adalah responden yang mempapalele ikan mentah, atau
responden pada malam hari yang mempapalele makanan jadi dan sayur-sayuran. Sedangkan sebagian responden menjual makanan
kering. Mereka ini keba-nyakan adalah responden yang tidak punya tempat
permanen, yang hanya menggunakan tempat-tempat tertentu di pasar mardika atau
di benteng atau di batumeja, di pinggir jalan dengan tenda-tenda darurat, atau
di trotoar. Sementara yang menggunakan waktu lebih dari 7 jam kebanyakan adalah
responden yang memiliki tempat yang agak permanen, yang mempapalele jenis
barang seperti sayur-sayuran, bumbu masak atau kebutuhan pokok lain.
Jenis Barang Papalele
Responden yang berjualan (papalele)
terdiri dari berbagai jenis barang, baik makanan atau kue kering, seperti sagu,
bagia, roti kering, halua, gula merah, sagu tumbuh, cakar-cakar, dan juga madu.
Jenis barang ini dijual oleh 22,5 %
responden. Untuk jenis sayur-sayuran, tomat, cili, bawang,
bumbu masak dan ubi-ubian ditekuni oleh
25 % responden. Untuk jenis buah-buahan, telur ayam kampung, dan madu
ditekuni oleh 20 % responden. Untuk jenis makanan jadi dan kue-kue (kue basah)
ditekuni oleh 17,5 % responden. Sedangkan untuk jenis ikan mentah dan ikan asap
ditekuni oleh 15 % responden.
Barang-barang yang dijual (papalele)
kebanyakan dibeli dari produsen atau orang lain, namun ada juga yang diproduksi
sendiri, seperti sagu, halua, bagia, gula merah atau makanan kering, telur ayam
kampung. Kebanyakan disuplai dari Saparua atau Haruku yang dibuat atau
diproduksi oleh keluarga responden sendiri. Kecuali kue basa dan makanan jadi.
Namun ada juga sebagian yang membeli dari produsen. Sedangkan sayur-sayuran, buah-buahan,
madu, ikan mentah dan ikan asap,
sebagian besar dibeli dari produsen petani dan nelayan, seperti papalele ikan
asap di Gagala kebanyakan dibeli dari
motor ikan, atau papalele ikan mentah di pasar benteng, kebanyakan responden
membeli dari nelayan di Latuhalat atau Amahusu, dan sebagian lagi dibeli
langsung dari nelayan di pasar mardika.
Sumber Modal Usaha
Hasil penelitian memberi informasi bahwa
dalam berusaha ada yang menggunakan modal sendiri, ada yang meminjam di koperasi
dan bank di samping dengan modal sendiri. Ada pula yang meminjam baik dari
orang, LSM atau rentenir. Di samping itu ada yang berjualan dengan sistem bagi
hasil, di mana barang diambil dari orang lain atau produsen untuk dijual
kemudian hasilnya dibagi dua. Hasil
penelitian mengungkapkan bahwa sebagian besar responden dalam berusaha
menggunakan modal sendiri yakni 62,5 %.
Yang meng-gunakan modal sendiri serta pinjaman 17,5 %, yang murni meminjam 12,5
%, dan sistem bagi hasil 7,5 %.
Prosentase sumber dana untuk papalele
terbesar adalah responden yang mengandalkan modal sendiri. Hal ini menunjukkan
bahwa sebagian besar responden memiliki kemampuan untuk mengelola usahanya
sehingga usaha mereka bisa berlanjut, walaupun modal itu masih terbatas untuk kelangsungan
papalelenya saja, belum sampai pada upaya responden untuk mengembangkan
usahanya.
Ada responden yang telah memiliki akses
modal pada lembaga keuangan seperti bank dan koperasi, walaupun tidak besar.
Hal ini menunjukkan bahwa responden telah berusaha memanfaatkan lembaga
keuangan untuk menopang usahanya.
Pendapatan
Dari hasil papalelenya diperoleh
informasi bahwa pendapatan responden bervariasi antara yang paling terendah Rp.
50.000,- sampai dengan Rp.350.000,-
per-hari. Teridentifikasi bahwa pendapatan
≤ Rp.50.000,- sebanyak 17,5 %,
antara Rp.75.000–Rp.100.000,- 40 %, antara Rp.150.000–Rp.200.000,- 22,5 %,
antara Rp.250.000– Rp.300.000,- 12,5 %, dan ≥ 350.000,- sebanyak 7,5 %.
Besar pendapatan yang berbeda tersebut
disebabkan karena jenis dan volume barang papalele yang berbeda.
Rata-rata dengan pendapatan tersebut,
responden dapat memenuhi kebutuhan hidupnya setiap hari, walaupun ada yang
hanya cukup untuk makan saja. Lebih dari
itu mereka harus berhemat dan mengatur dengan baik keuangan-nya untuk
mengantisipasi anggota keluarga jika sakit atau kebutuhan pendidikan anak,
ataupun kebutuhan lain yang mendesak. Akan tetapi ada pula responden yang
penda-patannya kurang cukup, sehingga
terpaksa harus berhutang kepada orang lain untuk membelan-jakan barang untuk
papalele, dengan perjanjian akan dikembalikan setelah barang papalelenya laku.
Tabungan
Responden
Dari hasil papalele, oleh responden ada yang disisipkan untuk menabung tetapi ada
juga yang tidak menabung. Responden yang menabung 32,5 % sedangkan yang tidak
menabung 67,5 %. Responden yang menyisihkan hasil papalelenya untuk menabung
baik di bank maupun menyimpan sendiri di rumah. Tujuan menabung selain untuk
belanja barang papalele tetapi juga untuk pendidikan anak serta untuk kebutuhan
yang mendesak, seperti anggota keluarga yang sakit atau tanggungan sosial.
Responden yang menabung adalah mereka yang memperoleh keuntungan dari hasil
papalelenya. Sementara responden yang
tidak menabung adalah mereka yang hasil papalelenya kecil atau sedikit,
sehingga keuntungan yang diperoleh digunakan pula untuk membeli kembali
barang-barang papalele serta kebutuhan rumah tangga setiap hari.
Di sisi lain, ada responden yang
walaupun tidak menabung baik di bank ataupun menabung sendiri di rumah, namun
responden memiliki alternatif untuk menyimpan uang hasil papalele mereka
melalui permainan arisan (sebagai bentuk mekanisme perlindungan usaha) agar
usaha papalele mereka tetap berjalan.
Pengeluaran
Dalam membelanjai kebutuhan hidup
setiap hari, bervariasi antara Rp.50.000
sampai Rp.200.000. Terungkap bahwa responden yang pengeluaran setiap hari
sebagian besar rata-rata Rp.50.000,- atau kurang dari itu, sebesar 47,5 %,
antara Rp.75.000-100.000,- 27,5 %, antara Rp.150.000-200.000,- 17,5 %, dan sama
atau lebih dari Rp.250.000,-
sebesar 7,5 %.
Dari biaya-biaya yang dikeluarkan
responden tersebut tidak saja untuk
kebutuhan makan tiap hari, tetapi juga termasuk belanja barang jualan/papalele.
Teridentifikasi bahwa pengeluaran yang berkisar di atas Rp.150.000 sampai
dengan Rp.350.000,- adalah responden yang kebanyakan berjualan bahan-bahan
kebu-tuhan pokok setiap hari, seperti sayur, cili, tomat, bawang atau bumbu masak, serta yang berjualan
ikan mentah dan ikan asap. Di samping kebutuhan tiap hari dan belanja barang
jualan, juga termasuk biaya pendidikan. Dengan usaha papalele ini ada responden
yang dapat membiayai anak mereka sampai ke jenjang pendidikan tinggi.
Perhatian
Pemerintah
Terlepas dari perilaku ataupun persepsi
berbagai pihak terutama Pemerintah Kota Ambon terhadap para pedagang
tradisional khas Ambon ini, namun tidak
dapat dipungkiri bahwa para pedagang papalele ini turut membantu mengatasi masalah
pengangguran dan kemiskinan di Kota Ambon.
Perhatian pemerintah kota Ambon masih
sangat kecil terhadap usaha papalele.
Terungkap dari pengakuan sebagian besar responden bahwa perhatian Pemda Kota Ambon terhadap
mereka masih sangat kecil, yakni 82,5% menyatakan mereka tidak pernah
diperhatikan, dan hanya sebagian kecil yang mengaku sedikit diberi perhatian,
yakni 17,5 %. Perhatian yang berikan lebih khusus hanya
kepada kelompok responden papalele ikan asap di Galala. Perhatian diberikan
itupun hanya dalam bentuk tenda jualan. Sementara bantuan lain tidak pernah
diberikan baik dalam bentuk modal atau pun pembinaan.
Sebagian besar responden merasa selama
ini diabaikan oleh Pemda Kota Ambon, malah sering diusir atau bahkan digusur
oleh satpol pamong praja dengan alasan ketertiban dan keindahan kota.
Pemerintah, menurut mereka memang telah menyediakan tempat, seperti pasar
Gotong Royong Mardika maupun Pasar Tagalaya di Batu Gantung, namun sepi dari
pengunjung, menyebabkan barang papalele mereka tidak laku. Mengakibatkan
kerugian yang harus mereka alami karena tidak mengembalikan modal, sementara
mereka harus terus membayar pajak tempat.
Sebagai alter-natif, pilihan mereka terpaksa harus berjualan atau
papalele di trotoar, emper toko, lorong-lorong jalan, ataupun di badan-badan
jalan yang berakibat terhadap kelancaran
arus lalu lintas serta keindahan kota, di samping menimbulkan masalah sampah.
Nampaknya tidak ada pilihan lain,
karena tempat-tempat tersebut menurut
responden strategis, selain mudah dijangkau oleh pembeli juga efisien dari segi
biaya dan waktu. Aspek ini yang nampaknya
kurang mendapat kajian pemda kota Ambon baik dari segi ekonomi, sosial maupun budaya mendahului
kebijakan perencanaan kota secara komprehensif dan terintegrasi.
Karena itu, hasil penelitian ini diperoleh kesan tentang tingkat ekspektasi
responden terhadap perhatian pemda kota Ambon bagi mereka cukup tinggi.
Sebagian besar responden berharap tidak
saja pedagang-pedagang besar dan menengah diperhatikan melalui berbagai
fasilitas, tetapi juga dalam perspektif mereka pemda kota Ambon menganggap
mereka kurang memberikan ”nilai tambah” bagi pemda kota. Namun bagi responden,
jika tempat-tempat yang telah disediakan pemda tersebut ramai dikunjungi
pembeli yang membuat barang mereka laku sehingga mereka dapat membayar pajak
tempat usaha, maka merekapun bersedia
menempatinya.
Harapan responden tersebut bila
dipahami, sebetulnya memberi gambaran
tentang betapa jeritan hati yang tak terungkapkan dari orang-orang kecil yang
selalu ”kalah” perjuangan dalam mempertahankan eksistensi mereka (the silent voice of weakling). Namun di
sisi lain, mereka tetap tegar dan harus berjuang, walaupun sering diabaikan
baik dalam bentuk kebijakan perencanaan, hukum maupun anggaran (bugeting),
serta dukungan politik dari lembaga legislatif kota Ambon.
Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan
Berdasarkan
pembahasan di atas, maka dapat
disimpulkan hasil penelitian ini sbb :
1.
Aktivitas papalele yang dilakukan responden sampel sebagian besar telah
menekuni pekerjaan ini cukup lama, minimal 6 tahun dan paling lama 30 tahun,
dengan kategori umur 30 tahun ke atas. Kebanyakan mereka telah kawin dan
memiliki anak minimal 2 – 4 orang. Status pendidikan mereka sebagian besar SD
dan SMA.
2. Aktivitas papalele ini dilakukan selain sebagai tradisi
turun-temurun, namun juga dilakukan untuk memenuhi kebutuhan keluarga,
pendidikan anak, serta kelangsungan usaha papalele. Rata-rata responden
melakukan aktivitas papalele sehari menggunakan waktu paling sedikit sekitar 3
sampai 6 jam, paling banyak 9 sampai 10 jam ke atas.
3. Dalam melangsungkan usaha papalelenya sebagian besar responden
menggunakan modal sendiri, kecuali beberapa responden yang telah menggunakan
akses lembaga keuangan, seperti bank dan koperasi. Tetapi ada yang meminjam
untuk kelangsungan usaha papalelenya, atau dengan sistem bagi hasil.
4. Sebagai usaha dagang tradisional,
responden merasa kurang diperhatikan oleh pemda kota Ambon, terutama
dalam bentuk fasilitas tempat maupun dalam bentuk perlindungan hukum serta
bantuan modal usaha ataupun pembinaan.
Belum ada kemauan politik melalui
kebijakan anggaran (pro-bugeting) serta dukungan politik dari legislatif
bagi eksistensi papalele sebagai usaha dagang tradisional yang khas masyarakat
Ambon, yang mengakibatkan responden sangat rentan terhadap ancaman hukum,
sosial, dan budaya maupun kelang-sungan eksistensi usaha papalele ini.
5.
Belum ada sistem perlindungan sosial bagi responden yang menjamin resiko dan kelangsungan
usaha mereka. Untuk mengantisipasi kelangsungan usaha mereka, maka responden
menciptakan mekanisme perlindungan sendiri melalui permainan arisan.
6. Papalele adalah ” pure entrepreneurial” atau
wirausaha murni yang tangguh, yang
meru-pakan wujud usaha dagang tradisional di sektor informal yang orisinil dan memiliki kekhasan, dan diwariskan secara
turun-temurun. Ia telah melembaga dalam bentuk nilai-nilai semangat berusaha
yang pantang menyerah terhadap kemajuan
atau perubahan zaman. Ia tahan dalam menghadapi tantangan dalam bentuk apapun
baik karena modernisasi ekonomi kota (orientasi ekonomi kapitalis) maupun
perkembangan kota akibat urbanisasi dan mobilisasi sosial yang semakin cepat
(rapit social change).
S a r a n
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka
dikemukakan saran sebagai berikut :
1.
Sebagai usaha dagang tradisional asli mas-yarakat Ambon, papalele perlu
dipertahankan eksistensinya. Karena di dalam papalele memiliki nilai-nilai
semangat wirausaha murni (pure entrepreneurial) yang dapat dibina dan
dikembangkan menjadi pengusaha-pengusaha
yang tangguh dan bersakala besar. Di samping itu di dalam papalele juga ada nilai-nilai kearifan lokal
(local wisdom) seperti: saling menolong,
kerjasama, kejujuran, tenggang rasa, keuletan,
dan kesabaran. Untuk itu papalele perlu diwariskan kepada generasi
mendatang baik secara alamiah (natured) maupun terutama melalui sosialisasi dan
pembinaan dalam berbagai bentuk, termasuk diajarkan kepada siswa pada tingkat
sekolah dasar dan menengah melalui kurikulum muatan local maupun mahasiswa pada
perguruan tinggi.
2.
Papalele sebagai usaha dagang tradisional khas masyarakat Ambon jika dibina
serta dikembangkan dengan baik, maka segmen ekonomi ini dapat turut memberikan
kontribusi dalam mengatasi masalah pengangguran, tenaga kerja, dan
kemiskinan, serta kontribusi kepada PAD
Kota Ambon. Untuk itu papalele harus
mendapat perlindungan baik secara hukum, politik, sosial maupun budaya.
Sehingga papalele mendapat tempat dalam kebijakan perencanaan dan pengembangan
struktur ekonomi Kota (ekonomi modern). Karena itu perlu Perda (Peraturan
Daerah) Perlindungan Terhadap Pedagang Papalele secara khusus dan sektor informal umumnya, agar terjamin
kepastian hukum, politik, sosial, ekonomi, dan budaya bagi mereka.
Referensi
Arief,
Sritua, Dari Prestasi Pembangunan
Sampai Ekonomi Politik, UI Press, Jakarta, 1990.
Fakih,
Mansour, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, Pustaka Pelajar
Bekerjasama dengan INSIST Press, Yogyakarta, 2002.
Isbandi,
Rukminto Adi, Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat dan Intervensi Komunitas (Pengantar pada Pemikiran dan
Pendekatan Praktis), (edisi revisi) FE-UI, Jakarta, 2003.
Kota Ambon Dalam Angka
: 2007.
Koentjaraningrat
(Red), Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Gramedia, edisi ketiga, Jakarta, 1993.
Mubyarto,
Reformasi Sistem Ekonomi : Dari Kapitalisme menuju Ekonomi Kerakyatan, Aditya
Media, Yogyakarta, 1999.
Revrisond
Baswir, Agenda Ekonomi Kerakyatan, Pustaka Pelajar dan IDEA, Yogyakarta, 1997.
Ronald Clapham, Pengusaha Kecil dan Menengah di Asia
Tenggara, LP3ES, 1991.
Remi,
Sutyastie Soemitro & Prijono Tjiptoherijanto, Kemiskinan dan
Ketidakmerataan di Indonesia, Rineka
Cipta, Jakarta, 2002.
Sherraden,
Michael, Aset untuk Orang Miskin : Perspektif Baru Usaha Pengentasan
Kemiskinan, Grasindo Perkasa, Jakarta, 2006.
Sanafiah
Faisal, Format-format Penelitian Sosial : Dasar-dasar dan Aplikasi, Rajawali
Pers, Cetakan Kedua, Jakarta, 1992.
Singarimbun,
Masri & Sofian Effendi (ed), Metode Penelitian Survai (Cet. Kedua), LP3ES, Jakarta, 1995.
Supriatna,
Tjahya, Strategi Pembangunan dan Kemiskinan, Rineka Cipta, Jakarta,
2000.
Sumawinata,
Sarbini, Politik Ekonomi Kerakyatan, Gramedia, Jakarta, 2004.
Sumodiningrat,
Gunawan, Membangun Perekonomian Rakyat, Pustaka Pelajar Bekerjamasa dengan IDEA, Yogyakarta, 1998.
Soetrisno,
Loekman, Kemiskinan, Perempuan, dan Pemberdayaan, Kanisius, Yogyakarta, 1997.
Schumacher,
E.F, Kecil Itu Indah: Ilmu Ekonomi Yang Mementingkan Rakyat Kecil, (Cet.ke-6),
LP3ES, Jakarta, 1987.
Usman,
Sunyoto, Pembangunan dan Pemberdayan Masyarakat, Pustaka Pelajar (cet. ke-5),
Yogyakarta, 2008.
Yustika, Ahmad Erani, Negara vs Kaum Miskin,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar