SOSIOLOGI KEPULAUAN
(Deskripsi Umum Masyarakat
Kepulauan Maluku :
Gagasan Awal mengeksplorasi
cabang baru sosiologi)
Oleh :
Max Maswekan
Dosen FISIP UKIM - Ambon
Abstract
Sociology primeval introduce
by scientist big prancis auguste comte in
century of nineteenth or Precisely year
1839. Therefore he is inaugurated as
father of founder of sociology. Sociology comes from disyllable, namely "socius" come from word latin, mean friend or comrade (of society), and "logos" from word of greek, mean word or speak (science).
So sociology speak about friend/comrade, or science that study about society.
Sociology begins introduction in indonesia
in the year 1920-an prewar world second that influenced by a sociologist west (especially from dutch), and Initially taught in college of law (rechtshoogeschool) that founded in the year 1924 at
batavia (Jakarta).
After world war second or After
independence of indonesia,
pevelopment rather shift from influence
scientist social of dutch to ilmuan america. After the those is studies
about south-east asia belong indonesia majority
done by scientist social from america. Sociology then bloom in indonesia until now and get place more
importanter as science to realize
society of indonesia. But development of sociology more fast that
belong in indonesia that give birth to various branch of sociology, but
peculiarly not yet done study or
watchfulness that deepen and compre-hensive hit
society that area of archipelago likes moluccas and several region
other in indonesia.
According to de facto indonesia arcipelago
state that given, and get
acknowledgement legal international pass international convention of maritime
law year 1982, that conseption as archipelagos
formula. The kernel islands of indonesia widespre in all archipelago are one
unitary in the form of archipelagic country.
Like several region other, Also area of archipelago according to
de facto given. Consist of many big island and little. Since long time
inhabitted by citizen widespread at
various island, Live as communities with various culture and System of the
social.
As area of archipelago that given,
Broadly area 712.497,69 km2, moluccas is dominated by sea. Total of big island
and Little as many as 632 with the biggest
island eery island, Island hunts, Island yamdena, and Island
wetar. At these islands is found 4
mounts, 11 lakes 113 great river and Little.
Broadly area of that big, Has capacity
of nature and Social very potential. Total
of citizen of moluccas ±
1.277.141 soul. Orientation of job of society
usually has two orientations of livelihood, That is as farmer and As fisherman, except society in outback or
Ridges, Their alive is thoroughly bases on agriculture or
Pera and Hunt. Society of beach beside as fisherman, They also farmer of arable
land that do effort of agriculture of
plants of short age and Also plants of
longevity.
Key world:
Archipelagic country, area of archipelago, sociology, sociology of
archipelago, sommunities of archipelago, system of social, farmer, fisherman,
hunt
Pendahuluan
Indonesia
adalah negara kepulauan (arcipe-lago state) yang terberi (given). Sebagai
negara kepulauan dengan jumlah pulau yang banyak serta luas laut yang besar
daripada darat, kaya sumber daya alam, beragam sosial budaya, serta jumlah
penduduk yang besar; tentu di samping memiliki peluang dan harapan bagi masa
depan bangsa dan kesejahteraan rakyat, tetapi juga memiliki tantangan dan
hambatan yang tidak kecil dan ringan dalam mengelola potensi tersebut.
Sebagaimana beberapa daerah lain, Maluku
adalah juga wilayah kepulauan yang terberi (given), yang kaya sumber daya alam
maupun sumber daya sosial (sicial capital). Sejak dulu masyarakat Maluku
tinggal dan tersebar di pulau-pulau
besar dan kecil serta membentuk satuan-satuan sosial, membangun kebudayaan dan
norma-norma sosialnya, mengelola alam sekitarnya, saling berinteraksi antar sesama dalam
satu pulau maupun dengan masyarakat di
pulau lain, bahkan dengan kumunitas luar Maluku. Sebagian besar tinggal di
pesisir sebagai nalayan, namun sebagian pula tinggal di pedalaman dan di
pegunungan sebagai petani dan peramu. Ada
masyarakat pada wilayah-wilayah tertentu telah beradaptasi dengan per-kembangan
kemajuan, yang proses perubahan sosialnya cepat (rapit social change), tetapi
pada wilayah-wilayah tertentu masih hidup dalam kondisi yang sederhana dan
tradisional serta mengalami perubahan yang lamban (slow social change).
Sudah banyak yang meneliti dan mem-pelajari
kehidupan komunitas masyarakat di Maluku dengan berbagai latar belakangnya.
Namun masih sedikit atau mungkin
belum secara khusus dan serius memberi
perhatian dan mempelajari serta mengkaji secara mendalam masyarakat Maluku
sebagai sebuah komunitas kepulauan dari aspek sosiologis.
Karena
itu tulisan ini mencoba meng-eksplorasi secara teoritis dengan tujuan untuk
menggugah para ilmuan, peneliti dan pemerhati di bidang ilmu-ilmu sosial atau
para sosiolog untuk memberi perhatian khusus melalui kajian-kajian teoritis,
tetapi terutama diharapkan melakukan penelitian-penelitian lapangan (empiris)
menge-nai komunitas masyarakat Maluku sebagai masyarakat kepulauan dengan
berbagai latar-belakang sosial budaya yang dimiliki. Dari kajian-kajian dan
penelitian itu diharapkan akan memberi pemahaman dan gambaran yang lebih
komprehensif dan mendalam tentang karak-teristik masyarakat Maluku sebagai
komunitas kepulauan. Dengan kajian-kajian itu pula dapat menjadi bahan bagi
upaya-upaya pemecahan masalah (problem solving) yang dihadapi mas-yarakat serta
demi meningkatkan kesejahteraan mereka.
Tujuan
Tulisan
ini sebagai upaya awal yang bertujuan memberi gambaran garis besar
karakteristik masyarakat Maluku sebagai komunitas kepu-lauan, dalam kerangka
mengksplorasi kemung-kinan upaya melahirkan cabang baru sosiologi, yakni
”Sosiologi Kepulauan”.
Metode
Penulisan
ini menggunakan metode library recearch (studi kepustakaan) dengan mengkaji
secara kualitatif berbagai literatur yang relevan dan selektif, serta
mendeskripsikannya secara naratif.
Pembahasan
1.
Pengertian Sosiologi
Sosiologi pertamakali diintrodusir oleh
ilmu-an besar Prancis, Auguste Comte pada abad ke-19 atau tepatnya tahun 1839.
Karena itu ia dinobatkan sebagai bapak pendiri sosiologi.
Sosiologi berasal dari dua suku kata, yakni “socius“ dari kata Latin, yang berarti teman atau kawan
(masyarakat), dan “logos“ dari kata Yunani,
yang berarti kata atau berbicara (ilmu). Jadi sosiologi adalah
berbicara tentang kawan/ teman, atau
ilmu yang mempelajari tentang masyarakat.
Ada banyak pengertian atau batasan tentang
sosiologi. Akan tetapi secara umum sosiologi oleh beberapa ahli didefinisikan
sebagai beri-kut:
a.Talcott Parsons. Sosiologi adalah : “I...con-ceive sociology as conserned with
one primary aspect of social system, namely the understanding of the structures
and processes expesially concerned with the failures of integration and
understanding of the forces impending as well as favoring integratin (Manase
Mallo ed; 1989:201).
b.Pitirin Sorokin. Sosiologi adalah ilmu
yang mempelajari hubungan dan pengaruh timbal balik antara aneka macam fenomena
sosial, seperti ekonomi dengan agama, hukum dengan ekonomi, keluarga dan moral,
dina-mika masyarakat dengan politik, serta antara fenomena sosial dan
non-sosial, seperti geo-grafis, biologis, serta
ciri-ciri umum semua gejala sosial;
c.Roucek dan Waren. Sosiologi adalah
ilmu yang mempelajari hubungan-hubungan antar manusia dalam kelompok-kelompok;
d.J.A.A. van Doorn dan C.J. Lammers. Sosiolo-gi
adalah ilmu pengetahuan tentang struktur-struktur dan proses-proses
kemasyarakatan yang bersifat stabil;
e.Selo
Soemardjan dan Soeleman Soemardi. Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari
struktur sosial dan proses-proses sosial ter-masuk perubahan-perubahan sosial.
f.William F. Ogburn dan Mayer F. Nimkoff.
Sosiologi adalah penelitian secara
ilmiah ter-hadap interaksi sosial yang menghasilkan organisasi sosial.
(Soerjono Soekanto, 1982 : 17).
g.Sosiologi Kepulauan
adalah ilmu yang mem-pelajari kehidupan masyarakat yang tinggal di pulau-pulau
baik di pesisir, pegunungan atau pedalaman, interaksi, hubungan-hubungan
sosial, dinamika, serta berbagai permasalah-an, proses perkembangan di antara
masya-rakat di pulau-pulau tersebut, antara suatu pulau dengan pulau lain,
dalam gugus pulau serta antar gugus pulau dan pengaruh timbal balik dari luar masyarakat kepulauan tersebut
(penulis).
2.
Garis Besar Sejarah Pengenalan Sosiologi di Indonesia
Sosiologi mulai diintrodusir di Indonesia
pada tahun 1920-an sebelum perang dunia ke-2 yang dipengaruhi oleh sosiolog
Barat (terutama Belanda), dan awalnya diajarkan pada Sekolah Tinggi Hukum
(Rechtshoogeschool) yang didi-rikan pada tahun 1924 di Batavia
(Jakarta). Namun matakuliah
sosiologi masih diajarkan sebagai mata kuliah penunjang. Akan tetapi matakuliah
sosiologi ini dipandang sangat penting terutama untuk meningkatkan kesa-daran
dan penerapan suatu aturan-aturan hukum di masyarakat, keberkasilannya sangat
tergan-tung kepada kondisi masyarakat yang bersang-kutan. Karena itu sosiologi
di samping ilmu-ilmu sosial yang lain, ia sangat penting dan perlu dipelajari. Kesadaran ini dikemukakan
oleh Prof.Mr. P. Scholten sebagai pimpinan saat itu di Sekolah Tinggi Hukum
ketika dibuka. Di dalam pidatonya ia mengemukakan :
“Een rechtsregel is een regel die geldt in een
gemeenschap. Alleen nauwkeurige kennis
vanalle gegevens, sociologische, economosche maakt mogelijik met eenige kans
van slagen te beoordeelen of een regel ingang zal vinden“.
Sarjana-sarjana yang berjasa memberi sum-bangan bagi pengenalan
sosiologi di Indonesia
adalah Schrieke, Boeke, dan Wertheim.
Mulai saat itu studi-studi untuk memahami masya-rakat Indonesia dari berbagai
aspek mengguna-kan pendekatan sosiologi dengan menggunakan kerangka pikir dari
ahli-ahli sosiologi terutama Max Weber, Emile Durkheim, dan Ferdinand Tonnies.
Setelah perang dunia ke-2 atau sesudah kemerdekaan Indonesia,
perkembangan agak bergeser dari pengaruh ilmuan sosial Belanda kepada ilmuan
Amerika, di antaranya George McT. Kahin, D.E. Willmortt, Clifford Geertz,
Robert Jay, dan A.C.Dewey. Sejak saat itu studi-studi tentang Asia Tenggara
termasuk Indonesia
kebanyakan dilakukan oleh ilmuan sosial dari Amerika, seperti terungkap di
bawah ini :
“...the study of Indonesia, which seems to have been almost a special
prvince of a generation of Eroupeans now in their filties and sexties, is now
being taken over by thirty-years-old Americans and Asians“.
Sejak saat itu ilmu-ilmu sosial secara khusus sosiologi terus berkembang
di Indonesia dan memperoleh tempat yang semakin penting sebagai ilmu untuk
memahami masyarakat Indonesia. Untuk pertama kali pada tahun 1946 setelah
didirikan Akademi Ilmu Politik di Yogyakarta, yang kemudian menjadi Univer-sitas
Gadja Mada, sosiologi diajarkan secara resmi dan masuk dalam kurikulum Akademi
Ilmu Politik Yogyakarta. Matakuliah sosiologi semakin penting dan memperoleh
tempat pada kurikulum setelah dibukanya jurusan sosiologi di Fakultas Sosial
Politik Universitas Gadja Mada pada tahun 1957.
Selain di Universitas Gadja Mada, di Uni-versitas Indonesia pada tahun
1960, didirikan jurusan sosiologi yang diprakarsai oleh Selo Soemardjan pada
fakultas Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan. Sejak saat itu sosiologi ber-kembang
sangat pesat selain diajarkan kepada mahasiswa di sejumlah perguruan tinggi,
juga dilakukan penelitian-penelitian untuk mema-hami masyarakat Indonesia
dengan mengguna-kan pendekatan-pendekatan sosiologi. Lahirlah sejumlah
buku-buku hasil penelitian oleh sejumlah ahli sosiologi. Peletak dasar
sosiologi di Indoensia di antaranya Selo Soemardjan, Soedjito Sosrodihardjo,
Sajogyo, Harja W. Bachtiar, Mely G. Tan, Soeleman Soemardi, dll. (Kamanto Sunarto
dalam Manase Mallo (ed); 1989: 2001-2010).
3. Realitas Indonesia dan Maluku Sebagai Wilayah Kepulauan
Indonesia secara geografis
adalah negara kepulauan yang terberi (given) sebagai anuge-rah Tuhan yang kaya
sumber daya alam mau-pun keragaman sosial dan budaya. Indonesia sebagai negara kepulauan dikonsepsikan seba-gai
Wawasan Nusantara. Pengakuan legal Internasional terhadap Indonesia sebagai
negara kepulauan setelah ditandatanganinya Konvensi Hukum Laut Internasional
Tahun 1982. Inti dari konsepsi itu adalah, Pulau-Pulau Indonesia yang tersebar
luas di seluruh nusantara menjadi satu kesatuan dalam bentuk Negara Kepulauan
(Mochtar Kusumaatmadja, dalam John Pieris
(peny), 1988:108).
Sebagai negara kepulauan (arcipelago state), secara geografis hampir
duapertiga wilayahnya terdiri dari lautan dan lebih dari 13.000 buah pulau
besar dan kecil, dengan garis pantai yang panjangnya hampir 81.000 km.
Kepulauan Indonesia terletak di daerah tropika dan men-duduki posisi silang terletak
di antara dua benua, Asia dan Australia, dan dua samudra, Pasifik dan Hindia. Iklim kepulauan Indonesia dipengaruhi
oleh iklim musiman. (John Pieris, ibid : 38-39). Potensi pulau kecil di
Indonesia diperkirakan mencapai 10.000 buah dari jumlah 17.508 pulau yang
dimiliki oleh Indonesia (H.Tridoyo Kusumastanto, 2003:107).
Kondisi geografi Indonesia
sebagai negara kepulauan dengan karakteristik dan potensi alam yang sangat kaya baik darat
maupun laut, memiliki peluang untuk dimanfaatkan bagi kepentingan bangsa dan
kesejahteraan rakyat. Di samping itu
Indonesia juga memiliki karak-teristik sosial budaya yang beraneka ragam,
terdiri dari berbagai suku bangsa, etnis, bahasa, agama, adat-istiadat, atau
sistem nilai sebagai modal sosial (social capital).
Sebagaimana beberapa daerah lain di Indo-nesia, Maluku juga adalah
daerah kepulauan yang dianugerahi Tuhan dengan potensi alam yang kaya baik darat maupun laut. Sebagai wilayah
kepulauan yang telah terberi (given), dengan luas wilayah 712.497,69 km2 dengan
dominasi laut sebesar 658.294.69 km2 dan daratan 54,85 km2. Jumlah pulau besar
dan kecil sebanyak 632 dengan pulau terbesar adalah pulau Seram (18.625 km2),
Pulau Buru (9.000 km2), Pulau Yamdena ( 5.085 km2), dan Pulau Wetar (3.624
km2). Di pulau-pulau ini terdapat 4 gunung, 11 danau 113 sungai besar dan
kecil. Karena Maluku merupakan wilayah kepulauan dan dikelilingi oleh lautan
yang luas, maka iklim di daerah ini sangat dipeng-aruhi oleh lautan dan
berlangsung seirama dengan iklim musiman.
Dengan luas wilayah yang besar itu, Maluku memiliki sumber daya alam
yang sangat poten-sial baik laut maupun darat. Potensi hutan mencakup hutan konvensi seluas ± 13.496 km2 (± 23,8 %), hutan produksi tetap terbatas
seluas ± 5.777 km2 (± 10,2 km2), hutan produksi terbatas seluas ± 13.496 km2, dan untuk peng-gunaan lain
seluas ± 15.468 km2. Potensi pertanian meliputi tanah pertanian seluas ± 2.833.289 km, tanah perkebunan seluas
± 143.489 ha, lahan kering seluas ± 483.836 ha. Lahan yang telah
dikonversi untuk usaha tani tanaman pangan sebesar ± 9.204 ha. Lahan kering
yang sudah dikembangkan seluas ± 17.539
ha (3,6%) untuk komoditi padi, padi gogo, palawija, jagung dan ubi kayu. Sedang-kan
lahan potensial untuk jenis sayuran dan buah-buahan seluas ± 366.935 ha. Tanah
perke-bunan seluas ± 143.489 ha.
Potensi laut baik ikan maupun non-ikan sangat kaya. Potensi perikanan terbesar ter-dapat di laut Banda dengan
ketersediaan potensi sebanyak ± 208.558 ton, dan potensi lestari sebanyak ±
104.209 ton per tahun. Di laut Arafura ketersediaan potensi sebanyak ± 101.540 ton, dan potensi lestari
sebanyak ± 50.770 ton per tahun.
Pada kawasan laut terbatas terdapat penyebaran ikan berbagai jenis yang menjadi
tumpuan ekonomi perikanan rakyat di samping berbagai potensi ekonomis non-ikan.
Jumlah penduduk Maluku ±
1.277.141 jiwa. Jumlah tersebut mendiami wilayah seluas 54.185 km2 dengan
kepadatan penduduk ± 23 orang per km persegi. Persebaran penduduk di Maluku
tidak merata, di mana Maluku Tengah prosentase penduduknya tercatat lebih
tinggi dibanding dengan kabupaten lain, yaitu ± 43.15% %. Sementara Kabupaten
Buru hanya mencapai ±10.63 %. Namun untuk Kota Ambon, angka kepadatannya cukup
tinggi, yaitu mencapai ± 619 km2. Laju pertumbuhan penduduk sebesar 2.9 %,
sedangkan rasio jenis kelamin (sex ratio) mencapai 1,39 di mana penduduk
laki-laki lebih banyak dari penduduk perempuan.
Orientasi pekerjaan penduduk di
Maluku untuk sektor pertanian masih mendominasi sektor lain, yakni ± 47 %,
disusul bidang perdagangan dan jasa sebesar ± 36,13 %, sedangkan sisanya
sebesar ± 16,43 % tersebar dalam sektor-sektor
lain. (Himpunan Lembaran Daerah Provinsi Maluku Tahun 2002. Untuk Potensi SDA
Maluku, lihat Profil Daerah, Kabupaten dan Kota, jilid 2 & 3. Lihat pula,
Otonomi: Potensi Masa Depan RI, 2001).
4. Karakteristik Umum Masyarakat Kepu- lauan di Maluku
Umumnya masyarakat di daerah kepulauan
memiliki dua orientasi mata pencaharian, yakni sebagai petani dan sebagai
nelayan, kecuali masyarakat pada pedalaman atau pegunungan, hidup mereka
sepenuhnya bergantung pada pertanian atau peramu dan berburu. Masyara-kat pesisir di samping sebagai
nelayan, mereka juga adalah petani ladang yang melakukan usaha pertanian
tanaman umur pendek, seperti ubi kayu/jalar, jagung, padi/padi gogo, karang-kacangan, dan berbagai jenis sayuran
dan lain-lain, juga tanaman umur panjang, seperti kelapa, cengkeh, pala, dan
berbagai jenis tana-man buah-buahan.
Sebagaimana umumnya masyarakat di Indonesia, masyarakat Maluku sebagian
besar masih berciri masyarakat desa, karena sebagian besar hidup di desa baik
di pedalaman/pegu-nungan maupun di pesisir. Karakteristik mas-yarakat desa menurut
Roucek dan Waren, adalah :
·
besarnya peranan kelompok primer;
·
faktor geografis yang menentukan sebagai dasar
pembentukan kelompok atau asosiasi;
·
hubungan atau relasi-relasi sosial bersifat intim dan
langgeng;
·
masyarakat masih bersifat homogen;
·
mobilitas sosial masih rendah;
·
keluarga lebih ditekankan fungsinya sebagai unit ekonomi;
·
populasi anak dalam proporsi yang lebih besar (Raharjo, 2004 : 40. Lihat
juga Jefta Leibo, 1990 : 7).
Pedesaan menurut Constandse, adalah semua wilayah, di mana terdapat
bentuk-bentuk kehi-dupan bersama, yang di satu pihak merupakan bagian daripada
suatu kultur, yang di dalamnya termasuk juga kota-kota, namun di lain pihak
karena ketergantungannya pada produksi
agra-ris yang sepihak merupakan sub-kultur, yang jauh kurang berkembang
daripada di kota-kota. (P.J.Bouman, 1982:104-105). Sementara menu-rut Ferdinand
Tonnies, menye-but masyarakat desa sebagai Gemeinschaft, sedangkan Charles
H.Cooley, menyebutnya sebagai primary group,
Emile Durkheim menyebutnya sebagai solida-ritas mekanik.
Masyarakat desa pada wilayah kontinental
sangat berbeda dengan masyarakat desa pada wilayah kepulauan.
Sebagaimana telah dikemu-kakan, masyarakat desa di Maluku memiliki dua
karakteristik, yakni karekteristik darat atau pedalaman/pegunungan dan
karakteristik pesi-sir. Orientasi kerja mereka bergantung pada dua lingkungan
tersebut. Sehingga dapat dikatakan mereka adalah petani tetapi juga nelayan,
sebaliknya nelayan tetapi juga petani. Karena di samping memiliki
lahan pertanian yang diusa-hakan
untuk kelangsungan hidup, mereka juga malakukan aktivitas menangkap ikan
dan me-miliki peralatan nelayan, yang kebanyakan diketegorikan masih
tradisional. Kecuali mas-yarakat di pegunungan seperti di pulau Seram dan pulau
Buru, sebagian besar adalah peramu dan berburu. Sistem perladangan masih berpin-dah-pindah. Sehabis
menebang hutan, kemu-dian dibakar, lalu
menanam, serta memanen. Setelah itu membuka hutan baru dengan pola yang sama.
Setelah itu membuka hutan yang lain atau kembali di hutan yang pertama, begitu
seterusnya. Sistem pertanian ladang
seperti ini oleh para ahli memiliki istilah yang beragam dengan pengertian yang
sama, yakni shifting cultivation, slash and burn cultivation, slash and burn horticultura, cut and burn
cultivation, land rotation agriculture, long-term-fallow agriculture, dan swidden agricultuce. (Johan Iskandar, 2009
: 124-141. Lihat pula Pahmi Sy, 2010 : 62-93).
Sistim
perladangan ini memiliki beberapa keuntungan, yakni : (1) keuntungan ekologis,
sosial dan ekonomi bagi penduduk. Misalnya
lebih tahan terhadap serangan hama penyakit, memberi hasil yang beraneka ragam,
seperti bahan pokok pangan, bumbu masak, bahan sayuran, bahan obat-obatan, dll.
Selain itu dapat mengurangi resiko kegagalan akibat serangan hama atau gangguan
alam lainnya. Jika salah satu produksi mengalami kegagalan namun hasil lain dapat dipanen; (2) rasio
jumlah unsur hara yang tersimpan dalam bentuk vegetasi lebih tinggi daripada di dalam tanah, yang diperoleh dari menebang hutan dan
membakar biomassa yang membuat kesuburan bagi tanah. Saat lahan tersebut
dipanen, kemudian diting-galkan untuk beberapa waktu lamanya dan membuka lahan
baru dengan pola yang sama. Saat kembali di tempat semula, tanah pada lahan
tersebut telah subur kembali karena unsur hara yang diperoleh dari hasil
penebangan dan pembakaran biomassa tersebut; (3) lahan memiliki struktur yang
tertutup seperti hutan tropis. Berbagai jenis tanaman menyusun ladang,
permukaan tanahnya ditutupi oleh jenis-jenis tanaman pada lapisan atasnya terdapat jenis-jenis tanaman semak-semak, seperti ubi jalar, padi,
hanjeli, talas, kacang-kacangan, dll. Bagian kanopi atasnya lagi terdapat tanaman buah-buahan dan kayu
bahan bangunan serta kayu bakar. Di samping itu pula terdapat berbagai jenis
tanaman merambat dan berbagai pepohonan (Johan Iskandar, ibid : 138-139).
Sistem perladangan
seperti yang dikemu-kakan di atas, sebetulnya telah dilakukan oleh masyarakat
petani di Maluku sejak dulu, dan merupakan salah satu bentuk kearifan lokal
(local wisdom). Di samping beberapa keun-tungan
yang dikemukakan, sebetulnya dari segi keadilan “psiko-eko-biologis”
tanah mesti pula diberi kesempatan untuk beristirahat setelah ia berproduksi.
Ini pula sekaligus sebagai salah satu bentuk alamiah pelestarian lingkungan
secara berkelanjutan.
Sebagaimana diketahui, Maluku memiliki
pulau-pulau dalam gugusan pulau besar
dan kecil dengan potensi alam yang kaya, serta karakteristik masyarakat yang berbeda dengan latarbelakang
sosio-kulturnya yang beragam. Pandangan hidup (world view) serta watak atau karakter,
sikap dan perilaku mereka sangat dipengaruhi oleh alam. Umumnya hubungan kekerabatan/kekeluargaan masih sangat kental
yang ditandai dengan semangat
tolong-meno-long, kerjasama (gotong
royong)) yang tinggi, yang dikenal dengan istilah masohi, maano, badati, babalu
di Maluku Tengah, maren di Maluku
Tenggara, tasdouw di MTB, juga ada di
pulau Buru dan MBD dengan sebutan yang berbeda yang maknanya kurang lebih sama.
Aktivitas di laut sebagai nelayan sebagian besar masih tradisional dengan
peralatan yang seder-hana. Bentuk aktivitas nelayan tradisional di Pulau Ambon dan
Lease serta Seram dikenal dengan nama tanase.
Dari
segi kedekatan geografis, kesamaan budaya, kesatuan alam, kecenderungan orien-tasi,
kesamaan perekonomian, dan potensi sumberdaya alam, maka wilayah Maluku dike-lompokkan
dalam enam satuan gugus pulau, yakni:
1) gugus
pulau pertama, meliputi pulau Buru, Seram, Ambon, Haruku,
Saparua, Geser, Gorom, Manowako, Banda dan TNS;
2) gugus
pulau kedua, meliputi kepulauan Kei, dan pulau Kesui;
3) gugus pulau ketiga, meliputi kepulauan Aru;
4) gugus
pulau keempat, meliputi pulau Yam-dena, Larat, Wuliaru, Selaru, Selu, Seira,
dan Molu;
5) gugus pulau kelima, meliputi pulau
Damer, Romang, Leti, Moa, Lakor, Kisar, dan Wetar. (Himpunan Lembaran Daerah
ibid, 2002 : 25-28).
Pada gugus-gugus
pulau tersebut berdiam masyarakat dengan latarbelakang sosial budaya yang
berbeda, bahasa, orientasi nilai, dan
pan-dangan hidup (world view) yang dipengaruhi oleh lingkungan alam
masing-masing. Masya-rakat yang berdiam pada gugus-gugus pulau tersebut dapat
dikelompokkan ke dalam dua lingkungan, yakni lingkungan pedalaman/pegu-nungan
dan lingkungan pesisir. Masyarakat pedalaman/pegunungan hidup pada daerah yang
jauh dari pesisir, mereka bermukim di lembah-lembah dan pegunungan, serta hidup
dari ver-tani, berburu dan meramu. Di Maluku, kategori masyarakat pedalaman dan
pegunungan ter-dapat di pulau Seram dan pulau Buru, dan sebagian kecil di pulau
Ambon. Sedangkan sebagian besar
masyarakat tinggal di pesisir di semua gugus pulau.
Masyarakat pedalaman atau pegunungan di Maluku sebagian besar adalah
masyarakat petani dengan karakteristik lingkungan sosial serta sistem sosial
budaya yang khas. Ber-dasarkan tingkat perkembangan, masyarakat petani terutama
petani menetap dikelompokkan oleh Marzili, yang dikutip Jonni Purba dalam tiga
kategori, yakni : (1) petani pedesaan yang masih hidup dengan cara pertanian
yang sangat sederhana sambil tetap mempertahankan mata pencarian hidup berburu
dan meramu sebagai sumber hidup tambahan. Mereka disebut seba-gai peladang
berpindah. Mereka membuka ladang dari hutan. Ladang mereka ditanami beberapa
kali untuk memenuhi kehidupan konsumsi sehari-hari (subsistensi). Setelah itu
ladangnya ditinggalkan dan membuka ladang baru di tempat lain. Kategori
masyarakat petani ini sebagain besar ada di negara-negara ber-kembang termasuk
Indonesia, dan kebanyakan ada di pedalaman Kalimantan, terutama masya-rakat
Dayak, masyarakat Mentawai di Sumatera Barat, dan sebagian besar masyarakat
petani di Maluku; (2) masyarakat pertanian di negara-negara maju seperti di
Eropa, Amarika, dan Australia. Masyarakat petani pada negara-negara ini disebut
sebagai farmer. Mereka hidup di dalam
desa-desa modern serta mela-kukan usaha pertanian dengan peralatan perta-nian yang modern. Usaha pertaniannya
tidak hanya untuk konsumsi sendiri (memenuhi kebutuhan keluarga) tetapi telah
berorientasi pasar untuk mendatangkan keuntungan eko-nomi. Sistem organisasi
yang mendukung usaha pertanian mereka pun telah modern, serta orientasi usaha
mereka diarahkan untuk peng-embangan usaha yang lebih maju; (3) mas-yarakat
petani menetap yang berada di antara masyarakat petani yang pertama dan
kedua. Masyarakat ini tinggal di
desa-desa permanen, namun desa-desa mereka tidak modern seperti desa-desa
masyarakat petani farmer. Mereka juga bukan penggarap ladang kering seperti
ladang berpindah, tapi penggarap sawah dengan sistem irigasi, namun luas sawah
mereka terbatas tidak seperti lahan
pertanian petani farmer. (John Iskandar, ibid : 124-141. Lihat pula,
Frank Cooley dalam Koentjaraningrat, 1984 : 175-177). Berbeda dengan masyarakat
petani pedalaman/pegunungan, masyarakat pe-sisir memiliki dua karakteristik,
mereka di sam-ping sebagai nelayan tetapi juga petani ladang, orientasi dan
pandangan hidup mereka juga dipengaruhi oleh
dua lingkungan alam, yaitu alam laut dan alam darat. Karakter mereka
juga adalah karakter nelayan dan karakter petani. Masyarakat
pesisir secara umum memiliki karakter agak agresif, dinamis, dan agak ter-buka,
sementara masyarakat pedalaman/pegu-nungan memliki sifat agak pasif, kurang
agresif (menunggu), agak tertutup, serta memiliki sensitifitas (perasaan
curiga/was-was) cukup tinggi terhadap orang atau sesuatu dari luar.
Berkaitan dengan masyarakat kepulauan yang sebagian besar adalah wilayah
laut. Bebe-rapa ahli mengelompokkan masyarakat pesisir di Indonesia ke dalam
tiga tipe, yakni : masya-rakat perairan,
masyarakat nelayan, dan mas-yarakat pesisir tradisional.
1).
Masyarakat Perairan
Masyarakat perairan memiliki ciri,
sebagai berikut :
● sebagai kesatuan-kesatuan sosial hidup dari sumber daya perairan (laut, sungai atau pantai);
● cenderung terasing dari kontak-kontak de-ngan masyarakat lain;
● lebih banyak berada di lingkungan perairan dari pada darat;
● berpindah-pindah di suatu wilayah
(terito-rial) perairan tertentu;
● kehidupan sosial mereka cenderung bersi-fat egaliter;
● hidup dalam kelompok-kelompok kekera-batan setingkat klein kecil;
2) Masyarakat Nelayan
● umumnya
masyarakat nelayan telah ber-mukim secara tetap di daerah-daerah yang mudah
mengalami kontak-kontak dengan masyarakat-masyarakat lain;
● sistem
ekonomi mereka tidak dapat lagi dikategorikan masih berada pada tingkat
subsistensi tapi telah berorientasi sistem perdagangan, karena hasil laut yang
mereka peroleh tidak dikonsumsi sendiri
tapi didistribusikan kepada pihak lain dengan imbalan ekonomi;
● walaupun
hidup dengan memanfaatkan sumber daya perairan, namun sebenarnya mereka lebih
banyak menghabiskan kehi-dupan sosial budaya di daratan.
3). Masyarakat
Pesisir Tradisional
● masyarakat pesisir seperti ini berdiam di dekat perairan laut, namun
sedikit sekali menggantungkan kelangsungan hidup dari sumber daya laut;
● mereka kebanyakan hidup dari peman-faatan sumber daya daratan, baik
sebagai pemburu dan peramu ataupun sebagai petani tanaman pangan ataupun jasa;
● sekalipun
sebagian mereka bisa meman-faatkan sumber daya perairan, akan tetapi jumlahnya
sedikit dan nampak sekali lebih mengutamakan kegiatan subsistensi di daratan;
● dalam kehidupan sehari-hari nampak sekali mereka lebih menguasai
pengetahuan me-ngenai lingkungan darat daripada perairan, lebih mengembangan
kearifan lingkungan darat daripada laut;
Jadi,
pada dasarnya masyarakat pesisir tradi-sional memiliki perbedaan dengan
masyarakat nelayan dan perairan yang memiliki ketergan-tungan hidup sangat
besar kepada sumber daya perairan (Jonny Purba, ibid : 34-38).
Masyarakat desa di Maluku umumnya ma-sih memiliki hubungan dan
relasi-relasi sosial yang dekat, saling mengenal, serta sistem keke-rabatan
yang kental. Sistem sosial masih kuat
yang mempertahankan nilai-nilai dan norma-norma sebagai kontrol sosial terhadap
perilaku masyarakat, walaupun ada kecenderungan yang sudah mulai sedikit nampak
terjadi pergeseran akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan tek-nologi, serta
proses perkembangan dan kema-juan pembangunan akibat pemekaran wilayah
(otonomisasi) maupun dampak tidak langsung dari arus globalisasi. Desa-desa di
Maluku adalah desa-desa dengan
susunan masyarakat asli dan otonom serta
terbentuk secara alamiah sejak dulu. Belakangan sebagian kecil terbentuk karena
proses transmigrasi lokal baik melalui fasilitasi pemerintah daerah maupun
spontan/ alamiah, di samping transmigrasi nasional.
Sistem kekerabatan masih kental. Umum-nya di Maluku garis
keturunan mengikuti garis patrilineal (menurut garis ayah). Sistem perka-winan
masih diatur dengan nilai-nilai adat setempat yang menempatkan perempuan atau
wanita pada posisi yang tinggi, dengan sistem pembayaran harta kawin sebagai
bentuk peng-hargaan terhadap perempuan. Begitupun dengan
sangsi terhadap pelanggaran atas perkawinan, yang kebanyakan pada masyarakat
pedesaan di Maluku masih berlaku sangsi adat di samping sangsi menurut norma agama
yang dianut.
Desa
atau yang sejak awal disebut kampung secara geonologis terbentuk dari adanya
“aman” yang terdiri dari beberapa soa, yang dikepalai oleh seorang ama (bapak
atau tuan). Tiap-tiap soa terdiri dari beberapa matarumah (rumahtau). Dalam
perkembangan, aman menjadi negeri yang dikepalai oleh seorang raja (Maluku
Tengah), atau orang kaya (Maluku Tenggara dan MTB). Sistem sosial ini dikenal
luas pada semua masyarakat di Maluku terutama di desa-desa atau di
negeri-negeri. (Frank Cooley, dalam Koentjaraningrat, ibid :
177-181. Ban-dingkan pula: Subyakto, dalam Koentjaraning-rat, 2004 : 175-185).
Sistem
pemerintahan desa pada desa-desa di Maluku, awalnya, secara umum adalah sistem
pemerintahan tradisional (adat). Di Ambon dan Lease misalnya, sistem
pemerintahan desa dikenal dengan nama Saniri Negeri, di mana negeri dipimpin
oleh seorang Raja. Di Maluku Tenggara
dan Maluku Tenggara Barat, dikenal dengan nama Bapak Kaya/Orang Kaya
yang memimpin Soa-Soa. Di MBD sistem pemerin-tahan terbentuk berdasarkan sistem
kasta di mana marna merupakan strata
teringgi atau kaum bangsawan yang memerintah. Dalam suatu wilayah hukum adat
atau teritori, secara geografis beberapa desa/kampung dibentuk Latu Pati yang
dikepalai oleh seorang Ketua Latu Pati. Di Kei diketuai oleh seorang Raja dalam
sistem Raskap. Sistem pemerintahan ini tersusun rapih dengan tugas dan fungsi
yang jelas dalam melaksanakan roda pemerintahan desa/negeri, dengan kelembagaan
permusyawa-ratan yang berfungsi dalam proses-proses demokrasi terhadap masalah
pembangunan di desa serta masalah-masalah atau kasus-kasus yang muncul. Namun
sistem pemerintahan tradisional di Maluku tersebut terganggu pada saat
Pemerintah Orde Baru menerapkan Sistem Pemerintahan Desa berdasarkan
Undang-Undang No. 7 Tahun 1979, yang menyeragam-kan (unifikasi) seluruh desa di Indonesia, yang kemudian
melemahkan sistem pemerintahan
adat/tradisional. Akibat penerapan undang-undang tersebut, hingga kini sistem
pemerin-tahan desa di Maluku mengalami dualisme, antara sistem pemerintahan
desa secara nasional dan sistem pemerintahan tradisional, yang dalam praktek
sering dilaksanakan secara bersamaan. Wilayah-wilayah gugus pulau di Maluku
sejak dulu telah melaksanakan aktivitas perdagangan tradisional antar pulau
untuk men-jual hasil produksi pertanian dan perikanan serta barang-barang
perabot rumah tangga, peralatan pertanian, perikanan, sandang maupun kebutuh-an
pokok lain. Alat transportasi yang digunakan masih sederhana, seperti perahu
layar (perahu bot) atau kumal (jenis perahu layar berukuran sedang), yang
ditempuh dalam waktu ber-minggu atau berbulan. Bentuk transaksi dagang baik
bersifat langsung maupun tidak langsung dengan menggunakan alat tukar uang
maupun sistem barter (saling menukar barang).
Aktivitas perdagangan tersebut tidak hanya terjadi antar pulau dalam
satu wilayah, tetapi antar wilayah gugus pulau, juga antar wilayah lain dalam
provinsi. Bahkan dari wilayah lain di luar provinsi, seperti Sulawesi,
Jawa/Madura, dan Sumatera, malah terjadi perdagangan dari pedagang bangsa Arab,
Cina, India, Malaka, dan Eropa (Profil
Daerah, Jilid 2 : 561-574. Lihat pula J. Keuning, 1973 : 21). Aktivitas
perdagangan yang memakan waktu cukup lama dan panjang itu tidak hanya terjadi
transaksi dagang tetapi juga disertai dengan interaksi sosial dan budaya, yang
melahirkan ikatan-ikatan kekerabatan dan sosial, juga terjadi adap-tasi
nilai-nilai budaya, dan dalam hal tertentu meluas kepada hubungan politik.
Masyarakat Maluku adalah masyarakat yang menganut kepercayaan atau
sistem religi sejak belum masuknya agama-agama besar (Islam dan Kristen).
Sistem religi atau keper-cayaan sebelum masuknya agama-agama besar tersebut,
adalah agama suku atau agama asli atau sering disebut dengan agama tanah, atau
animisme. Setelah agama-agama besar terutama Islam dan Kristen tersebut, banyak
penduduk Maluku yang beralih ke agama-agama tersebut dan meninggalkan agama
aslinya. Namun peng-aruh agama asli oleh sebagian orang Maluku masih sering
dipraktekkan dalam kehidupan mereka yang masih sulit ditinggalkan, malah
diwariskan dan dilestarikan. Hal ini menurut beberapa penulis dari sudut
pandang antro-pologi agama disebut sebagai bentuk ”asimilasi antara agama dan
budaya”, atau bentuk ”sinkri-tisme” (percampuran antara unsur-unsur agama dan
budaya), atau disebut sebagai agama ”kue lapis”. Bentuk asimilasi atau
sinkritisme ini nampak dari ungkapan-ungkapan atau panda-ngan dualisme, seperti
percaya Tete Manis (Tuhan) nomor satu dan tete-bapa-nene-moyang (leluhur) nomor
dua dalam konsep Upu lanit (A.N.Radjawane, dalam P.Tanamal, (Tanpa Tahun) :
15-16). Hal ini menunjukkan penghor-matan kepada leluhur atau arwa nenek
moyang. (J. Keuning, 1974 : 13-14. Bandingkan pula : Subyakto, dalam
Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, 2004 : 186-188).
Masyarakat Kepulauan di Maluku memiliki kearifan lokal yang cukup banyak
dan beragam sebagai modal sosial (social capital), seperti pela, gandong, sasi,
masohi, badati, maano, sosoki, kewang,
cuci negeri, dan lain-lain di
Ambon dan Lease, Maluku Tengah termasuk SBB dan SBT. Larvul ngabal, ai ni ain,
dan sasi di Maluku Tenggara,
tasdow, kida bela, dan juga sasi di MTB,
kalwedo di MBD,
dan di Buru juga terdapat sasi
dan masohi. Di samping itu terdapat banyak bentuk-bentuk kearifan lokal di
berbagai daerah di Maluku. (Untuk
modal sosial, lihat Robert M.Z. Lawang, 2005. Lihat
juga, John Field, 2010).
Kearifan-kearifan lokal tersebut telah
lama ada dan hidup serta dipelihara oleh masyarakat lokal sebagai bagian dari
sistem sosial yang berfungsi untuk memelihara relasi-relasi sosial, kontrol
sosial, jaminan sosial, serta kohesi
sosial. Kecuali
itu ia berfungsi sebagai meka-nisme dan
pengelolaan atau manajemen sosial
untuk mempertahankan keberlangsungan mas-yarakat maupun ekosistem dari
penyimpangan nilai dan norma-norma sosial.
Penutup
Sosiologi secara umum adalah ilmu yang selalu mencari fakta-fakta
tentang kondisi atau keberadaan suatu masyarakat serta mempelajari dan
mengkajinya untuk memberikan atau mena-warkan alternatif pemecahan (baik
pemecahan secara ilmiah maupun praktis)
terhadap perma-salahan yang dihadapi masyarakat.
Sosiologi adalah ilmu murni (pure science), artinya bahwa dalam
mempelajari dan mengkaji masyarakat atau sesuatu masalah, seorang sosiolog
tidak boleh menilai baik buruknya, betul atau salah terhadap masalah tersebut,
tetapi menilai apa adanya. Atau dengan kata lain sosiolog harus bebas nilai (free
values), sehingga obyektivitas dalam mempelajari atau menilai masyarakat atau
suatu masalah tetap terjaga. Walaupun demikian sosiolog memiliki tanggungjawab moral untuk turut
memberi arah bagi perkembangan suatu masyarakat ke arah yang lebih baik (good
society) melalui fungsi-nya sebagai ilmuan dan sekaligus sebagai warga
masyarakat.
Sosiologi adalah ilmu yang dinamis, yang selalu berkembang seirama
dengan dinamika perkembangan masyarakat. Oleh karena itu jika masyarakat
berubah atau berkembang maka tugas sosiologi adalah wajib mempelajari dan
mengkaji fenomena perubahan-perubahan dan perkembangan masyarakat tersebut,
sebab-sebab dan kecenderungan dari arah perubahan dan perkembangannya.
Masyarakat Maluku sejak dulu telah hidup di pulau-pulau, baik di
pesisir, pegunungan mau-pun pedalaman, dan membentuk kebudayaan-nya sendiri,
berinteraksi dan membangun sistem nilai dan norma sosial sebagai pedoman dalam
kehidupan mereka. Kebudayaan dan pola-pola kehidupan sosial, orientasi hidup,
pandangan, sikap dan perilakunya, mata pencaharian serta semua aspek kehidupan sebagai sistem sosial yang
terbentuk melalui interaksi dengan ling-kungannya (alam maupun sosial).
Walaupun kebudayaan dan sistem sosial masyarakat
Maluku telah mengalami dinamika perkembangan sebagai hasil interaksi dengan
dunia luar baik di masa sebelum maupun masa kolonialisme, yang mempengaruhi
unsur-unsur kebudayaan dan sistem sosial tertentu, serta pengaruh perkembangan
pembangunan (moder-nisasi) dan pemerintahan sesudah Indonesia merdeka hingga
sekarang, namun orisinalitas
kebudayaan dan sistem sosialnya masih terjaga dan mewarnai tata kehidupan
masyarakat.
Masyarakat Maluku adalah masyarakat kepulauan yang khas. Oleh karena itu
studi-studi yang mendalam dan komprehensif, sangat perlu dalam menggali potensi
sosial dan budaya yang dimiliki, akan sangat membantu baik bagi pengembangan
ilmu pengetahuan (pure science) khususnya ilmu-ilmu sosial (baca : sosiologi)
maupun kegunaan praktis (applied science) terutama dalam upaya pemecahan
masalah-masalah sosial yang dihadapi masyarakat serta memberdayakan
(empowering) mereka untuk mandiri dan sejahtera.
Referensi
Bouman,
P.J, Ratmoko (peny), 1982. Sosiologi Fundamental. Jakarta, Djambatan.
Fischer,
H.TH, Anas Makruf (penerj), 1980. Pengantar
Antropologi Kebudayaan Indonesia. Pustaka Sarjana PT .Pembangunan.
Field,
John, Nurhadi (peny), 2010. Modal Sosial. Bantul, Kreasi Wacana.
Himpunan
Lembaran Daerah Provinsi Maluku Tahun 2002. Biro Hukum dan HAM Sekretariat
Daerah Provinsi Maluku.
Ihromi, T.O
(penerj), 1999. Pokok-Pokok Antropologi Budaya. Jakarta, Yayasan Obor
Indonesia
Iskandar,
Johan, 2009. Ekologi Manusia dan Pemba-ngunan Berkelanjutan. Bandung,
Program Studi Magister Ilmu Lingkungan Unpad.
Kusumastanto,
H Tridoyo, 2003. Ocean Policy, dalam Membangun Negeri Bahari di Era Otonomi Daerah. Jakarta, Pustaka Sinar Harapan.
Koentjaraningrat
(ed), 1984. Masyarakat Desa di Indo-nesia. Jakarta, Fakultas Ekonomi UI.
_____________ (re), 2004. Manusia dan Kebudayaan di
Indonesia. Jakarta,
Djambatan.
K. Dwi
Susilo, Rachmad, 2008. Sosiologi Lingkungan. Jakarta, Rajawali Pers.
Kusnadi,
2007. Jaminan Sosial Nelayan. Yogyakarta, LKiS.
Keuning, J,
1973. Sejarah Ambon Sampai Akhir Abad ke-17. Jakarta, Bharata.
Lawang, Robert M.Z, 2005. Kapital Sosial, dalam
Perspektif Sosiologik Suatu Pengantar. Jakarta, FISIP UI Press.
Leibo,
Jefta, 1990. Sosiologi Pedesaan, Mencari Suatu Strategi Pembangunan
Masyarakat Desa Berparadigma Ganda. Yogyakarta, Andi Offset.
Mallo, Manase (ed). 1989. Pengembangan
Ilmu-Ilmu Sosial di Indonesia Sampai Dekade ’80-an. Jakarta, Rajawali
Press.
Otonomi : Potensi Masa
Depan RI, 2001. Centre for Political
Studies Soegeng Sarjadi Syndicated. Jakarta, Gramedia Pustaka
Utama.
Pieris, John (peny), 1988. Strategi Kelautan Pengem-bangan Kelautan Dalam Perspektif
Pemba-ngunan Nasional. Jakarta, Pustaka Sinar Harapan.
Profil Daerah Kabupaten
dan Kota Jilid 2. (Januari dan September 2003). Jakarta, Buku Kompas.
Purba, Jonny (ed), 2005. Pengelolaan
Lingkungan Sosial. Jakarta, Yayasan Obor Indonesia.
Raharjo, 2004. Pengantar Sosiologi
Pedesaan dan Pertanian. Yogyakarta, Gadja Mada University Press.
Redlield,
Robert, 1982. Masyarakat Petani dan Kebu-dayaan. Jakarta, Rajawali Pers.
Rustanta, Bambang dkk, 2006. Kearifan
Lokal dan Gerakan Sosial, Self Gavernance: Menggagas Pelayanan Sosial Berbasis
Masyarakat di Era Otonomi Daerah. Bandung, Pusat Kajian Kelem-bagaan Lokal
dan Pelayanan Masyarakat (PK2PM), STKS Bandung.
Shahab, Kusnadi, 2007. Sosiologi
Pedesaan. Yogyakarta, AR-Media.
Sy, Pahmi, 2010. Perspektif
Baru Antropologi Pedesaan. Jakarta, GP Press.
Sajogyo & Pujiwati
Sajogyo (peny), 1995. Sosiologi Pedesaan (jilid 1). Yogyakarta,
Gadjamada University Press.
_______________________________
, 2002. Sosiologi Pedesaan (jilid 2). Yogyakarta, Gadjamada University
Press.
Soekanto, Soerjono, 1982. Sosiologi
Suatu Pengantar. Jakarta, CV Rajawali Press.
Tanamal, P, (tanpa tahun).
Teologia
Selaku Ilmu dan Selaku Proklamasi. Ambon, Fakultas Telogia UKIM.
Tim Pemberdayaan
Masyarakat Pesisir PSKP Jember, 2007. Strategi
Hidup Masyarakat Nelayan. Yogyakarta, LKiS.
Wiraatmadja, Soekandar,
1991. Pokok-Pokok Sosiologi Pedesaan. Jakarta, CV. Yasaguna.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar