Sabtu, 04 Februari 2012

TEOLOGI KESEJAHTERAAN SOSIAL


TEOLOGI KESEJAHTERAAN SOSIAL
(Gagasan awal membangun teologi fungsional)


Oleh :
Max Maswekan
Dosen FISIP UKIM - Ambon





Pengantar

      Berteologi adalah upaya memahami teks Firman Allah dan mengimplementasikannya ke dalam konteks kehidupan nyata. Kehidupan nyata adalah realitas sosial yang di dalamnya manusia hidup, saling berinteraksi dan bergumul dengan kehidupannya. Masalah kelaparan,  pengangguran, gelandangan, pengungsian, dan ketidakberdayaan menyebabkan kemiskinan,  adalah realitas kehidupan nyata orang-orang yang tidak berdaya karena tidak memiliki akses baik sosial, budaya, ekonomi, politik, dan hukum serta struktur sosial dan kekuasaan yang membelunggu. Mereka itu tidak menikmati kesejahteraan secara layak, dan martabat mereka sering diinjak-injak. Karena itu berteologi harus memberi perhatian dan  mengutamakan mereka yang menderita tersebut serta berupaya mengangkat mereka dari penderitaannya. Itu adalah teologi yang hidup, berakar, dan fungsional.
       Tulisan sederhana ini mencoba menggagas pencarian wajah baru dalam berteologi dengan memberi fokus kepada kesejahteraan sosial sebagai lokus berteologi. Kemiskinan yang membuat orang menderita adalah masalah utama kesejahteraan sosial. Kemiskinan dalam perspektif iman Kristen adalah dosa, dan dosa dibenci oleh Allah, oleh karena itu harus dilawan. Gereja dan kekristenan memiliki tugas dan tanggung jawab untuk berjuang  melawan dosa kemiskinan tersebut, dengan mengupayakan tindakan-tindakan penyelamatan melalui aksi – refleksi – aksi sebagai praksis kesejahteraan sosial. Karena untuk itulah gereja diutus di tengah-tengah dunia ini. Itu adalah gereja yang autentik, yakni gereja yang selalu berpihak dan berjuang melawan penderitaan akibat kemiskinan serta struktur yang menyebabkan kemiskinan dan penderitaan manusia.
       Gereja harus berjuang sungguh-sungguh membebaskan kaum miskin dari penderitaan mereka. Gereja diutus di tengah-tengah dunia tidak sekedar memberitakan Firman melalui kegiatan-kegiatan formal ritual, tetapi gereja juga harus turut bertindak mengupayakan pem-berdayaan  bagi  orang miskin melalui pendekatan-pendekatan usaha-usaha kesejahteraan sosial (metodologi pekerjaan sosial), agar mereka mampu melakukan fungsi-fungsi sosialnya secara normal dan mendayagunakan potensi yang dimiliki (modal sosial) serta memanfaatkan secara efektif dan efisien demi meningkatkan kehidupan mereka menjadi layak dan sejahtera serta bermartabat. Kemiskinan mengakibatkan penderitaan sebagai realitas sosial adalah lahan berteologi. Firman Allah dengan puncak karya penyelamatan Yesus Kristus menjadi sumber inspirasi dan landasan pijak bagi bangunan teologi kesejahteraan sosial.  
Sejarah Singkat Lahirnya Sistem Usaha Kesejahteraan Sosial

  ”Di Inggris pada abad pertengahan, bantuan kepada fakir miskin merupakan bagian kegiatan gerejani. Pemberian sedekah kepada fakir miskin, buta, cacat, adalah kewajiban keagamaan dan memiliki makna pembebasan hukuman dosa sesudah kematian. Undang-Undang Tentang Kemiskinan  (Poor Low) pertama kali muncul sebagai akibat adanya bencana nasional... Selanjtnya, tahun 1531 Hendri  VIII mengeluarkan peraturan yang merupakan usaha pertama kali untuk memperbaiki cara bantuan kepada fakir miskin. Orang-orang jompo (lansia) dan fakir miskin yang tidak mampu bekerja ditempatkan di rumah penampungan. Pengemis-pengemis didaftar dan diizinkan tinggal di suatu daerah tertentu. Peraturan tersebut adalah awal dari pengakuan tanggungjawab masyarakat terhadap fakir miskin. Kemudian disusul ”Statute of 1536” yang merupakan perencanaan pertama kali  bantuan masyarakat di bawah pengawasan  pemerintah. Selanjutnya dikeluarkan berbagai Undang-Undang Tentang Kemiskinan pada tahun 1601...”                 (T. Sumarnonugroho, 1991 : 125-140).

       Catatan di atas memberi informasi bahwa perhatian terhadap masalah-masalah kesejahteraan sosial pada tahun sebelum dan sampai 1531 dan sesudahnya mulai diupayakan pemerintah dan masyarkat di Eropa (Inggris). Dapatlah dikatakan bahwa saat itu secara formal benih-benih usaha kesejahteraan sosial mulai disemai, kemudian dalam perjalanan sejarah ia tumbuh dan berkembang di Eropa dan menjalar ke luar Eropa, kemudian ke berbagai negara termasuk di Indonesia pada abad ke-19. Di Indonesia, usaha-usaha kesejahteraan sosial mulai mendapat perhatian pertamakali dari pihak lembaga swasta dan diusahakan secara melembaga oleh seorang Pendeta dari Inggris, yakni Rev. W.H. Medhurt. Ia mendirikan sebuah ”Panti Asuhan Parappatan” di Jakarta tahun 1832. Kemudian diikuti oleh berbagai lembaga yang memberi perhatian terhadap masalah-masalah kesejahteraan sosial  baik lembaga keagamaan maupun non-keagamaan, secara khusus perhatian diberikan kepada para jompo (lansia) dengan mendirikan sebuah Rumah Orang Jompo Pniel pada tahun 1866. Namun pelayanannya masih terbatas kepada para janda yang mempunyai pertalian darah atau hubungan perkawinan antara orang Indonesia dengan orang Belanda. Beberapa tahun kemudian lahir berbagai lembaga swasta di beberapa tempat, seperti di Salatiga 1902 didirikan sebuah Panti oleh organisasi Bala Keselamatan, yang bernama ”Witte Kruis” untuk menampung orang-orang terlantar. Tahun 1908  didirikan pula sebuah Panti  di Semarang (Ibid : 159-160).
       Sesudah kemerdekaan, perhatian dari pemerintah Indonesia terhadap usaha-usaha kesejahteraan sosial secara formal dimulai  pada tahun 1945, dengan terbentuknya Kementerian Sosial pada tanggal 19 Agustus dua hari sesudah kemerdekaan Indonesia. Pada tahun 1948 tanggal 20 Desember dijadikan Hari Kebaktian Sosial sebagai respon terhadap kesadaran masyarakat dan pemerintah Indonesia terhadap aksi militer Belanda kedua di Yogyakarta. Hari kebaktian sosial ini merupakan wujud dari rasa solidaritas sosial masyarakat dan pemerintah terhadap orang-orang terlantar, anak yatim piatu dan cacat sebagai akibat dari perang kemerdekaan tersebut. Sesudah tahun 1950-an pemerintah Indonesia memberi perhatian yang besar dalam bidang kesejahteraan sosial dengan mengusahakan kegiatan-kegiatan sosial yang lebih luas jangkauannya, antara lain, berupa bimbingan dan penyuluhan, transmigrasi, korban bencana alam, dan sebagainya, dengan penyediaan dana baik dari pemerintah maupun swasta.
      Penanganan bidang kesejahteraan sosial ini kemudian ditangani secara terencana dan  terintegrasi oleh berbagai kementerian dalam kebinet pembangunan, yakni Kabinet Perburuhan dan Sosial tahun 1947. Pada tahun 1960-an usaha-usaha kesejahteraan sosial diperluas jangkauannya lagi pada masyarakat suku-suku terasing dengan usaha pemukiman menetap dengan penyediaan berbagai prasarana dan sarana sosial ekonomi disertai pola pembinaan dan pelayanan secara terencana dan berkesinambungan. Penanganan kesejahteraan sosial ini kemudian dituangkan dalam Pembangunan Nasional Semesta Berencana dalam Ketetapan MPRS RI No. I dan II/MPRS/1960.
        Pada tahun 1965 lahirlah Undang-Undang No.4 Tentang Pemberian Bantuan Penghidupan Orang Jompo sebagai landasan hukum formal. Mulai dari situ usaha-usaha kesejahteraan sosial berkembang dan ditangani baik oleh pemerintah maupun swasta atau masyarakat secara melembaga dan tersistem, dengan didirikan berbagai wadah pelayanan dengan berbagai program pelayanan secara terencana dan berkesinambungan. Dalam perkembangan ini pula  sistem pelayanan sosial mulai menggunakan prinsip-prinsip dan metode pekerjaan sosial yang terarah dan sistematis. Perkembangan ini mulai terencana dengan baik setelah tahun 1970-an saat masyarakat dan bangsa Indonesia mulai menghadapi perubahan sosial yang pesat melalui perencanaan pembangunan berencana yang dikenal dengan Pelita (Pembangunan Lima Tahun).
       Melalui pembangunan bertahap (Pelita) ini, usaha-usaha kesejahteraan sosial semakin mendapat tempat baik secara formal oleh pemerintah maupun perhatian yang besar dan luas dari masyarakat. Hal ini semakin jelas dengan dihasilkannya Undang-Undang RI No.6 Tahun 1974 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial. Beberapa tahun kemudian lahirlah Undang-Undang RI No.4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak sebagai landasan hukum formal dengan landasan pokok pembangunan kesejahteraan sosial secara idiil, adalah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusional, kemudian dirumuskan serta dijabarkan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara sebagai landasan operasional dari pelita ke pelita yang selalu ditinjau dan dikembangkan. Secara singkat, dalam perkembangan selanjutnya, usaha-usaha kesejahteraan sosial ini ditingkatkan dan dikembangkan baik secara kuantitas maupun kualitas melalui riset-riset yang dilakukan oleh lembaga-lembaga pemerintah, swasta maupun perguruan tinggi bersamaan dengan didirikannya berbagai perguruan tinggi negeri maupun swasta dengan kurikulum yang khusus menyiapkan pekerja dan perencana di bidang sosial maupun  ilmuan dengan disiplin kesejahteraan sosial (Ibid : 161- 171).
      Perkembangan ini terasa semakin pesat seirama dengan  kemajuan pembangunan yang melahirkan masalah-masalah sosial yang semakin kompleks, pengaruh globalisasi,  serta perubahan paradigma pembangunan dan perubahan tata pemerintahan yang kemudian  melahirkan undang-undang khususnya di bidang kesejahteraan sosial, yakni Undang-Undang  Nomor  11 Tahun 2009 yang menggantikan Undang-Undang Nomor  6  Tahun 1974 yang tidak lagi relevan dengan perkembangan, serta sejumlah undang-undang yang berhubungan dengan usaha-usaha penanganan masalah kesejahteraan sosial.




Sumber Inspirasi Lahirnya Sistem Usaha Kesejahteraan Sosial

       Dari gambaran singkat sejarah lahirnya sistem usaha kesejahteraan sosial yang dikemukan di atas, maka dapatlah dipastikan bahwa sistem usaha kesejahteraan sosial  ini lahir, dipelopori oleh lembaga-lembaga yang berlatar belakang keagamaan. Di Indonesia misalnya, seperti telah dikemukakan, yaitu Panti Asuhan Parappatan di Jakarta (1832) yang didirikan oleh Pendeta dari Inggris, yakni Rev.H.W.Menhurst. Kemudian pada tahun 1866 didirikan Rumah Orang Jompo Pniel (sebuah yayasan gereja), serta Panti Witte Kruis di Salatiga oleh organisasi gereja Bala Keselamatan.
       Lahirnya panti-panti tersebut tentu didorong oleh misi dan motivasi yang paling tidak dilandasi oleh nilai-nilai doktrin agama yang dimiliki. Oleh karena panti-panti itu berlatar-belakang agama Kristen, maka jelas, seperti pada agama-agama lain, di dalam agama Kristen dorongan untuk menolong orang lain yang menderita bersumber dari ajaran kasih dari Kristus, yakni ”Kasihilah sesamamu seperti engkau mengasihi dirimu sendiri” (hukum kasih yang kedua, Injil Mat.22:39, Mark.12:31, Luk.10:27).
      Dorongan yang sama misalnya, di samping pelopor-pelopor yang lain, adalah seorang  suster, yakni suster Teresa yang memberi dirinya melayani orang-orang menderita karena sistem serta struktur masyarakat yang menindas di Kalkuta India saat itu, yang menyebabkan banyak orang menderita sakit, mati kelaparan, terlantar karena tidak memiliki rumah (tuna wisma), tidak memiliki pekerjaan (tuna karya), dan pelacuran (tuna susila), dsb, seperti diungkapkan oleh Christian Fiedmann mengutip kata-kata suster Teresa saat ia “berkotbah” di Universitas Oslo, sebagai berikut : 

 “Kalau anda membelakangi kaum miskin berarti anda membelakangi Kristus sendiri. Kristus  telah membuat diri-Nya lapar, telanjang, dan tak beratap, supaya kita sempat mengasihi Dia (Kristus) dalam diri kaum miskin” (Christian Feldmann, 1990 : 72).

 Suster Teresa bukan seorang filosof atau teolog, namun pemikiran, pandangan-pandangan serta perkataannya melalui pernyataan di depan forum-forum mengandung nilai-nilai filosofis dan teologis yang dalam, yang turut memberi sumbangan penting terhadap bangunan teologi kesejahteraan sosial, seperti diungkapkan Christian Feldmann sebagai berikut :
   
      ”Ibu Teresa memandang Allah sebagaimana seorang anak memandang ayahnya. Ia tidak menemukan Allah dalam pandangan filsafat atau pengalaman mistik, melainkan secara mesra dalam setiap orang yang dijumpainya. Itulah rahasianya. Kasihnya yang berapi-api kepada kaum miskin, yang tidak berdaya, yang hancur karena situasi, adalah jawaban atas kasih yang dirasakan dan dihayati sendiri...” (Ibid : 72-73).

 Suster Teresa juga bukan seorang pekerja sosial (Social Worker) yang menginjakkan kakinya di perguruan tinggi kesejahteraan sosial atau sejenisnya, ia juga bukan seorang perawat kesehatan, atau seorang yang pernah mendapat pendidikan guru, namun ia adalah pekerja sosial yang tangguh dan profesional. Kemampuannya mengorganisir kegiatan untuk melayani orang miskin sangat teruji dan mengagumkan. Kunci keberhasilannya adalah bukan pada uang atau biaya serta prasarana dan sarana yang utama. Walaupun bagi suster Teresa semua itu penting, namun yang lebih penting dan utama baginya adalah kepercayaan, kesungguhan dan ketulusan untuk melayani. Kepercayaan, kesungguhan dan ketulusan suster Teresa itu dibangun atas dasar kasih Kristus yang selalu terpancar dalam seluruh karya kemanusiaannya. Hal ini terungkap dari suratnya kepada sesama rekan susternya, sebagai berikut :

”Kita adalah misionaris pembawa kasih Allah kepada dunia masa kini. Yesus mengutus kita. Ia tidak dapat menipu kita. Sabda-Nya tegas: ”Kalian berbuat itu untuk-Ku, Aku lapar dan kalian memberikan Aku makan”. Kita bukan karyawati sosial, bukan perawat, bukan guru. Kita adalah kumunitas  religius. Apabila kita melayani orang miskin, kita melayani Yesus. Saya melayani Yesus selama 24 jam setiap hari. Apa saja yang saya buat adalah bagi Dia. Dialah yang menopang saya. Saya mengasihi Dia kalau saya  mengasihi kaum miskin. Lewat Dialah saya mengasihi mereka” (Ibid : 73).  

        Gambaran singkat di atas, jelas bahwa lahirnya sistem usaha kesejahteraan sosial yang dipelopori baik oleh perorangan maupun organisasi tersebut adalah terinspirasi dan bersumber dari nilai-nilai ajaran agama yang dianut, yakni ajaran cinta kasih yang bersumber dari ajaran-ajaran  dan karya Yesus.



Pengertian Berteologi

       Berteologi adalah upaya untuk menjabarkan dan mengkomunikasikan teks dalam konteks. Berteologi oleh karenanya harus selalu memperhatikan konteks. Teologi selalu harus kontekstual, tumbuh dari dalam konteks untuk menjawab pergumulan konteks. Menurut Schoof (1970), yang dikutip Wahono Nitiprawiro, ”teologi adalah refleksi sistematis metodis tentang realitas iman, yang adalah integrasi ilmiah dari sabda Tuhan sebagaimana itu ditujukan kepada kita. Oleh karenanya teologi yang merupakan kegiatan penalaran tentang ajaran iman tersebut memperbaharui dirinya lewat tiga saluran. Pertama, adalah saluran interpretasi kembali ajaran iman sedemikian rupa sehingga mendekati sumbernya, mendekati Kitab Suci dan tradisi. Proses ini juga disebut sebagai ”kembali kepada sumber” atau resurcement. Kedua, adalah saluran kontak dengan macam hal yang terjadi dalam komunitas kristiani dan dunia masa kini. Ketiga, adalah saluran ransangan dari apa-apa yang dipikirkan oleh para teolog...” (Wahono Nitiprawiro, 1987 : 20). Jadi teologi bukan sekedar kegiatan memberikan perwajahan baru terhadap ajaran baku, tetapi refleksi iman  secara baru sebagaimana itu dihayati oleh umat dan masyarakat yang berjuang untuk pembebasan” (ibid, hal:24).
         Berteologi yang fungsional adalah teologi yang kontekstual. Teologi yang asing dari konteksnya tidak akan mampu berfungsi. Inilah teologi yang hidup. Teologi yang hidup adalah teologi yang menghidupkan (a living theology is a theology of life). Itu berarti bahwa ketika konteks kehidupan berubah, maka diperlukan pula suatu teologi yang baru. Sebab teologi yang benar-benar kontekstual senantiasa dinamis dan kreatif, peka dan cepat tanggap terhadap konteksnya (Eka Dharmaputera: 1991 : 8).
        Pada hakekatnya, teologi tidak lain dan tidak bukan adalah upaya untuk mempertahankan secara dialektis, kreatif serta eksistensial antara ”teks” dengan  ”konteks”, antara ”kerygma” yang universal dengan kenyataan hidup yang kotekstual. Dapatlah dikatakan bahwa teologi adalah upaya untuk merumuskan penghayatan kristiani pada konteks ruang dan waktu tertentu (ibid : 9). Teologi selalu bertitik tolak dari sebuah asumsi dasar, yaitu : bahwa Allah yang kita percayai adalah Allah yang berfirman, Allah yang menyatakan kehendak-Nya di sepanjang masa bagi seluruh umat manusia di mana saja. Firman dan kehendak-Nya itu adalah mengenai kebenaran dan keselamatan, serta kesejahteraan manusia bahkan seluruh ciptaan. Firman dan kehendak-Nya itu berlaku bagi siapa saja di mana saja, dan kapan saja. Dan oleh karena itu siapapun yang mendambahkan kebenaran, keselamatan dan kesejahteraan, tidak dapat tidak, harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan dan memberlakukan firman serta kehendak Allah itu. Teologi bertolak dari keinginan itu, dan berfungsi untuk mencari serta merumuskan kehendak Allah  yang menyelamatkan, mensejahterakan, serta merupakan norma kebenaran itu. Teologi yang benar harus mulai dari situ (ibid :10). Kesimpulannya adalah, teologi kontekstual harus dibangun bersama-sama secara interdisipliner. Tegasnya, bila aspek ”konteks”-nya hendak ditekankan, maka jelaslah bahwa  ilmu teologi juga membutuhkan uluran tangan dari disiplin ilmu lain, seperti sosiologi, politik, ekonomi, teknologi, dsb (ibid :15).  Teologi yang tidak mem-perhitungkan konteks budaya (maupun sosial ekonomi suatu masyarakat), akan merupakan teologi yang tidak berakar, teologi yang asing dari alam pemikiran dan sistem nilai yang ada. Ia tidak akan fungsional (ibid :17).
        Dalam berteologi, gereja harus berdiri pada garis sejarah yang memperjuangkan kemanusiaan manusia dalam arti yang sepenuh-penuhnya. Berteologi pun harus dilakukan dalam ke-berasa-an dengan semua orang. Berteologi adalah praksis yang dilakukan oleh dan untuk semua orang. Oleh sebab itu gereja bertugas mengajak semua orang memberlakukan apa yang dilakukan Allah dalam konteks kenyataan masa kini, yaitu mengangkat manusia pada kemanusiaannya (Th. Sumartana : 1993 : 18-19).
     Teologi fungsional  menunjuk pada suatu usaha  berteologi yang secara eksplisit berpangkal pada pengalaman manusiawi dan pengalaman iman (pengalaman kontekstual) dan ingin membantu penghayatan iman di situ (Eka Dharmaputera, ibid : 51). Teologi (gereja) yang fungsional (kontekstual), yaitu teologi yang dibangun  dalam kerangka ”Kerajaan Allah”. Ada empat aspek yang harus diperhatikan dalam mewujudkan teologi (gereja) yang fungsional (kontekstual), yakni :
1)      Aspek Teologis. Pemaklumat Yesus mengenai Kerajaan Allah, Kristus mewayuhkan secara baru siapakah Allah itu. Yesus menyebut Allah sebagai Abba, Bapa Pencipta. Kebangkitan Yesus meneguhkan ”tuntutanya”-Nya sebagai Anak Allah. Para murid Yesus diajari Doa Bapa Kami. Partisipasi dalam kehidupan Anak itu sesudah kebangkitan-Nya dimengerti sebagai buah daya ’Roh Kudus’, Roh yang datang dari Allah melalui Yesus;
2)      Aspek Kristologis. Dalam Injil, pemaklumat kerajaan Allah sangat erat berhubungan dengan pribadi Yesus sendiri. Kerajaan Allah simbol yang dipersonifikasikan tersebut, dalam pemakluman  Yesus diradikalisir serta diubah, diberi arti dan wujud baru secara luar biasa dan penuh resiko;
3)      Aspek Eskatologis. Kerajaan Allah merupakan tindakan Allah yang mempunyai ciri ”eskatologis-transenden”;
4)      Aspek Soteriologis. Dalam kerajaan Allah, keselamatan dan manusianya yang diper-hatikan. Keselamatan bukanlah hanya menyangkut rohaninya semata, tetapi juga menyangkut dimensi jasmaniah dan sosial.
Dengan demikian, gereja dalam kerangka mewujudkan Kerajaan Allah itu, maka iman dan harapan gereja akan kerajaan Allah mesti terwujud dalam keprihatinan dan keterlibatan menangani dunia ini, termasuk usaha-usaha mensejahterakan masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan dan tidak berdaya atau tercecer. Berdasarkan tugas pengutusan injili sebagaimana nampak dalam hidup dan karya Yesus, gereja terpanggil untuk selalu berdiri pada pihak kaum miskin (preferensial obtion for the poor)  untuk mewujudkan tuntutan keadilan mereka dalam rangka kesejahteraan bersama. Untuk menjalani hidup semacam itu, gereja harus meletakkan dan membangun landasan teologi sebagai landasan yang fungsional, yang kuat    (Th. Sumartana, ibid : 48-50).



Pengertian Kesejahteraan Sosial

         Ada berbagai pengertian atau definisi kesejahteraan sosial menurut beberapa ahli dan organisasi, yakni :
1). Arthur Dunham; merumuskan kesejahteraan sosial sebagai kegiatan-kegiatan yang terorganisasi dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan dari segi sosial melalui pemberian bantuan kepada orang untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan di dalam beberapa bidang seperti kebutuhan keluarga dan anak, penyesuaian sosial, waktu senggang, standar-standar kehidupan dan hubungan-hubungan sosial. Pelayanan kesejahteraan sosial memberikan perhatian utama terhadap individu-individu, kelompok, komunitas-kumunitas, dan kesatuan penduduk yang lebih luas; pelayanan ini mencakup pemeliharaan atau perawatan, penyembuhan dan pencegahan.
2).  Harold L.Wilensky dan Charles N. Lebeaux; mendefinisikan kesejahteraan sosial se-bagai suatu sistem yang terorganisasi daripada usaha-usaha pelayanan sosial dan lembaga-lembaga sosial, untuk membantu individu-individu dan kelompok-kelompok dalam mencapai tingkat hidup serta kesehatan  yang memuaskan. Maksudnya agar supaya individu dan relasi-relasi sosialnya memperoleh kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengembangkan kemampuan-kemampuannya serta meningkatkan  atau menyempurnakan kesejahteraannya sebagai manusia sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
3).  Walter A. Friendlander; mendefinisikan kesejahteraan sosial sebagai suatu sistem yang terorganisasi daripada pelayanan-pelayanan sosial yang melembaga, yang bermaksud untuk membantu individu-individu dan kelompok agar mencapai standar-standar kehidupan dan kesehatan yang memuaskan, serta hubungan-hubungan perorangan dan sosial yang memungkinkan mereka memperkembangkan segenap kemampuan dan peningkatan kesejahteraan mereka selaras dengan kebutuhan-kebutuhan keluarga dengan masyarakat.
4). Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB); mendefinisikan kesejahteraan sosial sebagai suatu fungsi terorganisasi, adalah kumpulan kegiatan yang bermaksud  yang memungkinkan individu, keluarga-keluarga, kelompok-kelompok dan komunitas-komunitas meng-gumuli masalah-masalah sosial yang diakibatkan oleh perubahan kondisi-kondisi. Tetapi di samping itu, secara luas, kecuali bertanggungjawab terhadap pelayanan-pelayanan khusus, kesejahteraan sosial mempunyai fungsi lebih lanjut ke bidang yang lebih luas  di dalam pembangunan sosial suatu negara. Pada pengertian yang lebih luas, kesejahteraan sosial dapat memainkan peranan dalam memberikan sumbangan untuk secara efektif menggali dan menggerakan sumber-sumber daya manusia (SDM) serta sumber daya material (SDA) yang ada di suatu negara agar dapat berhasil menggumuli kebutuhan-kebutuhan sosial yang ditimbulkan oleh perubahan, dengan demikian berperan serta dalam pembinaan bangsa (T. Sumarnonugroho, 1991 : 27-36).
5). Undang-Undang No.11 Tahun 2009; merumuskan kesejahteraan sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosial-nya.



Tujuan Kesejahteraan Sosial

             Kesejahteraan sosial sebagai sistem mempunyai tujuan dan fungsi, yakni :

             Tujuan
a.       Untuk mencapai kehidupan yang sejahtera dalam arti mencapai standar kehidupan pokok, sandang, perumahan, pangan, kesehatan, dan relasi-relasi sosial yang baik dalam lingkungannya;
b.      Untuk mencapai penyesuain diri yang baik, apakah itu kepada masyarakat di lingkungannya, misalnya menggali sumber-sumber daya, meningkatkan dan mengembangkan taraf hidup yang memuaskan.

              Leonard Schneiderman, menguraikan tujuan-tujuan sistem kesejahteraan sosial, sbb:
a.       Maintenance system (sistem pemeliharaan); yaitu kesejahateraan sosial mencakup pemeliharaan dan menjaga keseimbangan atau kelangsungan keberadaan serta nilai-nilai sosial. Hal ini berhubungan dengan :
      ● Pengertian dasar tentang arti dan tujuan kehidupan;
      ● Motivasi untuk mempertahankan kelangsungan hidup individu dan kelompok masyarakat;
      ● Norma-norma untuk menampilkan peranan berdasarkan umur dan jenis kelamin;
                     ● Norma-norma yang berhubungan dengan produksi dan distribusi barang serta pelayanan;
        Norma-norma tentang pemecahan  konflik dan semacamnya.

b.      Control system (sistem pengawasan); tujuannya adalah mengadangan pengawasan secara efektif terhadap perilaku yang tidak sesuai atau penyimpang dari nilai-nilai sosial yang ada. Tujuan ini dapat dicapai dengan melakukan kegiatan-kegiatan :
      ● Identifikasi fungsi-fungsi pemeliharaan, berupa kompensasi, resosialisasi, dan penyadaran terhadap kelompok-kelompok penduduk yang berperilaku menyim-pang agar supaya dapat mengembangkan pengawasan diri;
      ● Menggunakan prosedur-prosedur hukum dan peraturan-peraturan untuk meningkatkan pengawasan eksternal dari perilaku yang menyimpang; misalnya kerusakan dan kemunduran mental, kelalaian dan kekejaman orang tua, pencegahan tindakan bunuh diri, kriminal, dan sejenisnya.
     c. Change system (Sistem Perubahan); Tujuannya adalah mengadakan perubahan ke arah berkembangnya suatu sistem yang lebih efektif bagi anggota masyarakat. Dalam hal ini usaha sistem kesejahteraan sosial merupakan suatu alat untuk menghilangkan hambatan-hambatan terhadap terwujudnya :
 ● Partisipasi dalam pengambilan keputusan secara penuh dan lebih adil;
 ● Distribusi sumber-sumber yang lebih adil dan merata;
 ● Penggunaan kemungkinan-kemungkinan yang ada dalam struktur sistem secara lebih banyak dan lebih adil. (T. Sumarnonugroho, 1991 : 37-40).




Fungsi-Fungsi Kesejahteraan Sosial

        Pada dasarnya fungsi-fungsi kesejahteraan sosial bertujuan untuk menghilangkan atau mengurangi tekanan-tekanan yang diakibatkan perubahan-perubahan sosial-ekonomi, menghindarkan terjadinya konsekuensi-konsekuensi sosial yang negatif terhadap pembangunan  serta menciptakan kondisi-kondisi yang mampu mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat. Ada empat fungsi kesejahteraan sosial, yakni :

1).  Fungsi Penyembuhan (Curative)
      Kesejahteraan sosial melaksanakan fungsi penyembuhan bila di dalamnya tercakup sekumpulan kegiatan yang ditujukan untuk menghilangkan kondisi-kondisi, ketidak- mampuan fisik, emosional dan sosial agar orang yang mengalami masalah tersebut dapat berfungsi secara normal kembali di dalam masyarakat. Contoh pelaksanaan fungsi penyembuhan ini, antara lain, masalah keluarga, kelompok, kesatuan masyarakat untuk berperan secara memadai, misalnya :
·     anak terlantar
·     keluarga miskin
·     penderita cacat
·     lanjut usia (lansia)
·     dsb.

          2).  Fungsi Pencegahan (Preventive)
Fungsi pencegahan dalam kesejahteraan sosial bertujuan untuk memperkuat keluarga, kelompok-kelompok, dan kesatuan-kesatuan masyarakat agar jangan sampai timbul masalah-masalah sosial yang baru. Di samping itu juga diusahakan pencegahan tingkah laku perorangan yang abnormal.
Di dalam masyarakat yang mengalami perubahan cepat, upaya pencegahan ditekankan pada kegiatan-kegiatan untuk membantu penciptaan pola-pola baru hubungan sosial serta lembaga-lembaga sosial baru. Upaya pencegahan ini tergantung kepada bagaimana tingkat kehidupan suatu negara dengan melihat sumber-sumber yang tersedia.

3). Fungsi Pengembangan (Development)
Kegiatan kesejahteraan sosial yang bersifat pengembangan, tujuan-tujuan dan orientasinya untuk memberikan sumbangan langsung bagi proses pembangunan. Dalam hal ini kesejahteraan sosial bertindak sebagai suatu unsur pelaksana perubahan (change agent), yaitu membantu peningkatan proses perubahan berencana. Perubahan ini dapat mempengaruhi struktur dan fungsi keluarga serta masyarakat, sehingga anggotanya perlu disiapkan untuk memperoleh dan melaksanakan peranan-peranan serta tanggungjawab yang baru.
Kegiatan-kegiatan yang dilaksankan mencakup cara-cara untuk memperbaiki situasi-situasi melalui pelibatan orang-orang di lingkungan sosialnya dan untuk memecahkan masalahnya.

4).  Fungsi Penunjang (Supportive)
      Fungsi penunjang dalam kesejahteraan sosial  ini mencakup kegiatan untuk membantu mencapai tujuan-tujuan sektor lain. Misalnya dalam membantu men-capai tujuan kebijaksanaan pemerintah dalam menunjang program kependudukan dan keluarga berencana dengan jalan mempengaruhi sikap-sikap atau memotivasi masyarakat untuk ikut serta menyukseskan program KB, maupun program-program pemberdayaan masyarakat, dsb.




Landasan Teologi Kesejahteraan Sosial
      
             ”...Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini kamu telah melakukannya untuk Aku” (Matius: 25:40).

                    Bagian Alkitab ini sebetulnya mau menegaskan iman yang hidup dari orang percaya (Kristen), di mana dalam percakapan dengan Yesus, para (murid) bingung dan kesulitan memahami bagaimana mengasihi Allah yang abstrak itu, walaupun sudah sekian lama mereka hidup bersama Yesus dan menyaksikan apa yang telah dikatakan dan dilakukan-Nya. Nampaknya para murid belum yakin betul apa yang telah Yesus katakan tentang ”Kerajaan Allah” atau ”Kerajaan Sorga”. Para murid sangat terikat dengan pandangan mereka sendiri mengenai kerajaan Sorga yang abstrak, dan oleh sebab itu bagi mereka yang lebih penting adalah aspek iman yang ”imanen” bukan iman yang ”transenden”. Iman yang imanen lebih cenderung menekankan sikap ”askestis”, yakni sikap yang menjauhkan diri dari realitas sosial yang nyata, dunia termasuk manusia, dianggap penuh cobaan dan dosa, oleh sebab itu tidak boleh didekati.
                          Dengan cara berpikir seperti itu para murid lebih cenderung mengarahkan pandangan dan sikap mereka kepada dunia akhirat dan mengabaikan realitas kehidupan sosial yang dihadapi. Hal itu sangat jelas terlihat dalam argumentasi mereka ketika Yesus berkata tentang kewajiban para murid (orang percaya)  untuk melayani orang-orang yang sedang berada dalam penderitaan karena lapar, haus,  orang asing, sakit, dan orang-orang yang ada dalam penjara, dimana Yesus mengidentifikasikan diri-Nya dengan orang-orang tersebut. Para murid menyangka bahwa Yesus lah yang mesti mereka layani ketika Yesus berada dalam penderitaan, karena selama itu mereka belum pernah menyaksikan Yesus mengalami penderitaan seperti itu untuk mereka melayani-Nya. Padahal yang Yesus maksudkan adalah mereka harus melayani orang-orang yang mereka jumpai berada dalam penderitaan, dan melakukan kepada mereka sama seperti melakukannya kepada Yesus, karena orang-orang seperti itulah menjadi misi kedatangan Yesus ke dunia.
                          Teks ini pula sangat jelas berbicara tentang penghukuman kepada mereka yang tidak melakukan pelayanan kepada orang yang berada dalam penderitaan sebagai melakukan perbuatan baik. Mereka yang melakukan perbuatan baik akan dipisahkan sebagai domba dan yang tidak melakukan perbuatan baik dipisahkan sebagai kambing. Domba yang akan memiliki tempat dalam kehidupan yang kekal atau Kerajaan Sorga sedangkan kambing tempatnya siksaan yang kekal atau neraka pada saat penghakiman terakhir.
                         Yang dimaksudkan Yesus dengan saudara-Ku yang paling hina itu adalah semua orang dari semua bangsa, tanpa mengenal latarbelakang suku,  ras, golongan agama, bahasa, warna kulit, tua muda, kecil besar, laki-laki dan perempuan. Dan orang yang paling hina adalah  setiap orang atau kelompok orang yang dikategorikan menderita dan hidup tidak layak, karena tidak memiliki akses baik sosial, ekonomi, politik, hukum, budaya, yang membuat mereka tidak berdaya baik disebabkan karena struktur sosial ekonomi maupun sebab-sebab fungsional yang membuat seseorang atau kelompok orang tidak dapat melakukan fungsi sosialnya dengan baik. Yesus mengidentikan diri-Nya sendiri dengan orang-orang yang menderita tersebut sebagai orang yang paling hina yang harus mendapat perhatian dan mengutamakan mereka untuk dilayani dan diselamatkan melalui tindakan-tindakan nyata yang membebaskan mereka dari penderitaan dan kehinaannya. Hal ini memang sudah dinubuatkan oleh nabi Yesaya tentang kedatangan Yesus dan misi-Nya jauh sebelum kedatangan Yesus, yakni ”...Ia dihina dan dihindari orang, seorang yang penuh kesengsaraan dan yang biasa menderita kesakitan; ia sangat dihina, sehingga orang menutup mukanya terhadap dia dan bagi kita pun dia tidak masuk hitungan. Tetapi sesungguhnya, penyakit kitalah yang ditanggungnya, dan kesengsaraan kita yang dipikulnya...” (Yes.52:3-4).
                           Dengan penjelasan Yesus yang sangat gamblang dalam percakapan dengan murid-murid seperti dikemukakan di atas, walaupun ceritanya tidak berlanjut mengenai bagaimana tanggapan para murid terhadap pernyataan Yesus tersebut, namun sebetulnya percakapan yang mengandung wejangan eskatologis tersebut sangat kuat menekankan aspek soteriologis-transenden dari iman orang percaya (Kristen) sebagai kewajiban iman yang asasi, yang pada hekekatnya semua itu merupakan inti dari hukum kasih yang kedua, yang tidak boleh diabaikan, dan mesti dilaksanakan sejajar dengan hukum kasih yang pertama. Mengabaikan yang satu dan mengutamakan yang lain berarti iman yang tidak sempurna, iman yang setengah-setengah, iman yang imitasi atau palsu, ibarat kubur yang kosong berlabur putih kelihatannya indah pada luarnya namun di dalamnya tulang belulang. Artinya ibadah yang sejati bukan pada aspek formalnya yang ditekankan tetapi seluruh perilaku hidup dalam interaksi dengan sesama serta dengan lingkungan. Dengan kata lain ibadah yang sejati adalah ibadah yang berpijak kepada kehidupan nyata manusia, realitas sosial adalah basis ibadah dimana iman orang percaya dilempar dan dipertaruhkan di situ. Inilah sebetulnya inti iman yang hidup dari orang percaya (Kristen), bukan melakukan perbuatan baik untuk memperoleh  keselamatan, tetapi karena sudah diselamatkan maka orang percaya (Kristen) harus melakukan perbuatan baik  kepada sesama yang menderita demi mengangkat mereka dari penderitaannya, adalah  tindakan iman yang membalas kebaikan Allah melalui karya penyelamatan oleh Yesus.
                          Dengan begitu menjadi jelas bahwa yang dimaksudkan dengan ”Kerajaan Allah” atau ”Kerajaan Sorga”  itu ada di dalam realitas kehidupan manusia sehari-hari di mana manusia bergumul dengan kehidupannya, dan tindakan untuk membebaskan manusia dari pergumulan dan penderitaannya itu menunjukkan tanda-tanda dari Kerajaan Allah atau Kerajaan Sorga tersebut. Hal ini menjadi semakin jelas ketika dalam percakapan dengan orang Farisi tentang kuasa yang dipakai Yesus mengusir setan, Yesus mengatakan, ”Tetapi jika Aku mengusir setan dengan kuasa Roh Allah, maka sesungguhnya Kerajaan Allah sudah datang kepadamu” (Matius: 12:28; Lukas: 11:20).
                          Dapatlah dipahami bahwa perkataan, pernyataan, serta seluruh tindakan Yesus  memberi kesan teologis yang kuat mengenai aspek transenden dari iman yang harus menjadi landasan paradigma dalam bentuk aksi – refleksi – aksi, bagi tindakan-tindakan nyata dalam kerangka pengatasi masalah-masalah sosial dan kemanusiaan. Kehadiran Yesus sendiri di dunia sesungguhnya menunjukkan kehadiran Kerajaan Allah di dunia  ini. Itu berarti Yesus ingin menegaskan bahwa pandangan dan pola pemikiran para murid dan orang percaya (Kristen) jangan menyusahkan atau menyesatkan mereka sendiri, karena Kerajaan Allah itu sesungguhnya ada dalam kehidupan manusia sehari-hari yang setiap saat dijumpai oleh para murid dan orang percaya, seperti orang yang lapar, haus, sakit, orang asing atau pengungsi, gelandangan, orang yang kekurangan sandang, serta orang yang ada dalam penjara. Paradigma ini mengisyaratkan setiap tindakan dan aksi sosial bagi pembebasan atau penyelamatan manusia diberi landasan teologis, dan melalui tindakan atau aksi sosial – refleksi – dan aksi itu (praksis), diperoleh pengalaman iman yang nyata dan baru secara terus-menerus sebagai bahan refleksi yang menghubungkan teks Firman Allah dengan konteks realitas sosial.
                   Dengan begitu maka kesejahteraan sosial dapat diupayakan dan dibangun dengan kerangka paradigmatik (metodologis) yang jelas dan pijakan teologis yang kuat, yang selalu dapat dianalisis dan dievaluasi secara kritis  dan dikembangkan sesuai dinamika konteks realitas  sebagai lahan bagi upaya-upaya pemberdayaan sosial untuk mewujudkan kesejahteraan sosial dan pembebasan  bagi manusia secara adil dan berkeadaban,  dapat terus dilakukan secara bermakna baik kuantitatif maupun kualitatif.

Penutup

        Usaha-usaha kesejahteraan sosial memiliki tugas dan fungsi serta kedudukan  yang sama penting dengan upaya untuk menyelamatkan jiwa manusia. Upaya menyelamatkan jiwa manusia tanpa mengusahakan kesejahteraannya sama halnya dengan  manusia yang hidup dengan roh tanpa tubuh, ibarat jiwanya di bumi sedangkan tubuhnya melayang-layang di awan-awan, sebaliknya mengusahakan kesejahteraan manusia tanpa menyelamatkan jiwanya sama halnya dengan manusia yang sementara hidup dengan tubuh tetapi jiwanya telah mati. Oleh karena itu baik jiwa (rohaniah)  maupun tubuh  (jasmaniah) harus dipandang dan ditempatkan dalam perspektif keutuhan atau totalitas ciptaan yang tidak terpisahkan, yang harus diselamatkan secara holistik melalui pendekatan-pendekatan (metodologi) usaha-usaha kesejahteraan sosial yang dilandasi dengan nilai-nilai iman (teologi) yang mendasari usaha-usaha kesejahteraan sosial tersebut.
        Upaya untuk meletakkan dan mengembangkan teologi kesejahteraan sosial harus dimulai dari sekarang dan terus dilakukan secara bersama sebagai upaya membangun teologi fungsional, teologi yang efektif mengupayakan pemberdayaan dan pemandirian bagi mereka yang lemah dan tidak berdaya, miskin karena tidak memiliki  akses baik sosial, ekonomi, budaya, politik, hukum, serta struktur sosial dan kekuasaan yang membelenggu. Itu adalah teologi yang hidup dan berakar. Teologi yang hidup dan berakar adalah teologi yang menghidupkan,   teologi yang melakukan tindakan-tindakan pembebasan dan penyelamatan melalui upaya-upaya pemberdayaan baik komunitas maupun individu  untuk dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara normal dan optimal dengan potensi yang ada (modal sosial) serta memaksimalkan sistem sumber secara efektif dan efisien demi menopang proses-proses pemberdayaan yang mampu mengeluarkan mereka dari kesulitan-kesulitan dan penderitaan, agar hidup layak, sejahtera dan bermartabat.
        Perkataan, tindakan dan seluruh karya penyelamatan (pembebasan) Yesus memberi inspirasi dan keteladanan bagi peletakan dasar bangunan Teologi  Kesejahteraan Sosial yang kuat, berakar dan fungsional.
          















Referensi


      Banawiratma, J.B (ed), Kemiskinan dan Pembebasan, Pustaka Teologi, Kanisius, 1990.

      Banawiratna, J.B & Miller, J, Bertelogi Sosial Lintas Ilmu, Kanisius,  Yogyakarta, 1993

      Darmaputera, Eka (Penyunting),  Konteks Beteologi Di Indonesia, BPK, Jakarta, 1991.

      Feldmann, Christian, Pejuang Keadilan dan Perdamaian, BPK & Kanisius, Jakarta, 1990.

      Holland, Joe & Hendriot Peter, Analisis Sosial & Refleksi Teologis, Kaitan Iman dan
 Keadilan,  Kanisius, Yogyakarta, 1986.

      Hendriks, Herman, Keadilan Sosial dalam Kitab Suci, Kanisius, Yogyakarta, 1990.

      Nitiprawiro, Wahono, Teologi Pembebasan, Sinar Harapan, Jakarta, 1987.

     Sumartana, Th (dkk), Terbit Sepucuk Taruk : Teologi Kehidupan, Balitbang PGI,
 Jakarta, 1993.

     Sumarnonugroho, T, Sistem Intervensi Kesejahteraan Sosial, PT. Handinita,
Yogyakarta, 1991.

     Undang-Undang  RI  Nomor 11 Tahun 2009, Tentang Kesejahteraan Sosial.



































Tidak ada komentar:

Posting Komentar