TEOLOGI KESEJAHTERAAN
SOSIAL
(Gagasan awal
membangun teologi fungsional)
Oleh :
Max Maswekan
Dosen FISIP UKIM - Ambon
Pengantar
Berteologi adalah upaya memahami teks
Firman Allah dan mengimplementasikannya ke dalam konteks kehidupan nyata. Kehidupan
nyata adalah realitas sosial yang di dalamnya manusia hidup, saling
berinteraksi dan bergumul dengan kehidupannya. Masalah kelaparan, pengangguran, gelandangan, pengungsian, dan
ketidakberdayaan menyebabkan kemiskinan,
adalah realitas kehidupan nyata orang-orang yang tidak berdaya karena
tidak memiliki akses baik sosial, budaya, ekonomi, politik, dan hukum serta
struktur sosial dan kekuasaan yang membelunggu. Mereka itu tidak menikmati
kesejahteraan secara layak, dan martabat mereka sering diinjak-injak. Karena
itu berteologi harus memberi perhatian dan
mengutamakan mereka yang menderita tersebut serta berupaya mengangkat
mereka dari penderitaannya. Itu adalah teologi yang hidup, berakar, dan
fungsional.
Tulisan sederhana ini mencoba menggagas
pencarian wajah baru dalam berteologi dengan memberi fokus kepada kesejahteraan
sosial sebagai lokus berteologi. Kemiskinan yang membuat orang menderita adalah
masalah utama kesejahteraan sosial. Kemiskinan dalam perspektif iman Kristen
adalah dosa, dan dosa dibenci oleh Allah, oleh karena itu harus dilawan. Gereja
dan kekristenan memiliki tugas dan tanggung jawab untuk berjuang melawan dosa kemiskinan tersebut, dengan
mengupayakan tindakan-tindakan penyelamatan melalui aksi – refleksi – aksi
sebagai praksis kesejahteraan sosial. Karena untuk itulah gereja diutus di tengah-tengah dunia ini. Itu adalah
gereja yang autentik, yakni gereja yang selalu berpihak dan berjuang melawan
penderitaan akibat kemiskinan serta struktur yang menyebabkan kemiskinan dan
penderitaan manusia.
Gereja harus berjuang
sungguh-sungguh membebaskan kaum miskin dari penderitaan mereka. Gereja diutus di
tengah-tengah dunia tidak sekedar memberitakan Firman melalui kegiatan-kegiatan
formal ritual, tetapi gereja juga harus turut bertindak mengupayakan pem-berdayaan bagi orang miskin melalui pendekatan-pendekatan
usaha-usaha kesejahteraan sosial (metodologi pekerjaan sosial), agar mereka
mampu melakukan fungsi-fungsi sosialnya secara normal dan mendayagunakan
potensi yang dimiliki (modal sosial) serta memanfaatkan secara efektif dan
efisien demi meningkatkan kehidupan mereka menjadi layak dan sejahtera serta bermartabat.
Kemiskinan mengakibatkan penderitaan
sebagai realitas sosial adalah lahan berteologi. Firman Allah dengan puncak
karya penyelamatan Yesus Kristus menjadi sumber inspirasi dan landasan pijak
bagi bangunan teologi kesejahteraan sosial.
Sejarah
Singkat Lahirnya Sistem Usaha Kesejahteraan Sosial
”Di
Inggris pada abad pertengahan, bantuan kepada fakir miskin merupakan bagian
kegiatan gerejani. Pemberian sedekah kepada fakir miskin, buta, cacat, adalah
kewajiban keagamaan dan memiliki makna pembebasan hukuman dosa sesudah
kematian. Undang-Undang Tentang Kemiskinan
(Poor Low) pertama kali muncul sebagai akibat adanya bencana nasional...
Selanjtnya, tahun 1531 Hendri VIII
mengeluarkan peraturan yang merupakan usaha pertama kali untuk memperbaiki cara
bantuan kepada fakir miskin. Orang-orang jompo (lansia) dan fakir miskin yang
tidak mampu bekerja ditempatkan di rumah penampungan. Pengemis-pengemis
didaftar dan diizinkan tinggal di suatu daerah tertentu. Peraturan tersebut
adalah awal dari pengakuan tanggungjawab masyarakat terhadap fakir miskin.
Kemudian disusul ”Statute of 1536” yang merupakan perencanaan pertama kali bantuan masyarakat di bawah pengawasan pemerintah. Selanjutnya dikeluarkan berbagai
Undang-Undang Tentang Kemiskinan pada tahun 1601...” (T. Sumarnonugroho, 1991 : 125-140).
Catatan di atas memberi
informasi bahwa perhatian terhadap masalah-masalah kesejahteraan sosial pada
tahun sebelum dan sampai 1531 dan sesudahnya mulai diupayakan pemerintah dan
masyarkat di Eropa (Inggris). Dapatlah dikatakan bahwa saat itu secara formal
benih-benih usaha kesejahteraan sosial mulai disemai, kemudian dalam perjalanan
sejarah ia tumbuh dan berkembang di Eropa dan menjalar ke luar Eropa, kemudian ke
berbagai negara termasuk di Indonesia pada abad ke-19. Di Indonesia,
usaha-usaha kesejahteraan sosial mulai mendapat perhatian pertamakali dari pihak
lembaga swasta dan diusahakan secara melembaga oleh seorang Pendeta dari
Inggris, yakni Rev. W.H. Medhurt. Ia mendirikan sebuah ”Panti Asuhan
Parappatan” di Jakarta tahun 1832. Kemudian diikuti oleh berbagai lembaga yang
memberi perhatian terhadap masalah-masalah kesejahteraan sosial baik lembaga keagamaan maupun non-keagamaan,
secara khusus perhatian diberikan kepada para jompo (lansia) dengan mendirikan
sebuah Rumah Orang Jompo Pniel pada tahun 1866. Namun pelayanannya masih
terbatas kepada para janda yang mempunyai pertalian darah atau hubungan
perkawinan antara orang Indonesia dengan orang Belanda. Beberapa tahun kemudian
lahir berbagai lembaga swasta di beberapa tempat, seperti di Salatiga 1902
didirikan sebuah Panti oleh organisasi Bala Keselamatan, yang bernama ”Witte
Kruis” untuk menampung orang-orang terlantar. Tahun 1908 didirikan pula sebuah Panti di Semarang (Ibid : 159-160).
Sesudah kemerdekaan, perhatian
dari pemerintah Indonesia terhadap usaha-usaha kesejahteraan sosial secara formal
dimulai pada tahun 1945, dengan
terbentuknya Kementerian Sosial pada tanggal 19 Agustus dua hari sesudah
kemerdekaan Indonesia. Pada tahun 1948 tanggal 20 Desember dijadikan Hari
Kebaktian Sosial sebagai respon terhadap kesadaran masyarakat dan pemerintah
Indonesia terhadap aksi militer Belanda kedua di Yogyakarta. Hari kebaktian
sosial ini merupakan wujud dari rasa solidaritas sosial masyarakat dan
pemerintah terhadap orang-orang terlantar, anak yatim piatu dan cacat sebagai
akibat dari perang kemerdekaan tersebut. Sesudah tahun 1950-an pemerintah
Indonesia memberi perhatian yang besar dalam bidang kesejahteraan sosial dengan
mengusahakan kegiatan-kegiatan sosial yang lebih luas jangkauannya, antara
lain, berupa bimbingan dan penyuluhan, transmigrasi, korban bencana alam, dan
sebagainya, dengan penyediaan dana baik dari pemerintah maupun swasta.
Penanganan bidang kesejahteraan
sosial ini kemudian ditangani secara terencana dan terintegrasi oleh berbagai kementerian dalam
kebinet pembangunan, yakni Kabinet Perburuhan dan Sosial tahun 1947. Pada tahun
1960-an usaha-usaha kesejahteraan sosial diperluas jangkauannya lagi pada
masyarakat suku-suku terasing dengan usaha pemukiman menetap dengan penyediaan
berbagai prasarana dan sarana sosial ekonomi disertai pola pembinaan dan
pelayanan secara terencana dan berkesinambungan. Penanganan kesejahteraan
sosial ini kemudian dituangkan dalam Pembangunan Nasional Semesta Berencana
dalam Ketetapan MPRS RI No. I dan II/MPRS/1960.
Pada tahun 1965 lahirlah
Undang-Undang No.4 Tentang Pemberian Bantuan Penghidupan Orang Jompo sebagai
landasan hukum formal. Mulai dari situ usaha-usaha kesejahteraan sosial
berkembang dan ditangani baik oleh pemerintah maupun swasta atau masyarakat
secara melembaga dan tersistem, dengan didirikan berbagai wadah pelayanan
dengan berbagai program pelayanan secara terencana dan berkesinambungan. Dalam
perkembangan ini pula sistem pelayanan
sosial mulai menggunakan prinsip-prinsip dan metode pekerjaan sosial yang
terarah dan sistematis. Perkembangan ini mulai terencana dengan baik setelah
tahun 1970-an saat masyarakat dan bangsa Indonesia mulai menghadapi perubahan
sosial yang pesat melalui perencanaan pembangunan berencana yang dikenal dengan
Pelita (Pembangunan Lima Tahun).
Melalui pembangunan bertahap (Pelita) ini,
usaha-usaha kesejahteraan sosial semakin mendapat tempat baik secara formal
oleh pemerintah maupun perhatian yang besar dan luas dari masyarakat. Hal ini
semakin jelas dengan dihasilkannya Undang-Undang RI No.6 Tahun 1974 Tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial. Beberapa tahun kemudian
lahirlah Undang-Undang RI No.4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak sebagai
landasan hukum formal dengan landasan pokok pembangunan kesejahteraan sosial
secara idiil, adalah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan
konstitusional, kemudian dirumuskan serta dijabarkan dalam Garis-Garis Besar
Haluan Negara sebagai landasan operasional dari pelita ke pelita yang selalu
ditinjau dan dikembangkan. Secara singkat, dalam perkembangan selanjutnya,
usaha-usaha kesejahteraan sosial ini ditingkatkan dan dikembangkan baik secara
kuantitas maupun kualitas melalui riset-riset yang dilakukan oleh
lembaga-lembaga pemerintah, swasta maupun perguruan tinggi bersamaan dengan
didirikannya berbagai perguruan tinggi negeri maupun swasta dengan kurikulum
yang khusus menyiapkan pekerja dan perencana di bidang sosial maupun ilmuan dengan disiplin kesejahteraan sosial
(Ibid : 161- 171).
Perkembangan ini terasa semakin
pesat seirama dengan kemajuan
pembangunan yang melahirkan masalah-masalah sosial yang semakin kompleks,
pengaruh globalisasi, serta perubahan
paradigma pembangunan dan perubahan tata pemerintahan yang kemudian melahirkan undang-undang khususnya di bidang
kesejahteraan sosial, yakni Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2009 yang
menggantikan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1974 yang tidak lagi relevan dengan
perkembangan, serta sejumlah undang-undang yang berhubungan dengan usaha-usaha
penanganan masalah kesejahteraan sosial.
Sumber
Inspirasi Lahirnya Sistem Usaha Kesejahteraan Sosial
Dari
gambaran singkat sejarah lahirnya sistem usaha kesejahteraan sosial yang
dikemukan di atas, maka dapatlah dipastikan bahwa sistem usaha kesejahteraan
sosial ini lahir, dipelopori oleh
lembaga-lembaga yang berlatar belakang keagamaan. Di Indonesia misalnya,
seperti telah dikemukakan, yaitu Panti Asuhan Parappatan di Jakarta (1832) yang
didirikan oleh Pendeta dari Inggris, yakni Rev.H.W.Menhurst. Kemudian pada
tahun 1866 didirikan Rumah Orang Jompo Pniel (sebuah yayasan gereja), serta
Panti Witte Kruis di Salatiga oleh organisasi gereja Bala Keselamatan.
Lahirnya panti-panti tersebut tentu didorong
oleh misi dan motivasi yang paling tidak dilandasi oleh nilai-nilai doktrin
agama yang dimiliki. Oleh karena panti-panti itu berlatar-belakang agama Kristen,
maka jelas, seperti pada agama-agama lain, di dalam agama Kristen dorongan
untuk menolong orang lain yang menderita bersumber dari ajaran kasih dari
Kristus, yakni ”Kasihilah sesamamu seperti engkau mengasihi dirimu sendiri”
(hukum kasih yang kedua, Injil Mat.22:39, Mark.12:31, Luk.10:27).
Dorongan yang sama misalnya, di
samping pelopor-pelopor yang lain, adalah seorang suster, yakni suster Teresa yang memberi dirinya
melayani orang-orang menderita karena sistem serta struktur masyarakat yang
menindas di Kalkuta India saat itu, yang menyebabkan banyak orang menderita
sakit, mati kelaparan, terlantar karena tidak memiliki rumah (tuna wisma),
tidak memiliki pekerjaan (tuna karya), dan pelacuran (tuna susila), dsb,
seperti diungkapkan oleh Christian Fiedmann mengutip kata-kata suster Teresa
saat ia “berkotbah” di Universitas Oslo, sebagai berikut :
“Kalau anda membelakangi kaum miskin berarti anda membelakangi Kristus
sendiri. Kristus telah membuat diri-Nya
lapar, telanjang, dan tak beratap, supaya kita sempat mengasihi Dia (Kristus)
dalam diri kaum miskin” (Christian Feldmann, 1990 : 72).
Suster
Teresa bukan seorang filosof atau teolog, namun pemikiran, pandangan-pandangan
serta perkataannya melalui pernyataan di depan forum-forum mengandung
nilai-nilai filosofis dan teologis yang dalam, yang turut memberi sumbangan
penting terhadap bangunan teologi kesejahteraan sosial, seperti diungkapkan
Christian Feldmann sebagai berikut :
”Ibu Teresa memandang Allah sebagaimana
seorang anak memandang ayahnya. Ia tidak menemukan Allah dalam pandangan
filsafat atau pengalaman mistik, melainkan secara mesra dalam setiap orang yang
dijumpainya. Itulah rahasianya. Kasihnya yang berapi-api kepada kaum miskin,
yang tidak berdaya, yang hancur karena situasi, adalah jawaban atas kasih yang
dirasakan dan dihayati sendiri...” (Ibid : 72-73).
Suster
Teresa juga bukan seorang pekerja sosial (Social Worker) yang menginjakkan
kakinya di perguruan tinggi kesejahteraan sosial atau sejenisnya, ia juga bukan
seorang perawat kesehatan, atau seorang yang pernah mendapat pendidikan guru,
namun ia adalah pekerja sosial yang tangguh dan profesional. Kemampuannya
mengorganisir kegiatan untuk melayani orang miskin sangat teruji dan
mengagumkan. Kunci
keberhasilannya adalah bukan pada uang atau biaya serta prasarana dan sarana
yang utama. Walaupun bagi suster Teresa semua itu penting, namun yang lebih
penting dan utama baginya adalah kepercayaan, kesungguhan dan ketulusan untuk
melayani. Kepercayaan, kesungguhan dan ketulusan suster Teresa itu dibangun
atas dasar kasih Kristus yang selalu terpancar dalam seluruh karya
kemanusiaannya. Hal ini
terungkap dari suratnya kepada sesama rekan susternya, sebagai berikut :
”Kita adalah misionaris pembawa kasih Allah kepada
dunia masa kini. Yesus mengutus kita. Ia tidak dapat menipu kita. Sabda-Nya
tegas: ”Kalian berbuat itu untuk-Ku, Aku lapar dan kalian memberikan Aku
makan”. Kita bukan karyawati sosial, bukan perawat, bukan guru. Kita adalah
kumunitas religius. Apabila kita
melayani orang miskin, kita melayani Yesus. Saya melayani Yesus selama 24 jam
setiap hari. Apa saja yang saya buat adalah bagi Dia. Dialah yang menopang
saya. Saya mengasihi Dia kalau saya
mengasihi kaum miskin. Lewat Dialah saya mengasihi mereka” (Ibid : 73).
Gambaran singkat di atas,
jelas bahwa lahirnya sistem usaha kesejahteraan sosial yang dipelopori baik
oleh perorangan maupun organisasi tersebut adalah terinspirasi dan bersumber
dari nilai-nilai ajaran agama yang dianut, yakni ajaran cinta kasih yang
bersumber dari ajaran-ajaran dan karya
Yesus.
Pengertian
Berteologi
Berteologi adalah upaya untuk menjabarkan dan
mengkomunikasikan teks dalam konteks. Berteologi oleh karenanya harus selalu
memperhatikan konteks. Teologi selalu harus kontekstual, tumbuh dari dalam
konteks untuk menjawab pergumulan konteks. Menurut Schoof
(1970), yang dikutip Wahono Nitiprawiro, ”teologi adalah refleksi
sistematis metodis tentang realitas iman, yang adalah integrasi ilmiah dari
sabda Tuhan sebagaimana itu ditujukan kepada kita. Oleh karenanya teologi yang
merupakan kegiatan penalaran tentang ajaran iman tersebut memperbaharui dirinya
lewat tiga saluran. Pertama, adalah saluran interpretasi kembali ajaran iman
sedemikian rupa sehingga mendekati sumbernya, mendekati Kitab Suci dan tradisi.
Proses ini juga disebut sebagai ”kembali kepada sumber” atau resurcement.
Kedua, adalah saluran kontak dengan macam hal yang terjadi dalam komunitas
kristiani dan dunia masa kini. Ketiga, adalah saluran ransangan dari apa-apa
yang dipikirkan oleh para teolog...” (Wahono
Nitiprawiro, 1987 : 20). ”Jadi teologi bukan sekedar kegiatan memberikan
perwajahan baru terhadap ajaran baku, tetapi refleksi iman secara baru sebagaimana itu dihayati oleh umat
dan masyarakat yang berjuang untuk pembebasan” (ibid, hal:24).
Berteologi yang fungsional
adalah teologi yang kontekstual. Teologi yang asing dari konteksnya tidak akan
mampu berfungsi. Inilah teologi yang hidup. Teologi yang hidup adalah
teologi yang menghidupkan (a living theology is a theology of life). Itu berarti bahwa ketika konteks kehidupan
berubah, maka diperlukan pula suatu teologi yang baru. Sebab teologi yang
benar-benar kontekstual senantiasa dinamis dan kreatif, peka dan cepat tanggap
terhadap konteksnya (Eka Dharmaputera: 1991 : 8).
Pada hakekatnya, teologi
tidak lain dan tidak bukan adalah upaya untuk mempertahankan secara dialektis,
kreatif serta eksistensial antara ”teks” dengan
”konteks”, antara ”kerygma” yang universal dengan kenyataan hidup yang
kotekstual. Dapatlah dikatakan bahwa teologi adalah upaya untuk merumuskan
penghayatan kristiani pada konteks ruang dan waktu tertentu (ibid : 9). Teologi
selalu bertitik tolak dari sebuah asumsi dasar, yaitu : bahwa Allah yang kita
percayai adalah Allah yang berfirman, Allah yang menyatakan kehendak-Nya di
sepanjang masa bagi seluruh umat manusia di mana saja. Firman dan kehendak-Nya
itu adalah mengenai kebenaran dan keselamatan, serta kesejahteraan manusia
bahkan seluruh ciptaan. Firman dan kehendak-Nya itu berlaku bagi siapa saja di
mana saja, dan kapan saja. Dan oleh karena itu siapapun yang mendambahkan
kebenaran, keselamatan dan kesejahteraan, tidak dapat tidak, harus dengan
sungguh-sungguh memperhatikan dan memberlakukan firman serta kehendak Allah
itu. Teologi bertolak dari keinginan itu, dan berfungsi untuk mencari serta
merumuskan kehendak Allah yang
menyelamatkan, mensejahterakan, serta merupakan norma kebenaran itu. Teologi
yang benar harus mulai dari situ (ibid :10). Kesimpulannya adalah, teologi
kontekstual harus dibangun bersama-sama secara interdisipliner. Tegasnya, bila
aspek ”konteks”-nya hendak ditekankan, maka jelaslah bahwa ilmu teologi juga membutuhkan uluran tangan
dari disiplin ilmu lain, seperti sosiologi, politik, ekonomi, teknologi, dsb
(ibid :15). Teologi yang tidak mem-perhitungkan
konteks budaya (maupun sosial ekonomi suatu masyarakat), akan merupakan teologi
yang tidak berakar, teologi yang asing dari alam pemikiran dan sistem nilai
yang ada. Ia tidak akan fungsional (ibid :17).
Dalam berteologi, gereja
harus berdiri pada garis sejarah yang memperjuangkan kemanusiaan manusia dalam
arti yang sepenuh-penuhnya. Berteologi pun harus dilakukan dalam ke-berasa-an
dengan semua orang. Berteologi adalah praksis yang dilakukan oleh dan untuk
semua orang. Oleh sebab itu gereja bertugas mengajak semua orang memberlakukan
apa yang dilakukan Allah dalam konteks kenyataan masa kini, yaitu mengangkat manusia
pada kemanusiaannya (Th. Sumartana : 1993 : 18-19).
Teologi fungsional menunjuk pada suatu usaha berteologi yang secara eksplisit berpangkal
pada pengalaman manusiawi dan pengalaman iman (pengalaman kontekstual) dan
ingin membantu penghayatan iman di situ (Eka
Dharmaputera, ibid : 51). Teologi (gereja) yang fungsional
(kontekstual), yaitu teologi yang dibangun
dalam kerangka ”Kerajaan Allah”. Ada empat aspek yang harus diperhatikan
dalam mewujudkan teologi (gereja) yang fungsional (kontekstual), yakni :
1) Aspek Teologis. Pemaklumat Yesus mengenai
Kerajaan Allah, Kristus mewayuhkan secara baru siapakah Allah itu. Yesus
menyebut Allah sebagai Abba, Bapa Pencipta. Kebangkitan Yesus meneguhkan
”tuntutanya”-Nya sebagai Anak Allah. Para murid Yesus diajari Doa Bapa Kami.
Partisipasi dalam kehidupan Anak itu sesudah kebangkitan-Nya dimengerti sebagai
buah daya ’Roh Kudus’, Roh yang datang dari Allah melalui Yesus;
2) Aspek Kristologis. Dalam Injil, pemaklumat kerajaan Allah sangat erat berhubungan
dengan pribadi Yesus sendiri. Kerajaan Allah simbol yang dipersonifikasikan
tersebut, dalam pemakluman Yesus diradikalisir serta diubah, diberi arti
dan wujud baru secara luar biasa dan penuh resiko;
3) Aspek Eskatologis. Kerajaan Allah
merupakan tindakan Allah yang mempunyai ciri ”eskatologis-transenden”;
4) Aspek Soteriologis. Dalam kerajaan Allah,
keselamatan dan manusianya yang diper-hatikan. Keselamatan bukanlah hanya
menyangkut rohaninya semata, tetapi juga menyangkut dimensi jasmaniah dan
sosial.
Dengan demikian, gereja dalam kerangka
mewujudkan Kerajaan Allah itu, maka iman dan harapan gereja akan kerajaan Allah
mesti terwujud dalam keprihatinan dan keterlibatan menangani dunia ini,
termasuk usaha-usaha mensejahterakan masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan
dan tidak berdaya atau tercecer. Berdasarkan tugas pengutusan injili
sebagaimana nampak dalam hidup dan karya Yesus, gereja terpanggil untuk selalu
berdiri pada pihak kaum miskin (preferensial obtion for the poor) untuk mewujudkan tuntutan keadilan mereka
dalam rangka kesejahteraan bersama. Untuk menjalani hidup semacam itu, gereja
harus meletakkan dan membangun landasan teologi sebagai landasan yang
fungsional, yang kuat (Th. Sumartana, ibid
: 48-50).
Pengertian Kesejahteraan Sosial
Ada berbagai pengertian atau definisi
kesejahteraan sosial menurut beberapa ahli dan organisasi, yakni :
1). Arthur
Dunham; merumuskan kesejahteraan sosial sebagai kegiatan-kegiatan yang
terorganisasi dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan dari segi sosial melalui
pemberian bantuan kepada orang untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan di dalam
beberapa bidang seperti kebutuhan keluarga dan anak, penyesuaian sosial, waktu
senggang, standar-standar kehidupan dan hubungan-hubungan sosial. Pelayanan
kesejahteraan sosial memberikan perhatian utama terhadap individu-individu,
kelompok, komunitas-kumunitas, dan kesatuan penduduk yang lebih luas; pelayanan
ini mencakup pemeliharaan atau perawatan, penyembuhan dan pencegahan.
2). Harold L.Wilensky dan Charles N. Lebeaux;
mendefinisikan kesejahteraan sosial se-bagai suatu sistem yang terorganisasi
daripada usaha-usaha pelayanan sosial dan lembaga-lembaga sosial, untuk
membantu individu-individu dan kelompok-kelompok dalam mencapai tingkat hidup
serta kesehatan yang memuaskan.
Maksudnya agar supaya individu dan relasi-relasi sosialnya memperoleh
kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengembangkan kemampuan-kemampuannya serta
meningkatkan atau menyempurnakan
kesejahteraannya sebagai manusia sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
3). Walter A. Friendlander; mendefinisikan
kesejahteraan sosial sebagai suatu sistem yang terorganisasi daripada
pelayanan-pelayanan sosial yang melembaga, yang bermaksud untuk membantu
individu-individu dan kelompok agar mencapai standar-standar kehidupan dan
kesehatan yang memuaskan, serta hubungan-hubungan perorangan dan sosial yang
memungkinkan mereka memperkembangkan segenap kemampuan dan peningkatan
kesejahteraan mereka selaras dengan kebutuhan-kebutuhan keluarga dengan
masyarakat.
4). Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB); mendefinisikan kesejahteraan sosial sebagai suatu fungsi
terorganisasi, adalah kumpulan kegiatan yang bermaksud yang memungkinkan individu,
keluarga-keluarga, kelompok-kelompok dan komunitas-komunitas meng-gumuli
masalah-masalah sosial yang diakibatkan oleh perubahan kondisi-kondisi. Tetapi
di samping itu, secara luas, kecuali bertanggungjawab terhadap
pelayanan-pelayanan khusus, kesejahteraan sosial mempunyai fungsi lebih lanjut
ke bidang yang lebih luas di dalam
pembangunan sosial suatu negara. Pada pengertian yang lebih luas, kesejahteraan
sosial dapat memainkan peranan dalam memberikan sumbangan untuk secara efektif
menggali dan menggerakan sumber-sumber daya manusia (SDM) serta sumber daya
material (SDA) yang ada di suatu negara agar dapat berhasil menggumuli
kebutuhan-kebutuhan sosial yang ditimbulkan oleh perubahan, dengan demikian
berperan serta dalam pembinaan bangsa (T. Sumarnonugroho, 1991 : 27-36).
5).
Undang-Undang No.11 Tahun 2009; merumuskan kesejahteraan sosial adalah kondisi
terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat
hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi
sosial-nya.
Tujuan Kesejahteraan Sosial
Kesejahteraan sosial sebagai sistem mempunyai tujuan dan fungsi, yakni :
Tujuan
a. Untuk mencapai kehidupan yang
sejahtera dalam arti mencapai standar kehidupan pokok, sandang, perumahan,
pangan, kesehatan, dan relasi-relasi sosial yang baik dalam lingkungannya;
b. Untuk mencapai penyesuain diri
yang baik, apakah itu kepada masyarakat di lingkungannya, misalnya menggali
sumber-sumber daya, meningkatkan dan mengembangkan taraf hidup yang memuaskan.
Leonard Schneiderman, menguraikan tujuan-tujuan sistem kesejahteraan sosial,
sbb:
a. Maintenance system (sistem
pemeliharaan); yaitu kesejahateraan sosial mencakup pemeliharaan dan menjaga
keseimbangan atau kelangsungan keberadaan serta nilai-nilai sosial. Hal ini
berhubungan dengan :
● Pengertian dasar tentang arti dan
tujuan kehidupan;
● Motivasi untuk mempertahankan kelangsungan hidup individu dan kelompok
masyarakat;
● Norma-norma untuk menampilkan peranan berdasarkan umur dan jenis
kelamin;
● Norma-norma yang
berhubungan dengan produksi dan distribusi barang serta pelayanan;
● Norma-norma tentang
pemecahan konflik dan semacamnya.
b. Control system (sistem
pengawasan); tujuannya adalah mengadangan pengawasan secara efektif terhadap
perilaku yang tidak sesuai atau penyimpang dari nilai-nilai sosial yang ada.
Tujuan ini dapat dicapai dengan melakukan kegiatan-kegiatan :
● Identifikasi fungsi-fungsi
pemeliharaan, berupa kompensasi, resosialisasi, dan penyadaran terhadap
kelompok-kelompok penduduk yang berperilaku menyim-pang agar supaya dapat
mengembangkan pengawasan diri;
● Menggunakan prosedur-prosedur hukum dan
peraturan-peraturan untuk meningkatkan pengawasan eksternal dari perilaku yang
menyimpang; misalnya kerusakan dan kemunduran mental, kelalaian dan kekejaman
orang tua, pencegahan tindakan bunuh diri, kriminal, dan sejenisnya.
c. Change system (Sistem Perubahan); Tujuannya
adalah mengadakan perubahan ke arah berkembangnya suatu sistem yang lebih
efektif bagi anggota masyarakat. Dalam hal ini usaha sistem kesejahteraan
sosial merupakan suatu alat untuk menghilangkan hambatan-hambatan terhadap
terwujudnya :
● Partisipasi dalam pengambilan keputusan
secara penuh dan lebih adil;
● Distribusi sumber-sumber yang lebih adil dan
merata;
● Penggunaan kemungkinan-kemungkinan yang ada
dalam struktur sistem secara lebih banyak dan lebih adil. (T. Sumarnonugroho,
1991 : 37-40).
Fungsi-Fungsi Kesejahteraan Sosial
Pada dasarnya fungsi-fungsi kesejahteraan sosial bertujuan untuk
menghilangkan atau mengurangi tekanan-tekanan yang diakibatkan
perubahan-perubahan sosial-ekonomi, menghindarkan terjadinya konsekuensi-konsekuensi
sosial yang negatif terhadap pembangunan
serta menciptakan kondisi-kondisi yang mampu mendorong peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Ada empat fungsi kesejahteraan sosial, yakni :
1). Fungsi Penyembuhan (Curative)
Kesejahteraan sosial
melaksanakan fungsi penyembuhan bila di dalamnya tercakup sekumpulan kegiatan
yang ditujukan untuk menghilangkan kondisi-kondisi, ketidak- mampuan fisik,
emosional dan sosial agar orang yang mengalami masalah tersebut dapat berfungsi
secara normal kembali di dalam masyarakat. Contoh pelaksanaan fungsi
penyembuhan ini, antara lain, masalah keluarga, kelompok, kesatuan masyarakat
untuk berperan secara memadai, misalnya :
· anak terlantar
· keluarga miskin
· penderita cacat
· lanjut usia (lansia)
· dsb.
2). Fungsi
Pencegahan (Preventive)
Fungsi pencegahan dalam kesejahteraan
sosial bertujuan untuk memperkuat keluarga, kelompok-kelompok, dan
kesatuan-kesatuan masyarakat agar jangan sampai timbul masalah-masalah sosial
yang baru. Di samping itu juga diusahakan pencegahan tingkah laku perorangan
yang abnormal.
Di dalam masyarakat yang mengalami
perubahan cepat, upaya pencegahan ditekankan pada kegiatan-kegiatan untuk
membantu penciptaan pola-pola baru hubungan sosial serta lembaga-lembaga sosial
baru. Upaya pencegahan ini tergantung kepada bagaimana tingkat kehidupan suatu
negara dengan melihat sumber-sumber yang tersedia.
3). Fungsi
Pengembangan (Development)
Kegiatan kesejahteraan sosial yang
bersifat pengembangan, tujuan-tujuan dan orientasinya untuk memberikan
sumbangan langsung bagi proses pembangunan. Dalam hal ini kesejahteraan sosial
bertindak sebagai suatu unsur pelaksana perubahan (change agent), yaitu
membantu peningkatan proses perubahan berencana. Perubahan ini dapat
mempengaruhi struktur dan fungsi keluarga serta masyarakat, sehingga anggotanya
perlu disiapkan untuk memperoleh dan melaksanakan peranan-peranan serta
tanggungjawab yang baru.
Kegiatan-kegiatan yang dilaksankan
mencakup cara-cara untuk memperbaiki situasi-situasi melalui pelibatan orang-orang
di lingkungan sosialnya dan untuk memecahkan masalahnya.
4). Fungsi Penunjang (Supportive)
Fungsi penunjang dalam kesejahteraan
sosial ini mencakup kegiatan untuk
membantu mencapai tujuan-tujuan sektor lain. Misalnya dalam membantu men-capai
tujuan kebijaksanaan pemerintah dalam menunjang program kependudukan dan
keluarga berencana dengan jalan mempengaruhi sikap-sikap atau memotivasi
masyarakat untuk ikut serta menyukseskan program KB, maupun program-program
pemberdayaan masyarakat, dsb.
Landasan Teologi Kesejahteraan Sosial
”...Aku berkata kepadamu,
sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari
saudara-Ku yang paling hina ini kamu telah melakukannya untuk Aku” (Matius:
25:40).
Bagian Alkitab ini sebetulnya mau menegaskan
iman yang hidup dari orang percaya (Kristen), di mana dalam percakapan dengan
Yesus, para (murid) bingung dan kesulitan memahami bagaimana mengasihi Allah
yang abstrak itu, walaupun sudah sekian lama mereka hidup bersama Yesus dan
menyaksikan apa yang telah dikatakan dan dilakukan-Nya. Nampaknya para murid
belum yakin betul apa yang telah Yesus katakan tentang ”Kerajaan Allah” atau
”Kerajaan Sorga”. Para murid sangat terikat dengan pandangan mereka sendiri mengenai
kerajaan Sorga yang abstrak, dan oleh sebab itu bagi mereka yang lebih penting
adalah aspek iman yang ”imanen” bukan iman yang ”transenden”. Iman yang imanen
lebih cenderung menekankan sikap ”askestis”, yakni sikap yang menjauhkan diri
dari realitas sosial yang nyata, dunia termasuk manusia, dianggap penuh cobaan
dan dosa, oleh sebab itu tidak boleh didekati.
Dengan cara berpikir seperti itu para murid
lebih cenderung mengarahkan pandangan dan sikap mereka kepada dunia akhirat dan
mengabaikan realitas kehidupan sosial yang dihadapi. Hal itu sangat jelas
terlihat dalam argumentasi mereka ketika Yesus berkata tentang kewajiban para
murid (orang percaya) untuk melayani
orang-orang yang sedang berada dalam penderitaan karena lapar, haus, orang asing, sakit, dan orang-orang yang ada
dalam penjara, dimana Yesus mengidentifikasikan diri-Nya dengan orang-orang
tersebut. Para murid menyangka bahwa Yesus lah yang mesti mereka layani ketika
Yesus berada dalam penderitaan, karena selama itu mereka belum pernah
menyaksikan Yesus mengalami penderitaan seperti itu untuk mereka melayani-Nya.
Padahal yang Yesus maksudkan adalah mereka harus melayani orang-orang yang
mereka jumpai berada dalam penderitaan, dan melakukan kepada mereka sama
seperti melakukannya kepada Yesus, karena orang-orang seperti itulah menjadi
misi kedatangan Yesus ke dunia.
Teks ini pula sangat jelas berbicara tentang
penghukuman kepada mereka yang tidak melakukan pelayanan kepada orang yang
berada dalam penderitaan sebagai melakukan perbuatan baik. Mereka yang
melakukan perbuatan baik akan dipisahkan sebagai domba dan yang tidak melakukan
perbuatan baik dipisahkan sebagai kambing. Domba yang akan memiliki tempat
dalam kehidupan yang kekal atau Kerajaan Sorga sedangkan kambing tempatnya
siksaan yang kekal atau neraka pada saat penghakiman terakhir.
Yang dimaksudkan Yesus dengan saudara-Ku yang
paling hina itu adalah semua orang dari semua bangsa, tanpa mengenal latarbelakang
suku, ras, golongan agama, bahasa, warna
kulit, tua muda, kecil besar, laki-laki dan perempuan. Dan orang yang paling
hina adalah setiap orang atau kelompok
orang yang dikategorikan menderita dan hidup tidak layak, karena tidak memiliki
akses baik sosial, ekonomi, politik, hukum, budaya, yang membuat mereka tidak
berdaya baik disebabkan karena struktur sosial ekonomi maupun sebab-sebab
fungsional yang membuat seseorang atau kelompok orang tidak dapat melakukan
fungsi sosialnya dengan baik. Yesus mengidentikan diri-Nya sendiri dengan
orang-orang yang menderita tersebut sebagai orang yang paling hina yang harus
mendapat perhatian dan mengutamakan mereka untuk dilayani dan diselamatkan
melalui tindakan-tindakan nyata yang membebaskan mereka dari penderitaan dan
kehinaannya. Hal ini memang sudah dinubuatkan oleh nabi Yesaya tentang kedatangan
Yesus dan misi-Nya jauh sebelum kedatangan Yesus, yakni ”...Ia dihina dan
dihindari orang, seorang yang penuh kesengsaraan dan yang biasa menderita
kesakitan; ia sangat dihina, sehingga orang menutup mukanya terhadap dia dan
bagi kita pun dia tidak masuk hitungan. Tetapi sesungguhnya, penyakit kitalah
yang ditanggungnya, dan kesengsaraan kita yang dipikulnya...” (Yes.52:3-4).
Dengan penjelasan Yesus yang sangat gamblang
dalam percakapan dengan murid-murid seperti dikemukakan di atas, walaupun
ceritanya tidak berlanjut mengenai bagaimana tanggapan para murid terhadap
pernyataan Yesus tersebut, namun sebetulnya percakapan yang mengandung wejangan
eskatologis tersebut sangat kuat menekankan aspek soteriologis-transenden dari
iman orang percaya (Kristen) sebagai kewajiban iman yang asasi, yang pada
hekekatnya semua itu merupakan inti dari hukum kasih yang kedua, yang tidak
boleh diabaikan, dan mesti dilaksanakan sejajar dengan hukum kasih yang
pertama. Mengabaikan yang satu dan mengutamakan yang lain berarti iman yang
tidak sempurna, iman yang setengah-setengah, iman yang imitasi atau palsu,
ibarat kubur yang kosong berlabur putih kelihatannya indah pada luarnya namun
di dalamnya tulang belulang. Artinya ibadah yang sejati bukan pada aspek
formalnya yang ditekankan tetapi seluruh perilaku hidup dalam interaksi dengan
sesama serta dengan lingkungan. Dengan kata lain ibadah yang sejati adalah ibadah
yang berpijak kepada kehidupan nyata manusia, realitas sosial adalah basis
ibadah dimana iman orang percaya dilempar dan dipertaruhkan di situ. Inilah
sebetulnya inti iman yang hidup dari orang percaya (Kristen), bukan melakukan
perbuatan baik untuk memperoleh
keselamatan, tetapi karena sudah diselamatkan maka orang percaya
(Kristen) harus melakukan perbuatan baik
kepada sesama yang menderita demi mengangkat mereka dari penderitaannya,
adalah tindakan iman yang membalas
kebaikan Allah melalui karya penyelamatan oleh Yesus.
Dengan begitu menjadi jelas bahwa yang
dimaksudkan dengan ”Kerajaan Allah” atau ”Kerajaan Sorga” itu ada di dalam realitas kehidupan manusia
sehari-hari di mana manusia bergumul dengan kehidupannya, dan tindakan untuk
membebaskan manusia dari pergumulan dan penderitaannya itu menunjukkan
tanda-tanda dari Kerajaan Allah atau Kerajaan Sorga tersebut. Hal ini menjadi
semakin jelas ketika dalam percakapan dengan orang Farisi tentang kuasa yang
dipakai Yesus mengusir setan, Yesus mengatakan, ”Tetapi jika Aku mengusir setan
dengan kuasa Roh Allah, maka sesungguhnya Kerajaan Allah sudah datang kepadamu”
(Matius: 12:28; Lukas: 11:20).
Dapatlah dipahami bahwa perkataan, pernyataan,
serta seluruh tindakan Yesus memberi
kesan teologis yang kuat mengenai aspek transenden dari iman yang harus menjadi
landasan paradigma dalam bentuk aksi – refleksi – aksi, bagi tindakan-tindakan
nyata dalam kerangka pengatasi masalah-masalah sosial dan kemanusiaan.
Kehadiran Yesus sendiri di dunia sesungguhnya menunjukkan kehadiran Kerajaan
Allah di dunia ini. Itu berarti Yesus
ingin menegaskan bahwa pandangan dan pola pemikiran para murid dan orang
percaya (Kristen) jangan menyusahkan atau menyesatkan mereka sendiri, karena
Kerajaan Allah itu sesungguhnya ada dalam kehidupan manusia sehari-hari yang
setiap saat dijumpai oleh para murid dan orang percaya, seperti orang yang
lapar, haus, sakit, orang asing atau pengungsi, gelandangan, orang yang
kekurangan sandang, serta orang yang ada dalam penjara. Paradigma ini
mengisyaratkan setiap tindakan dan aksi sosial bagi pembebasan atau
penyelamatan manusia diberi landasan teologis, dan melalui tindakan atau aksi
sosial – refleksi – dan aksi itu (praksis), diperoleh pengalaman iman yang
nyata dan baru secara terus-menerus sebagai bahan refleksi yang menghubungkan
teks Firman Allah dengan konteks realitas sosial.
Dengan begitu maka
kesejahteraan sosial dapat diupayakan dan dibangun dengan kerangka paradigmatik
(metodologis) yang jelas dan pijakan teologis yang kuat, yang selalu dapat
dianalisis dan dievaluasi secara kritis
dan dikembangkan sesuai dinamika konteks realitas sebagai lahan bagi upaya-upaya pemberdayaan
sosial untuk mewujudkan kesejahteraan sosial dan pembebasan bagi manusia secara adil dan
berkeadaban, dapat terus dilakukan
secara bermakna baik kuantitatif maupun kualitatif.
Penutup
Usaha-usaha
kesejahteraan sosial memiliki tugas dan fungsi serta kedudukan yang sama penting dengan upaya untuk
menyelamatkan jiwa manusia. Upaya menyelamatkan jiwa manusia tanpa mengusahakan
kesejahteraannya sama halnya dengan
manusia yang hidup dengan roh tanpa tubuh, ibarat jiwanya di bumi
sedangkan tubuhnya melayang-layang di awan-awan, sebaliknya mengusahakan
kesejahteraan manusia tanpa menyelamatkan jiwanya sama halnya dengan manusia
yang sementara hidup dengan tubuh tetapi jiwanya telah mati. Oleh karena itu
baik jiwa (rohaniah) maupun tubuh (jasmaniah) harus dipandang dan ditempatkan
dalam perspektif keutuhan atau totalitas ciptaan yang tidak terpisahkan, yang
harus diselamatkan secara holistik melalui pendekatan-pendekatan (metodologi)
usaha-usaha kesejahteraan sosial yang dilandasi dengan nilai-nilai iman
(teologi) yang mendasari usaha-usaha kesejahteraan sosial tersebut.
Upaya untuk
meletakkan dan mengembangkan teologi kesejahteraan sosial harus dimulai dari
sekarang dan terus dilakukan secara bersama sebagai upaya membangun teologi
fungsional, teologi yang efektif mengupayakan pemberdayaan dan pemandirian bagi
mereka yang lemah dan tidak berdaya, miskin karena tidak memiliki akses baik sosial, ekonomi, budaya, politik,
hukum, serta struktur sosial dan kekuasaan yang membelenggu. Itu adalah teologi
yang hidup dan berakar. Teologi yang hidup dan berakar adalah teologi yang
menghidupkan, teologi yang melakukan
tindakan-tindakan pembebasan dan penyelamatan melalui upaya-upaya pemberdayaan
baik komunitas maupun individu untuk
dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara normal dan optimal dengan potensi
yang ada (modal sosial) serta memaksimalkan sistem sumber secara efektif dan
efisien demi menopang proses-proses pemberdayaan yang mampu mengeluarkan mereka
dari kesulitan-kesulitan dan penderitaan, agar hidup layak, sejahtera dan
bermartabat.
Perkataan,
tindakan dan seluruh karya penyelamatan (pembebasan) Yesus memberi inspirasi dan
keteladanan bagi peletakan dasar bangunan Teologi Kesejahteraan Sosial yang kuat, berakar
dan fungsional.
Referensi
Banawiratma, J.B (ed), Kemiskinan dan
Pembebasan, Pustaka Teologi, Kanisius, 1990.
Banawiratna, J.B & Miller, J, Bertelogi
Sosial Lintas Ilmu, Kanisius,
Yogyakarta, 1993
Darmaputera, Eka (Penyunting), Konteks Beteologi Di Indonesia, BPK,
Jakarta, 1991.
Feldmann, Christian, Pejuang Keadilan
dan Perdamaian, BPK & Kanisius, Jakarta, 1990.
Holland,
Joe & Hendriot Peter, Analisis Sosial & Refleksi Teologis, Kaitan
Iman dan
Keadilan, Kanisius, Yogyakarta, 1986.
Hendriks, Herman, Keadilan Sosial dalam
Kitab Suci, Kanisius, Yogyakarta, 1990.
Nitiprawiro, Wahono, Teologi Pembebasan,
Sinar Harapan, Jakarta, 1987.
Sumartana, Th (dkk), Terbit Sepucuk
Taruk : Teologi Kehidupan, Balitbang PGI,
Jakarta, 1993.
Sumarnonugroho, T, Sistem Intervensi
Kesejahteraan Sosial, PT. Handinita,
Yogyakarta, 1991.
Undang-Undang RI
Nomor 11 Tahun 2009, Tentang Kesejahteraan Sosial.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar